Laman

Jumat, 27 September 2013

Penglepasan

Begini tho rasanya patah hati. Begitu menyesakkan padahal asma sedang tidak kambuh. Seperti kebahagian direnggut dalam satu tarikan, dan tidak akan pernah kembali lagi. Ah kalian para pujangga lebih pintar mendeskripsikannya.

Aku ingin bercerita mengenai cinta yang layak diperjuangkan. Entah sejak kapan, aku meyakini bahwa menunggu juga bisa dikatakan mencinta. Menunggu dalam diam tentunya. Menunggu kita benar-benar matang untuk bersiap mengarungi kehidupan bersama. Maksud dalam diam adalah kau tidak pernah sekalipun menyatakan perasaanmu padanya. Bukan karena tidak berani menyatakan, tapi lebih karena sebuah pemahaman, jika belum siap tidak boleh kita mengutarakan isi perasaan kita. Maka itulah yang aku lakukan, menunggu dan mempersiapkan selama hampir dua tahun untuk mengutarakan perasaan ini.

Selama hampir dua tahun itulah rasa dalam dada perlahan tapi pasti terpupuk harapan setiap hari. Harapan dari sejuta kebahagiaan yang akan kita rasa bersama. Harapan akan saling melengkapi dan menyempurnakan. Aku ingat, pada tanggal 29 Agustus 2008 lalu, aku membuat sebuah target. Insya Alloh dengan atau tanpa dia, aku akan menikah dua tahun lagi. Jannah, namanya Jannah. Dengan atau tanpa Jannah, Insya Alloh aku akan menikah di umur 25. Kenapa harus Jannah? Ya banyak alasan. Tapi aku tidak mau menyampaikannya di sini, yang jelas kita memang sudah dekat, dan aku merasa Jannah mempunyai kriteria yang aku cari. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku menunggu Jannah dalam diam, tidak pernah sekalipun aku mengatakan perasaanku, dan aku pun tidak tahu bagaimana perasaan dia padaku. Hanya Alloh saja sumber keyakinanku. Jadi aku minta saja sama Alloh semoga Jannah adalah pendampingku dua tahun lagi (dua bulan lagi dari sekarang). Kalaupun nanti bukan Jannah, tetap ya Alloh, ijinkan hamba bisa menyempurnakan agamaku juga dua tahun lagi. Versi singkatnya begitulah isi doaku tiap hari.

Tapi Alloh sepertinya lebih senang menjawab doaku yang kedua. Siang tadi, saat istirahat dari pekerjaan, aku menyengajakan berselancar di pesbuk. Mataku tertuju pada postingan sebuah undangan, yang di posting Jannah. Nafasku tiba-tiba berhenti, tercekat di ujung tenggorokan. Langit seakan runtuh begitu saja, menimpa hatiku yang meremuk. Berulang kali aku mencubit pipi, berharap ini hanya sebuah mimpi, ‘Adaww, sakit rupanya’. Dan berulang kali aku merefresh halaman pesbuknya, berharap bukan nama kau yang tertera dalam undangan pernikahan ini. Ya Alloh, beginikah akhirnya kisah seorang pecinta yang menunggu dalam diam. Apakah cinta yang aku perjuangkan hampir dua tahun ini tidak ada artinya? Tidak layak? Kalau saja………. Ah, kerinduan tidak akan menyakitkan seperti ini.

Aku tidak punya hak sama sekali untuk menggugat takdir Tuhan, apalagi merajuk seperti anak kecil. Meski bayangan tentang dia begitu sulit dienyahkan. Cerita cinta memang tak selalu seperti novel, berliku tapi endingnya selalu bahagia. Move on bro, move on. Tidak bisa, bayangannya terlalu kuat. Aku belum siap menghadapi esok lusa. Aku ingin makan sate. Eh.

Sekarang mari kita tata hati lagi kawan, bukankah kau menulis target, dengan atau tanpa Jannah, tetap kau akan menikah dua tahun lagi (dua bulan lagi dari sekarang), ingat itu. Kau pun sebenarnya sudah tahu akan kemungkinan ini. Kau sudah benar memperjuangkan kemurnian cintamu selama ini, meski salahnya kau terlalu sering memupuk harapan hanya pada satu nama, jannah. Alloh tahu mana yang terbaik. Lakukan penglepasan. Seperti Kinanthi, yang melakukan penglepasan galaksi cintanya pada Ajuj di novel Tasaro GK yang kau baca kemarin.

