Laman

Selasa, 19 November 2013

Aku tidak layak untuk mu

"mas, iso pegang bayi ku sebentar? Aku ndak tahan pengin ke wese!” seorang ibu-ibu tidak terlalu tua tanpa curiga sedikit pun, tiba-tiba saja menyodorkan bayi kecilnya yang bergerak-gerak lincah padaku. Membuyarkan lamunanku saat memandang parodi persawahan episode malam hari di sepanjang perjalanan berkereta. Tanpa menunggu jawaban dari ku, ia sudah melepaskan genggaman bayinya, dan berlari kecil ke arah ruas antar gerbong. Menghilang di telan pintu toilet kereta.

20 menit kemudian, ibu itu datang lagi dan berulang kali berucap terima kasih padaku karena telah menjaga bayi kecilnya. Dan hey, “biasanya Rakan susah lho mas tidur di kereta” ucap ibu itu seraya hendak mengambil si bayi dari gendongan ku. “biar Rakan tidur di gendongan saya aja bu, kasihan kalau nanti kebangun” tukas ku lembut. Ibu itu yang sekarang sudah duduk di samping ku, sekali lagi berucap terima kasih. Dari obrolannya, aku tahu bahwa katanya aku memiliki ‘aroma lulut bayi’ atau aroma penjinak bayi, sehingga dengan mudah bayi menyukai ku. Aku tersenyum saja mendengarnya. Ya, memang aku suka anak kecil. Mereka itu merdeka, tidak banyak yang dipikirkan.

Jam di pergelangan tangan menunjuk angka 10. Si bayi sudah berpindah dalam gendongan ibunya yang sekarang ikut tertidur. Ditemani derik ringkihan gerbong kereta, dengkuran bapak-bapak di kursi sebrang, aroma keringat yang menguap dan sesekali terlihat hilir mudik penjual kopi instan yang tak lelah terus menawarkan dagangannya.

Keheningan perlahan menyeruak dalam alam pikirku. Membuat aku terjaga disaat orang lain terlelap. Memikirkan tentang alasan di umurku yang lulus kuliah saja belum, memberanikan diri sendirian pergi ke ujung timur pulau Jawa. Sebut saja aku sedang melarikan diri. Dari sebuah candu yang merenggut segalanya. Candu yang membuat aku tidak pernah layak untuknya.
**

Kita, lagi-lagi aku ingin bercerita tentang aku dan kamu yang membuat kata 'kita' lahir.
Sudah beberapa bulan ini, aku sering memerhatikan mu. Pertemuan-pertemuan kita tak pernah sekalipun tidak membekaskan keindahan dalam hati. Bahkan saat kamu meminjamkan pulpen saja, itu membekasnya berhari-hari. Apalagi saat kita mengobrol berdua di kereta itu. Dua bulan sepertinya baru bisa terbebas dari tidak mengimpikanmu. Aneh memang. Tapi begitulah cinta yang diciptakan Tuhan. Cinta? apakah aku bisa menamakan perasaan ini sebagai ‘cinta’? tak tau lah aku.

Kau masih ingat? bingkisan yang kau beri di hari terakhir kita berpisah. Bingkisan yang sekalipun tidak pernah aku buka demi memelihara kerinduan. Aku pernah membaca. Ada seorang pendaki yang suka menaklukan gunung-gunung tapi tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di puncaknya. Sesaat sebelum mencapai puncak, ia akan berhenti. Menatap puncak sebentar dan berbalik arah untuk pulang. Kenapa? capek capek naik gunung tapi malah tidak mau sampai ke puncak. Jawabannya sederhana. Ia sudah punya sendiri puncak gunung itu di sini. Di hatinya. Percayalah. Dengan seperti itu, kepuasan rasa penaklukan gunung menjadi lama bertahan dalam diri. Pun dengan bingkisan itu. Sekalipun tidak pernah membukanya karena aku sudah punya sendiri isi dari bingkisan itu, Disini! Dihati ini. Dan kerinduan tentang mu melalui bingkisan itu, selalu terpelihara dengan baik.