Aku pun mengirimi ia surat elektronik tanda sebuah penglepasan. Terkesan bodoh memang, tapi dari pada kerinduan ini semakin menyesakkan. Semoga waktu dan orang yang tepat bisa mengobatinya.

Assalamualaikum,
Bagaimana kabarnya Jannah? Semoga Alloh selalu melindungi kita dari godaan setan.
Sebelumnya saya ingin menyampaikan selamat. Minggu depan kau akan menikah kan yak? Maaf aku mungkin tidak datang, kau akan mengerti alasannya.

Kau tahu, semenjak intensnya kebersamaan kita dikepanitiaan acara kampus, di kegiatan sosial, di pelatihan-pelatihan kepenulisan. Tak bisa dipungkiri namamu mulai sering terbersit di pikiran. Lama-lama menjadi semacam virus yang susah dicari obatnya, terus berkembang bereplikasi. Lalu saya targetkan, dua tahun yang akan datang, yaitu satu bulan dari sekarang, insya Alloh akan menikahimu. Tentu kau tidak pernah saya beri tahu. Kalau belum siap, saya tidak berani.

Tapi ya gitu, Tuhan berkehendak lain. Kau akan menikah, dan saya juga sebenarnya juga menargetkan, dengan atan tanpamu, tetap akan menikah di umur saya yang ke-25. Awalnya, sebulan ini saya terus mencoba melupakanmu. Menganggap saya tidak layak denganmu. Kau berhak mendapat yang lebih baik. Tapi ya gitu, semakin kuat mencoba melupakan, semakin menghunjam rasa sakitnya. Saya bingung, malam-malam terasa semakin panjang. Dunia terasa sempit, kesehatan saya memburuk, pekerjaan saya terbengkalai.

Kau pernah baca buku Kinanthi karya Tasaro GK? Kalau belum, bacalah! Saya ingin seperti Kinanthi, melepaskan galaksi cintanya pada Ajuj. Merelakan Ajuj menikah dengan perempuan lain, meski itu sulit. Ya, dengan surat ini, saya melakukan penglepasan. Saya tidak bermaksud menambah beban pikiranmu, apalagi kau akan berbahagia sebentar lagi. Hanya, saya perlu melakukan ini. Agar kerinduan ini tidak semakin menyesakkan.

Terima kasih Jannah. Tanpa kau sadari, kau sudah banyak membuat perubahan dalam hidup saya.

Semoga kau berbahagia, dan maaf mengirimimu email yang mungkin gak penting. Tapi bagi saya, sungguh ini sangat berarti. Oya, setelah ini, saya akan pergi, menghilang dari duniamu. Menurut saya ini cara terbaik. Tolong jangan anggap saya egois.

Doakan saya juga, mungkin seminggu lagi akan mencoba melamar orang lain.
Wassalamu’alaikum.

Email, send.

Alhamdulillah, beberapa hari setelah aku kirim email itu, meski masih terbayang, aku mulai terbiasa. Baiklah, aku sudah memutuskan. Dengan teliti, aku menggeser layar telepon genggam, mencari nama kontak perempuan yang akan aku lamar hari ini. Aku gak tau akan diterima atau tidak, tapi setidaknya aku berusaha.

‘Tuuuuttttt… Tuuuutttttttt… Tuuuuuuuuttttt’ sepertinya dia lagi sibuk, telponnya tidak diangkat,
‘Tuuuuutttt… Tuuuuuuttttt… Nomor yang Anda tuju sedang sibuk’. Ya sudahlah, nanti agak siang kutelpon lagi.

Saat siang, begitu aku akan menelpon dia lagi. Dua pesan singkat masuk.
“Kak Teguh, ada apa? Maaf Kak, lagi ada acara tadi”.

Dengan cepat, langsung aku balas.
“Zahra gimana kabarnya? Saya mau melamar Zahra… Boleh saya datang ke rumah minggu depan?” Cepat-cepat saya hapus. Mosok ngelamar lewat SMS. Gak gentle. Telpon dong, telpon.
“Zahra gimana kabarnya?, saya mau telpon, boleh?”, send.

Pesan kedua, ………………………………………………………, Dada saya bergemuruh. Ngapain Jannah ngirim pesan singkat? Apa dia baru baca emailnya? Ah paling isi pesan singkatnya, cuma bilang “makasih”, atau “maaf”, atau jangan-jangan isi nya nyuru buka email, dia curhat di email balasan, lalu memutuskan membatalkan pernikahan, lalu meminta aku melamarnya. Lalu kita menikah, punya anak, bahagia dah. Ah kayanya aku kena sindrom romantisme konflik pernovelan. Lebih baik aku hapus saja isi pesannya. Tidak penting juga tahu bagaimana reaksi dia. Baik buat ku, dan juga dirinya.