Dari cara kita berinteraksi melalui media apapun. Perlahan aku yakin bahwa masing-masing dari kita, berharap lebih dengan hubungan ini. Meski tak pernah sekalipun kata resmi terucap.

Tapi masalahnya adalah aku nya. Aku dengan segala kelemahan ku, kelemahan yang tidak pernah bisa aku enyahkan dalam kehidupanku beberapa tahun terakhir ini. Membuat harapan dalam doa ku mungkin tidak layak Tuhan kabulkan. Bukankah perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik? Ya, aku bukan orang baik seperti yang kau kira. I'm a bad guy.

Kau tidak sadar bahwa tubuhku semakin kurus. Bahwa isi dompetku semakin tipis. Bahwa makanan tidak ada lagi yang bisa menggoda perut. Bahwa aku semakin terjerembab dalam kutukan duniawi. Tampak dari luar aku ceria, penuh gairah kehidupan. Tapi kalau dilihat ke dalam. Ada kerapuhan yang mengkreposkan akal. Bahkan hampir mematikan akal.

Aku selalu memakai dosis yang sama di setiap lintingan yang aku buat. 50% tembakau, 50% ganja. Hal ini aku lakukan, untuk menjaga otakku agar tetap waras. Setidak nya untuk membeli daun haram itu aku tidak pernah menggunakan uang haram. Pun dengan dosis seteng-seteng itu, aku bisa menyembunyikan dengan baik sisi kepribadian buruk ku. Jadi tak setitik pun kau akan mengira bahwa si petualang ini adalah seorang pecandu.
**

Bayi kecil dalam gendongan ibu yang duduk di samping ku menggeliat bangun. Mungkin ia lapar. Sang ibu yang sudah mengerti, dengan mata masih terpejam langsung mendekap pelan si bayi ke dadanya, memberikan apa yang dibutuhkan si bayi.

Sejatinya aku tidak pernah ingin menjadi pecandu. Kalau saja rasa penasaran yang menggebu tidak aku hiraukan kala itu, mungkin aku seperti si bayi dalam gendongan si ibu. Bebas minta apa saja pada Tuhan tanpa perlu ada beban menghimpit.

Aku sudah berusaha untuk menghentikan candu ini. Tapi nyatanya selalu gagal. Apa karena aku berjuang sendirian? tidak melibatkan orang lain untuk membantu? Ya, berjuang sendirian memang gampang sekali dikalahkan. Kau lihat, ada beberapa tanda bekas terbakar di tangan kiri, seperti bekas sundutan rokok!

Saat kesadaran ku kembali. Aku selalu mensundut tangan ku dengan lintingan kretek yang sering aku hisap. Memaksa otak untuk segera sadar bahwa sakit ini hanya sebagian kecil dari sakit yang akan aku rasa di neraka kelak. Tapi lagi-lagi sendirian itu bukan cara yang tepat. Kalau nanti kita masih ditakdirkan berjumpa, kau akan lihat banyak sekali bekas sundutan kretek di lengan kiri ku. Bekas usaha yang gagal.



Tentang mu, aku tidak perlu cemas. Aku akan berusaha agar kita tidak pernah berjumpa lagi. Meski aku sangat berharap Tuhan menakdirkan kau menjadi pendampingku. Otak warasku memilihkan jalan yang terbaik untuk kita. Toh aku juga sebenarnya tidak pernah tahu isi hatimu. Jadi tak akan ada hati yang tersakiti.

Aku akan pergi dari dunia mu. Tidak memegang hape, tidak membuka media sosial, menjauhi kota mu dan tentu saja juga akan mengganti nama. Benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Ya, aku memang terlalu pengecut untuk meminta tolong keluarga, teman ataupun kamu. Lebih baik aku mengasingkan diri di kedamaian pesantren Jombang.
**

Cahaya pagi, hangat menyapa kami para penghuni kereta. Dari tulisan plang di stasiun tempat kami berhenti sejenak, aku tahu kereta ini baru sampai di Semarang. Dan masih harus melewati satu hari satu malam lagi untuk sampai di Jombang, kunjungan kali kedua.