Tapi sisi yang lain mengatakan, buka saja. Apapun reaksi dia, lu laki-laki, lu harus kuat, lu bakalan penasaran seumur hidup kalo lu gak buka pesan singkatnya. Okelah, keringat dingin mengucur, tangan gemetaran.  Blebb, muncul satu pesan singkat, yang membuat aku melongo seketika.

"Yang nikah sepupu gw, baca yang bener undangannya!"
Ini gw harus seneng atau malu?
‘……………………………………….’

Saung Inspira, Laladon Bogor 27 September 2013.



Minggu, 22 September 2013

Masih kurangkah aku bersabar ya Rabb?. Sebuah kesabaran tingkat tinggi


Ini cerita asli, fakta bukan rekaan. Tentang seseorang yang menurut saya juga kalian adalah pantas dijadikan sosok panutan. Alloh berulang kali menguji kesabraannya. Atau memang cobaan sudah menjadi pasangan hidupnya?. Begitu lekat sekali mereka merayap dalam setiap nadi kehidupannya dimanapun ia berada. Tapi Ia akan terus tabah dan sekalipun tidak akan menyalahkan Tuhan.

Hari ini, Jam 10.30 kabar itu datang. Sebenarnya kebakaran adalah sebuah kewajaran terjadi di hutan. Tapi kalau yang terbakar adalah sebuah rumah kecil berukuran 4x4, beralas tanah, berbilik kayu, beratap seng, berruang 4 (dapur, ruang tamu, gudang, dan kamar dilantai dua sekaligus mushola sekaligus tempat ngaji anak2). Sungguh menurut saya sebuah ketidak adilan Tuhan. Hey, siapa saya berani menjudge takdir Tuhan. Baiklah mari kita ralat. Bukan ketidak adilan, tapi cobaan yang begitu berat yang kalau saya ada di posisi demikian. Sudah pasti saya akan merajuk pada Tuhan. Bagaimana tidak, rumah berkayu yang lebih mirip gubuk itu adalah teman hidupnya selama ini. Sudah 7 tahun, rumah gubuk itu menjadi pelindungnya dari sengatan matahari, dari guyuran hujan, juga dari amukan gajah. Dan kini, melalui mulut seorang bapak muda yang diberitahukan oleh istrinya lewat pesan singkat. Rumah gubuk itu ludes terbakar, tanpa sisa.

Si kakek tua itu tertnduk lemas. Kalau kalian ingin tahu namanya, mbah Nur. Umurnya sudah 60 tahunan. Bahunya terguncang, bulir2 air mata tak lagi bisa ia sembunyikan. Beberapa temannya yang juga adalah pekerja harian di divisi Litbang perusahaan ini langsung mengusap, mendekap bahu ringkih mbah nur. Oya, saya belum ada saat itu, masih di kantor. Saat saya ke lahan lagi, mereka sudah pulang, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.

Mbah nur sesampai nya di rumah nya yang telah habis, hanya bisa menatap kosong, lalu meracau tentang semua isi rumahnya. “bensin ada 5 liter, beras belum di buka juga 5 liter, minyak sayur 2 liter, racun rumput 5 liter, sarung 10 pasang, baju ganti, baju koko, dan kitab bawa dari pesantren dulu.”begitu racauannya berualng kali. “Kitab kuning, hanya itu yang membuat saya menyesal dengan kejadian ini, kalo yang lainnya aku ndak menyesal” ucap mbah nur masih dengan tatapan kosong. Mbah nur pun menumpang di salah satu rumah warga. Tadinya dia mau tinggal di mushola.

Kalian perlu tahu, ketegaran ini bukan dibentuk setahun dua tahun, tapi selama 60 tahun hidupnya. Mari saya ceritakan beberapa ksiah lain yang membuat saya geleng2 kepala. “Ya Alloh, cobaan saya tidak ada apa2 nya ternyata”.