Para pedagang sudah lalu lalang menawarkan berbagai panganan sarapan yang bisa mengisi perut. Aku memilih membeli dua nasi pecel untuk sarapan. Satu untuk diberikan kepada ibu yang duduk disampingku, ibu yang membawa bayi tadi. Lalu di terimanya nasi pecel itu dengan berulang kali anggukan terima kasih. Aku tahu dia sedang berhemat dari geriknya yang terus-terusan memegang dompet kain lusuhnya sambil menatap setiap dagangan yang lewat.

“ibu makan duluan saja, sini biar Rakan nya aku yang gendong!”sambil menyerahkan dua bungkusan pecel, aku hendak mengambil rakan dari gendongan nya. Awal nya ia menolak halus dan mempersilahkan aku makan duluan. Santai saja aku jawab “masih kenyang bu, sini aku gendong!” ibu itu langsung menyerahkan si bayi yang dari tadi mengerjap dan celingak celingkuk menikmati keriuhan dalam kereta. Tangan nya langsung menggapai-gapai wajahku begitu aku langsung menggendongnya. Lihatlah! Wajah bulat agak lonjong, dengan mata bening dan kulit putih bersih agak kemerahan, mengingatkan aku pada manusia pemilik mata bening dan teduh di kampus ku.

Namanya Arif Nur Prasetyo. Orang Jombang asli. Saat pertama bertemu, entah kenapa dia bisa begitu dekat denganku. Bahkan ia tanpa ragu mengajak aku mengaji bareng di rumah gurunya. Semakin sering lah kami bersama. Karena kedekatan itulah, suatu hari dia bercerita tentang kehidupan gelapnya di masa akhir SMA nya dulu. Rupanya dia terasa dekat dengan ku, karena dia adalah mantan pecandu. Dan walaupun aku tidak pernah bercerita, ia bisa tahu semenjak pertemuan pertama tentang kebiasaan burukku.

“kalau lingkungan disini terlalu kuat mengekang, maka hijrahlah. Di Jombang sana, ada sebuah pesantren tempat ane membuang candu ane dulu. Berat memang. Tapi insya Alloh ente akan sembuh plus bisa dekat dengan Alloh” ucapnya di suatu hari saat ia melihat bekas sundutan rokok di tangan kiriku.

“ane rasa cuti satu tahun cukup buat ente mengasingkan diri. Ada prioritas yang lebih penting dari sekedar lulus kuliah tepat waktu” ucapnya lagi memantik semangatku. Mata bening nya selalu saja membuat aku tidak pernah ragu dengan apa yang dia ucapkan.
**

“makan aja nasi pecel punyaku bu, nanti aku bisa beli nasi pecel lagi” ucapku saat melihat ibu itu selesai menghabiskan nasi pecelnya. Cepat sekali. Mungkin akibat kemaren malem ia tidak makan. Seperti biasa, awalnya ia malu dan menolak secara halus. Tapi kali ini, dengan seulas senyum ku saja, ia sudah mengerti bahwa aku tulus memberikan nasi pecel punya ku. Toh, aku bisa membeli lagi nasi pecel lain. Aku kembali asik bermain-main dengan Rakan, si bayi kecil yang kini berceloteh ba bi bu sambil sesekali tersenyum melihat tingkah ibunya.

Saat ibunya selesai sarapan dua nasi pecel, ia langsung menyuruhku untuk sarapan begitu nenek-nenek pedagang nasi pecel lewat. Lembut sekali. Tangan Si bayi begitu erat dan lembut memegang telunjuk ku saat hendak digendong oleh ibunya. Selembut dan seerat jabatan tangan dari seseorang yang pertama kali menyambut ku di pesantren Bahrul ulum Jombang waktu itu.

Namanya kyai Bisri, atau dikenal dengan sebutan gus Bisri. Badannya yang terlihat tinggi dan agak kurus, serta rambut dan janggut yang memutih di wajah tirusnya menjadi kesan tersendiri selain jabatan tangannya yang erat dan lembut saat pertama kali berjumpa. Bawaannya yang kharismatik, membuat aku terasa telah lama menjadi muridnya.

Tiga bulan didalam pesantren itu, sungguh aku seperti orang gila. Darah ku sering mendidih saat candu ku bergejolak. Kyai Bisri menyuruh 3 orang sekaligus untuk membersamaiku kemanapun aku pergi. Termasuk saat hendak buang hajat di kamar mandi. Tujuannya jelas, agar aku bisa dipegangi saat hendak menjedotkan kepala ke dinding, atau saat ingin menyayat lengan dengan pisau dan menghisap darah sendiri.

Tanpa bosan, kyai Bisri setiap hari sering memberikan aku air doa, daun-daun obat yang entah apa jenisnya dan petuah-petuah tentang kematian yang membuat porsi warasku bertambah.

Di bulan kelima, rasa canduku mulai berkurang tapi tetap masih sering membuat aku bermimpi buruk. Memang waktu malam adalah waktu keinginan itu sering menggila. Tapi kyai Bisri selalu saja bisa membuat aku tertunduk malu. Sesekali ia malah sering tidur bersama kami di kamar santri, seperti ingin full menjaga dan mengobatiku. Di sepertiga malam, meski agak kasar, kyai Bisri pasti membangun kan ku untuk solat malam. Katanya di waktu itu Alloh turun langsung ke langit dunia untuk menjawab apapun doa hambanya.

Di bulan ke tujuh, rasa canduku hampir hilang. Keinginan itu hanya sebatas terlintas sejenak di pikiran. Lalu dengan wudhu dan solat sunah dua rakaat, keinginan itu lenyap.

Di bulan ke sepuluh, aku merasa sudah begitu dekat dengan Tuhan. Tidak ada lagi candu dalam diri. Solat sunah wudhu, duha, tahajud, dzikir pagi sore, membaca, mentadaburi dan mengahafal alquran menjadi amalan penghias hari-hariku. Pun dengan puasa senin kamis telah menjadi kebiasaan yang terlalu sayang untuk di lewatkan.

Pemahaman agama ku sekarang bertambah seiring dengan berat badanku yang juga ikut bertambah. Aku berjanji pada kyai Bisri, akan kembali lagi ke pesantren ini setelah skripsi ku selesai. Bekal ku dirasa belum cukup untuk menjalani hari-hari di gemerlap kota Jakarta dalam waktu yang lama. “gus berdoa semoga Alloh selalu melindungi mu” ucap kyai Bisri saat melepas kepergianku. Tatapannya meneduhkan. Membuat aku ingin berlama-lama mencium tangannya dan memeluknya. Pelukan seorang anak terhadap ayahnya.
**

Kali ini si bayi mulai menangis. Seperti nya akibat dari hawa panas yang menyelimuti seisi gerbong kereta. Ibu itu lalu membuka baju si bayi. Tapi tetap saja si bayi terus menangis seakan hendak menyampaikan sesuatu. Tapi tidak bisa. Si bayi tidak tahu bagaimana cara menyampaikan sesuatu selain dengan menangis. Pun si ibu itu, belum mengerti dengan apa yang ingin disampaikan si bayi.

Seperti tidak tahunya aku saat keluar dari ruangan sidang skripsi, disambut oleh titikan air mata si jilbab abu-abu. Ia yang mulai terlupa dalam benak. Kembali bermunculan seperti jamur di musim hujan. Tidak banyak yang berubah dari penampilannya setahun ini.

“kenapa kamu menangis? terharu ya melihat aku bisa lulus sidang?” tanyaku tanpa berani menatap. Eh, dia malah melengos pergi tanpa suara selain isak yang tertahan.

“Desi? Ada apa?” teriakku membuat ia berhenti sejenak. Tanpa menoleh. Ia terus melangkah kan kaki, tertelan di belokan ujung koridor. Aku sebenarnya ingin mengejar, meminta penjelasan. Tapi bukankah aku tidak pernah layak untuknya. Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Biarlah hubungan kami seperti ini. Pasti ia akan mendapat yang lebih baik dari ku.