Dari kecil, mbah nur sudah di didik di lingkungan pesantren. Saya tidak bisa menceritakan masa kecilnya, yang jelas ia sangat mencintai kehidupannya di pesantren. Pasti ada sesuatu?, ini belum berhasil saya korek. Saat umur 30an, barulah mbah nur keluar dari pesantren, lalu membantu pamannya di Papua di pabrik tahu. Jauh banget merantaunya nih. Oya, saya pernah denger, mbah nur pernah bercerita mengenai cobaan entah keberapanya saat masih di pesantren, saat PKI dibenci oleh semua kalangan. Ia dihadapkan pada dua pilihan, dibunuh atau membunuh. Urusan nya tentang nyawa ini broh, beraatt. Mocong senjata tentara sudah menusuk2 di pelipis mbah nur. Bersama teman2 nya dia dipaksa memegang cerulit. Jelas maksudnya untuk menggorok orang2 PKI yang tertawan dihadapannya. Bunuh,, atau di bunuh?, (saya kurang paham, kenapa bisa mbah nur di culik oleh tentara, mengorek informasi dari orang tua itu harus sabar). Keringat sebesar kelereng mengucur deras dari balik baju kaosnya.

Moncong laras senapan semakin menusuk ke pelipis, tidak ada pilihan lain. ALLOHU AKBAR,! Teriak mbah nur lantang, juga serak hingga tercekat. Darah segar anyir muncrat ke muka, ke baju, ke tangan, ke crulit, ke tanah ke setiap sudut yang mbah nur lihat. Di hadapannya sudah roboh lelaki berkemeja putih, bukan, sekarang kemejanya sudah memerah. Mbah nur juga teman2nya mengambil darah dari tanah dengan telunjuknya, lalu menjilatnya. Menurutnya, dengan seperti itu, bayang2 wajah yang ia gorok tidak akan mengganggunya.

Dari papua, mbah nur merantau ke Lampung. Ini juga belum berhasil di korek alasan merantau ke lampung. Pasti, ada something yang terjadi di papua. Yang jelas, di Lampung, mbah nur sudah tidak sendirian lagi. Di umur nya yang ke 40, Ia menikah dengan gadis 20 tahun lebih muda darinya, baru lulus Aliyah katanya. Lalu cobaan datang lagi, setelah 1 tahun umur pernikahan, karena ekonomi yang tak kunjung membaik, mbah nur saat itu punya 7 hektar kebun kopi. Tapi belum menghasilkan, masih kecil2 tanemannya. Membuat istri nya tidak kuat dan memilih dengan atau tanpa ijinnya merantau ke Malaysia. Dan dari yang aku dengar, hingga detik ini, si istri tidak pernah sekalipun kembali pada mbah nur, meninggalkannya dengan anak yang masih kecil. Mbah nur lalu menitipkan anak semata wayangnya kepada keluaga si istri di Palembang. Ia tidak bisa membesarkan anak sekecil itu sendirian.

 10 tahun mbah nur tinggal di Lampung, kebun kopi yang sedang matang-matangnya siap dipanen, tiba2 Tuhan berkehendak lain. Pada tahun 1987, Kebun kopinya kebakaran tepat saat kemarau berkepanjangan melanda. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Hanya kretek ranting terbakar yang tersisa. Nelangsa?, jelas!, tapi ia harus tabah, ilmunya dari pesantren mengatakan tak boleh ia menyalahkan keadaan. Lalu temannya yang orang Bengkulu, yang sama2 lahannya kebakaaran mengajaknya ke Bengkulu, mencari bukaan hutan baru.

Pindahlah mbah nur ke Bengkulu, membuka hutan seluas 5 hektar untuk ditanam sawit. Anaknya?, sesekali mbah nur menjenguknya di Palembang. ‘Pendidikannya akan lebih mudah’ Pikirnya menghibur diri. Jadilah ia sendiri lagi mengurus sawitnya sambil bekerja ke sebuah perusahaan sebagai buruh harian.

 Sawitnya perlahan sudah bisa menghasilkan, meski belum seberapa. Mbah nur juga mulai membangun rumahnya lagi, belum permanen, tapi pondasinya sudah ia tanam. Beberapa tahun cukup lah untuk membuat sebuah rumah kebanggan yang akan ia dan anaknya tempati nanti. Lagi-lagi Tuhan berkehendak lain. Seakan memang cobaan tidak bisa dijauhkan dari kehidupan mbah Nur. Bukan kebakaran kali ini. Pada tahun 2002 apa 2004 gtu, lupa. Gempa bumi beserta tsunami menghantam Bengkulu. Rumah yang perlahan ia bangun hancur, begitupun sawit yang sudah ia tanam selama 10 tahun lebih. Hancur tak bisa diselamatkan.