Seminggu kemudian, aku berenaca pergi lagi ke Jombang menggunakan kereta. Dan entah ia tahu dari mana, tiba-tiba saja wajahnya yang tirus menyembul di sela arus manusia yang berjalan menuju pintu keluar stasiun. Memang jam segini jam nya stasiun Bogor terlampau padat di sesaki arus manusia yang pulang kerja.

Dengan pipi memerah, ia menyerahkan selembar kertas terlipat pada ku. “bacanya saat sudah naik kereta ya mas” tanpa memedulikan tatapan berkerut kening ku, ia beranjak pergi menghilang bersama berjubelnya manusia yang melewati palang pintu otomatis.

Setelah naik kereta, menghempaskan diri di salah satu kursi kosong, aku tidak sabaran membuka isi surat yang dilipat sederhana ini. Saat membacanya, terus terang, dua kalimat ini tidak aku mengerti maksudnya.
**

Penjelasannya adalah, si bayi rupanya ingin diganti popoknya. Lihat saja, si bayi kembali riang setelah dibawa ibunya kembali dari toilet kereta. Tangan si bayi kembali menggapai-gapai wajahku saat aku mengendongnya. Sementara si ibu membereskan isi tasnya.

Tapi adakah penjelasan dari secarik kertas ini? juga penjelasan kenapa ia malah menangis saat aku keluar dari ruangan sidang? Bukannya nanya kabar atau bilang selamat kek.

“terima kasih banyak ya mas semua bantuannya sama istri saya” ucap suami si ibu saat menjemputnya di stasiun pemberhentian terakhir. Lelaki berkulit legam dan berbadan kekar itu kemudian memeluk ku, membuat dada sesak. Sekali lagi mereka berucap terima kasih. Aku, hanya tertarik mencium Rakan untuk terakhir kalinya.

Beberapa jam kemudian, kyai Bisri kembali menjemput kedatanganku di gerbang pesantren. Padahal aku tidak bilang akan datang hari ini. “naluri seorang guru itu kuat le” jawabnya saat ku tanya perihal kedatanganku.

Selepas subuh, aku menyempatkan bersilaturahmi ke rumah kyai Bisri. Sedikit sharing pemikiran niatku.

“kalau menurut gus, sampean harus melamar si gadis itu” ucapnya bijak saat aku mintai tanggapan mengenai cerita antara aku dan si gadis. Kemudian ia mengusap-ngusap janggut putihnya sebelum akhirnya ia menyeruput teh manis yang dibuatkan istrinya. Aku yang sudah haus, ikut juga menyeruput teh manis beraroma melati itu dan bertanya lagi hati-hati, “saya kira, saya tidak layak untuk dia, kyai. Terlalu banyak dosa-dosa saya” ingat! Aku ini mantan pecandu. Aku tidak tahu apakah masa depan akan sekuat sekarang? Dari pada nanti membuat dia terluka, lebih baik katakan tidak dari sekarang.

Coba baca kembali isi kertasnya. Perintah kyai Bisri padaku. Aku menurut saja untuk membaca kembali kertas itu. Lalu entah bagaimana, aku mulai bisa menebak apa maksud dari tulisan itu. “jangan-jangan, kyai, Dia sebenarnya udah tahu? Dan dia ingin mengatakan bahwa,,,” ucapan ku terhenti saat melihat kyai Bisri mengangguk lembut.

‘yang membedakan manusia dengan yang lainnya di sisi Allah adalah ketakwaannya’
‘Allah maha mendengar setiap doa hambaNya’

Mess putra LAJ Jambi 18 Nov 2013.
Note: Akan ada cerpen serupa dengan sudut padang si gadis.

Sabtu, 09 November 2013

Plis! Jangan jadi manusia yang gampang geeran.