Ya Alloh, 20 tahun di Lampung dan di Bengkulu bukan waktu yang singkat. Tapi apa yang terjadi sekarang?. Semua kembali ke titik nol?. Sia-sia kah perjalanan hidupnya?. Musibah datang silih berganti meluluh lantakan semua kekuatan mbah Nur. Apalagi umurnya sudah tidak muda lagi. “Ya Alloh, musibah lagi musibah lagi.” Keriput di pipi dan mulutnya bergerak2 pelan saat ia berkata. Tapi bukan mbah Nur kalo mudah menyerah dan tidak bisa bersyukur.  Untung lah katanya, masih ada 2 hektar yang tidak terlalu habis di terjang Tsunami. Ia jual ia punya kebun sawit seharga 175 juta. Beserta sisa tanah yang luluh lantak dan rumah yang bergaris retak2 besar di dinding. Lalu merantau lagi bersama teman nya ke Jambi. Ke sebuah hutan ynag masih benar2 alas. Harus ia buka dari nol kembali. Dan harus ia mulai semuanya dengan kesendirian.

Pada tahun 2005, ia membuka hutan seluas 15 hektar, tapi yang berhasil ke garap hanya 5 hektar. Ia mulai lagi menanam bibit, ia mulai lagi menjaga dari babi dan gajah, ia mulai lagi membangun rumah Kecilnya, ia mulai lagi memupuk, mendangir, menyiram, mengerahkan semua kekuatan yang masih tersisa demi masa depannya. Atau lebih tepatnya demi masa depan anak semata wayangnya. Ya, anaknya lah yang menjadi motivasi terkuatnya hingga bisa bertahan dari segala cobaan. Anaknya lah yang membuat ia rela bekerja membanting tulang dari jam 4 pagi hingga magrib menjelang, anaknya lah yang membuatnya rela hidup sendiri menabung dan menabung setiap hari. Merelakan semua kesenangan yang bisa ia dapat demi pendidikan anaknya. Aihh, sekuat itukah kasih sayang seorang ayah?

Tapi ya Rabb, Engkau selalu punya kehendak yang tak pernah bisa kami mengerti. Hanya Engkau yang tahu masa depan dan hal gaib. Mbah nur kemalingan di rumahnya, di gubuk yang hari ini ludes terbakar. 3 juta rupiah hilang dalam sehari. Itu jumlah yang sangat besar sekali untuk ukuran seorang pekerja harian. Saya tahu ia mengumpulkan uang itu dari payahnya bekerja di perusahaan juga merawat 5 hektar sawit yang panennya masih sedikit. (oya, 10 hektar lainnya karena tidak bisa ia garap, dan tidak sempat ia jual, sekarang di klaim oleh suku anak dalam, jadi Cuma 5 hektar inilah tanah mbah nur).

Rumah mbah nur memang agak masuk kedalam, tidak pas di samping jalan seperti rumah lainnya. Sehingga ada kejadian apapun di rumahnya, susah diketahui orang lain. Dan saat pulang dari bekerja, mbah nur mendapati rumahnya sudah di bobol, dalamnya berporakan, uang yang ia simpan di bawah piring, di dapur tak terlalu sulit untuk ditemukan pencuri. Padahal katanya uang itu akan dikirm untuk sekolah anaknya yang mau lulus SMA. Mau marah?, sama siapa?, Tuhan?, bukan sifat mbah nur menyalahkan Tuhan. ‘Yowis aku nrimo saja’ ucapnya dengan pipi yang semakin kempot saat berbicara.

Kalian tahu, kalo kalian membandingkan cobaan yang Alloh berikan pada kalian dengan cobaan yang Alloh berikan pada mbah Nur, sungguh tidak ada apa2 nya. Saya malu sekali kemaren sempat mengeluh ini itu, kehilangan ini itu sedangkan mbah nur? terus bangkit dan tetap bersyukur menjalani hidup. Seperti hari ini, meski rumahnya ludes terbakar, dia tetap bersemangat untuk hidup, kembali bekerja di perusahaan ini untuk rencana-rencana Alloh lainnya, dan senantiasa bersyukur dan berbaik sangka atas kehendakNya.

Terima kasih mbah nur, kesabaran mu memang kesabaran tingkat tinggi. Kami akan belajar untuk tidak mengeluh menghadapi cobaan, kami akan belajar untuk bisa bersabar dan bertawakal. Berbaik sangka pada Alloh seberat apapun cobaan yang datang. ‘Ah, kalo belum dicoba kaya cobaan mbah nur, bukan sebuah cobaan yang berat’. Kata itu yang akan selalu kami ingat.

Seperti yang sering Alloh katakan, cobaan adalah proses kita naik tingkat. Semoga kesabaran mbah Nur Alloh balas dengan sesuatu yang berharga, Syurganya. Amminn,,

Mess putra Jambi, 21 september 2013

di rumah mbah nur, saat sebelum berangkat kerja

rumah 'gubuk' kecil mbah nur dari luar, agak masuk kedalam dari jalan

saya saat berkunjung dan menginap semalam di rumahnya, ikut makan bareng

tungku dan dapur rumah, diperkirakan saat itu mbah nur lupa mematikan sempurna tungkunya, hingga terjadi kebakaran

yang nemenin mbah nur sehari-hari

Rabu, 18 September 2013

Rasa pertama: mendaki pertama di gunung gede

Mendaki gunung selalu mempunyai rasa yang berbeda, meski gunungnya sama.
(Gw 2012)
we are!! di parkiran base camp cibodas

Perkenalan gw dengan gunung memang sudah lama, tapi kalo kenal sama puncak, ini pengalaman pertama gw. Seperti yang sering dikatakan orang bijak, untuk mencapai sebuah tujuan, pasti akan melewati yang namanya langkah pertama. Begitupun naik gunung, sesering apapun kita mendaki, berjumpa dengan banyak puncak, tetap kita akan melewati yang namanya pendakian pertama. dan Gunung gede adalah puncak pertama gw.

Pendakian pertama banyak rasa yang akan didapat. Bisa kesal karena puncak kok lama banget nongolnya. Bisa senang karena merasakan kedamaian alam, atau bisa ngilangin stres kalo lo adalah mahasiswa tingkat akhir yang gagal mulu penelitiannya (pengalaman). Serius!, gw sering mendaki bareng kawan2 yang baru pertama kali naik gunung. Kebanyakan sih mereka ketagihan, tapi ada juga yang gak mau daki-daki lagi, itu pilihan mereka. Gw pun merasakan berjuta rasa saat mendaki pertama kali.

Pertama gw ngerasa seneng, karena akhirnya gw bisa juga mendaki gunung ampe puncak. Secara gitu kawan2 sekampung adalah pendaki semua. dan gw sendirian udah lulus SMA belon pernah naek gunung. Kedua gw ngerasa tertantang karena gw kagak punya perlengkapan dan gak sempet nyiapin2. Soalnya gw diajak naik gunung H-12 jam bro sama abang2 gw di hapete. Mana sempet nyari incaran pinjaman. Tapi alhamdulillah, kaka kelas gw angkatan 43 ada yang demen naik gunung, jadi pagi2 buta gw teror kosannya, hehehe, sory ya bang, ganggu pagi2 banget.

Gw adalah pasukan paling muda di tim ini, dengan ban kapten berada di lengan abang gw, Radhi alfitra. Itu lho yang rambutnya ikal, pake kacamata, kulitnya item2 dikit, ketua himasita. Dengan jaket consina merah agak kebesaran, dia yang paling sering naek gunung. Selanjutny ada bang Latip, pake ‘pe’. Adalah abang gw di hpt juga yang ngajakin gw naik gunung saat pulang maen futsal malem2. Abang yang berjaket dan celana rei barunya, adalah abang yang paling deket sama gw, mungkin karena sama2 orang sunda. Terus ada bang Anda, paling gaol yang ini sepertinya. Celana jeans belel berlubang di lutut, lalu carier unik dan sepatu gunung reinya adalah yang pertama gw lihat saat kumpul di parkiran BNI. Terus lagi ada bang Rifki dan istrinya, eh calon ding, ato udah putus ya skarang?, ato ah, gak tau updateannya. Nama cewenya teh Sani. Asprak gw tuh mereka bedua, baik beud sering ngasih nilai laporan bagus. Teh Sani adalah satu2nya cewe di tim kita. Tapi tenang, dia pecinta alam juga lho pas SMA. Ada lagi bang Taher dan bang Johan, mereka gak ikut bareng kita nyarter angkot pagi2 jam 9 di BNI, udah duluan naek motor ke basecamp cibodas nungguin kami katanya. Semua abang2 gw itu adalah hpt 44.

eh, ada lagi sebenernya 3 abang gw dari Fateta, kawan kosnya bang Radhi. Tapi dasar daya ingat gw sempit, gw lupa2 ingat. Bah!, kita maen tebak2an nama ajak yak, biar seru. Hehe. Yang pertama ada bang Dirgan kayaknya, pake kaos garis2, berkacamata, kulit putih mirip harry potter klo dilihat dari sedotan. Ada lagi si gondrong berjeans belel juga berkaos hitam bawa ransel dan DSLR, namanya mungkin bang gilang. juga sama si abang yang pake kaos hijau yang nanti pulangnya dia kena cedera lutut. rambutnya pendek dah. Mungkin klo yang ini bang eko dah. Okeh fine, kalo ada salah satu dari kalian nemu tulisan ini, pliss coment nama kawan2 baru gw itu yak. Nuhun.

Akhirnya nyampe lah kita di base camp Cibodas jam 11an siang, tanggal 16 april 2011. Rencananya kita bakal ngtrek malem, jadi kita kagak bawa tenda. Gw masih hijau banget masalah naik gunung. Gw Cuma bawa baju kaos 2, serban 1, kagak bawa jaket, kagak bawa celana ganti, kagak bawa raincoat, kagak bawa sb, bawa matras 1, bawa mie 3, bawa air 2 botol 60 ml, bawa permen sama malkis abon, udah!. Perlengkapan yang sangat tidak lengkap.

Jam 1 siang kita mulai mendaki, cuaca saat itu cerah, agak panas malah. Kalo tentang treknya gw gak bisa ngomong banyak, udah banyak tulisan di blog2 tetangga ya da. Tapi kalo tentang apa yang gw rasakan saat mendaki pertama kali, sip, bisa lah gw bercerita.

Gunung gede menurut pendaki professional tidak terlalu ekstrim treknya. Ya paling tanjakan setan doang. Itu pun gak mirip setan2 amat, cuma tebing yang kita harus memanjat sambil pegangan sama kawat yang udah tersedia-gampang. Tapi menurut gw, meski begitu tetap menuntut kekuatan daya tahan dari pendaki. Jadi kami melakukan pendakian santai, yang penting dapet sunrise di puncak.

Sepanjang perjalanan dihabiskan dengan mengobrol tentang penelitian abang2 gw, karena mereka lagi pada kena sindrom tingkat akhir semua. Gw kan baru tingkat 3. Kebanyakan sih gw menyimak. Sempat terlintas tentang obrolan membentuk club pecinta alam di HPT, gw disuruh jadi penggagasnya. Tapi menilik dari kesibukan kami di HPT dengan laporan, praktikum dan kuliah. Akan sangat susah sekali mewacanakan pembuatan club pecinta alam. Jadi mending kita terikat hobi aja, bukan terikat organisasi. besok naik?, nyokk, gampang gak berbelit2. Obrolan juga sering menyerempet ke dua abang sejoli kita. siapa lagi kalo bukan bang Sani dan teh Rifki, eh kebalik. ya gak jauh2 dari nyarter bang taher buat foto prewedd mereka nanti di puncak lah. Hehe.

Oya ngomong2 dengan bang Taher, si abang yang satu ini memang rada2 seneng dengan fotografi, bagus2 jepretannya. Plus rasa membantu sesama nya juga tinggi. Dia ngambil bagian paling belakang, sering nyemangatin gw yang paling muda dan selalu ngocol saat yang lain mulai kelelahan. Santai aja. nikmati pemandangannya, ucapnya sambil ngebidik pake DSLR.

di kandak badak, before caw

Magrib kita udah nyampe di kandang badak. Bodoh!, udara gunung dingin juga yak, gw malah kagak bawa jaket. Yowislah, setidaknya ada serban coklat gw. Eh, rupanya ada yang lebih parah dari gw. si bang Johan malah cuma pake kaos atu sama celana pendek doang. "yang penting jari kaki terlindung mam' santai dia bilang. tapi akhirnya dia pake jaket kaos juga, meski tipis.

Setelah masak2 dan makan, dengan beralas matras terbatas, kita mencoba untuk tidur. Tapi karena dingin, kagak bisa lah gw tidur. aihhh,,tau sedingin ini, gw bawa jaket tadi, Jam 10 malem, kita mulai jalan lagi menuju puncak. Perhitungannya subuhlah baru nyampe. Teeeettttttt, you are wrong. jam 1 pagi, kita udah nyampe puncak bayangan. Tenda kagak bawa, matras terbatas, dingin gak ketulungan. Kita coba bikin api, sambil mencoba tiduran dialam terbuka. Beratap langit, beralas kalo gak ada matras, jas hujan, ato kaki kawan. Semua mencoba tidur. Cuma si bang Anda yang adem ayem tidurnya karena dia bawa SB, yang lain?, peluk gw plis peluk gw!. hehehe. gw tidur mungkin cuma 1 jam, kebangun lagi, tidur lagi, bangun lagi, terus2an ampe pagi datang. Jadi Nyesel gak naik gunung mam?, hemz, gimana yak, pemandangan Bogor malam hari dari puncak gede keren euy. Apalagi sunrise besok pagi yak?, ah, harapan memang selalu berhasil menghangatkan pikiran. Semoga memang sunrisenya keren dan hangat. Aminn, 

kawan gede

lembahnya keren,Subhanalloh

ini entah spanduk apa

pemandangan bogor, macam lukisan yak

bermandikan cahaya, cerah nian

gunung pangrango pun gak kalah megah

bibir kawah gede

Karena ini pertama gw natap sunrise dari puncak gunung, maka hamparan bukit2 kecil berkabut tipis dengan garis2 kekuningan di arah timur adalah pagi terkeren yang pernah gw lihat. Subhanalloh. Semua bangun, jepret sana sini. lalu melangkahkan kaki menghangatkan badan ke arah puncak gede sebenarnya. Langit pagi ini bersih sebersih-bersihnya langit. Cahaya matahari hangat sehangat-hangatnya cahaya. Kawah begitu menganga membuat gw merinding saat berjalan di pinggirannya. Gunung pangrango begitu menghijau lebat bahkan ampe puncak-puncaknya, berbeda dengan puncak gede yang berkawah. Kehangatan pendaki lain juga ikut menambah rasa pengalaman pertama gw, dan apa itu?, penjual nasi uduk?, jadi bener, di puncak gede ada penjual nasi uduk?, bah!, beli satu bungkus mang, laper euy.!


laper? tenang ada tukang nasi uduk

trek berbatu segede kepalan tangan,

Lalu kita pun turun kembali, dengan persedian yang menipis, bahkan hampir keabisan. Yang tersisa cuma beberapa botol air dan beberapa mie. cukup untuk satu kali masak. Tapi tak membuat kami patah arang. Semua senang, bisa menyaksikan sunrise yang begitu hangat. Mimpi yang tercapai dengan pengalaman pertama yang menyenangkan. Di perjalanan bertemu dengan kawan HMIT IPB, lalu mandi di air terjun cibeureum, pas dari cibeureum ini lah, si abang eko mulai terkilir kakinya, apa dari awal turun udah kena terkilir ya bang?, lupa gw. Yang jelas, saat di jalan yang banyak tangganya itu, ada seorang cowok cina tiba2 berhenti, lalu dengan senyum yang menurut gw tulus, menawarkan diri memijat si bang eko. “emang kamu bisa mijit kaki terkilir yang?”ucap si cewe di sampingnya, pasti pacarnya. Adegan selanjutnya udah pasti bisa ditebak. Si cowok cina mengarahkan semua kemampuan mijitnya, agar si cewek terkesan. Kentara banget ekspresinya. Apalagi si ceweknya terus2an senyum2 sendiri, merasa cowoknya adalah cowok paling berakhlak mulia sedunia, punya kemampuan pijit yang mungkin kapan2 bisa di terapkan buat mijit si cewek, kalo kaki nya terkilir maksudnya. Apapun yang ada di pikiran mereka berdua, gw sangat berterima kasih sama kalian. Kaki si bang eko gak terlalu sakit lagi katanya. Kami pun nyampe base camp cibodas lagi agak sore an. Semua kelaparan, semua memesan indomie pake telor plus teh manis anget, sambil nunggu carteran mobil datang. Di dalam mobil, si supir lagi demen banget sama lagu wali. full, dari cibodas ampe kosan wali semua lagunya. Jadi klo hari ini gw denger lagu wali, gw pasti inget pengalaman pertama mendaki. Tidur, dalam mobil semua tertidur, pada kurang tidur semua gan, kedinginan.

trek pulang

dipertigaan menuju gede dan pangrango

air terjun cibeureum

di jembatan

bang anda

bang dirgan kalo ndak salah

bang eko kalo ndak salah

bang gilang kalo ndak salah

bang johan

bang latip

bang radhi dan bendera himasita kebanggannya

bang rifki dan teh sani

bang taher

gw, paling muda dan kagak bawa jaket

Oke sipp, makasih abang2 sudah ngajakin gw naik gunung. Sudah ngenalin sunrise, sudah ngenalin edelweiss, sudah ngasi wejangan2 tentang naik gunung, sudah berbagi suka dan duka, dan yang pasti sudah berbagi rasa untuk gw yang baru pertama naik gunung. Asli, gw jadi ketagihan naik gunung. Mantabbhhhh!!!

Mess putra, Jambi 17 September 2013