Ini bukan curhat, bukan juga kode, apalagi pesan terselubung. Ini hanya tulisan yang gue buat untuk melepas kekoplakan otak gue, yang sering banget kena sindrom 'kegeeran' (mirip curcol si sebenarnya, errrr)

What the meaning of 'kegeeran'. Dia adalah satu kondisi saat lu tiba-tiba senyum-senyum sendiri hanya karena ngebaca status pesbuk orang lain. Atau saat lu ngebaca tulisan orang lain. Atau saat lu ngobrol dengan orang lain. Lawan jenis biasanya. Intinya lu bisa ngerasa 'something happen' saat lu berinteraksi dengan orang lain, entah itu interaksi satu atau dua arah.

Mari kita perjelas dulu. Kenapa bisa terjadi 'kegeeran'.
Menurut logika gue. Kegeeran terjadi karena kita berharap orang lain melakukan sesuatu yang spesial buat kita. Misalnya berharap dia suka dengan kita, sayang dengan kita, tidak mau berpisah dengan kita, memperhatikan kita, ingin menikah dengan kita, ingin menjadikan kita insprasi dan lain hal sebagainya.

Yang jelas. kegeeran itu bisa terjadi bukan hanya interaksi lawan jenis. Pun interaksi dengan sesama jenis juga bisa terjadi (plis! lu jangan mikir homo disini). Oke kita ngambil contoh. Ini interaksi lawan jenis ya. Misalkan ada seorang cewek nulis di status pesbuknya. "hey kamu! ya kamu yang di sebrang sana. Lihat juga kah gemintang di langit malam kali ini? Yeah. Semoga kamu juga sedang menatapnya."

Heloooo, jangan hanya karena lu dengan dia dekat, bukan berarti si 'kamu' yang dia tulis adalah benar-benar kamu!

kan dia bilang 'di sebrang sana', gue kan disebrang juga.

Yeelah, emang yang disebrang cuma lu doang. lu kelilipan apa kagak ngeliat. Banyak kale laki-laki lain yang dia kenal dan kebetulan lagi disebrang juga.

Atau mungkin kebetulan dia adalah seorang penulis. Ini bukan berarti yang suka bikin gue kegeeran adalah seorang penulis. Hanya saja gue rada seneng ngebaca tulisan orang lain. Kalau menurut gue bagus ya gue baca!

Misalkan sekali waktu dia nulis tentang perasaan nya di blog atau catatan pesbuk. dan seperti biasa. Mereka suka make kata "kamu" atau "dia" untuk memanggil si cowok atau cewek yang dimaksud. Kalau kamu jeli dan baca nya biasa aja. Maka yang terjadi adalah kamu ngerasa biasa aja juga. Seperti gue yang ngerasa biasa aja nulis tentang seorang cewek. Kalo dia inspiring? why not?

Sekali lagi gue tekankan. Banyak temen-temen cewek yang mengelilingi dia kalo lu adalah cewek. Banyak temen-temen cowok yang kenal sama dia kalo lu adalah cowok. Lu dibanding temen-temen dia. kagak ada apa-apanya. lu gak ganteng-ganteng amaat. lu gak cantik-cantik amat.

Setiap orang kan diciptakan berbeda dan unik, jadi gak bisa kita main fisik!

Okeh kalo yang ini gue setuju. Tapi tetep aja. Yang namanya kegeeran. Itu berarti lu memupuk sebuah tanaman yang lu kagak tau sebenarnya tanaman apa yang lu tanem. Kagak pasti. Bisa aja itu kacang, atau bayam, atau cabe. bisa aja kan?. Artinya lu kagak tau yang dia maksud itu beneran kamu atau orang lain. Bisa aja ternyata yang dimaksud adalah satpam sekolah lu, bisa aja kan?

Contoh untuk kegeeran saat mengobrol gimana? Ya kaya gini. Lu ngobrol bareng sama dia. Dari gesture nya, ko’ dia sering banget senyum-senyum ke elu. atau dia lama banget natepin lu. atau tiba-tiba dia ko’ suka bawain permen yak, atau ko’ dia kalau pergi bareng suka baik gitu, ngelindungi, merhatiin.

Nah memang ini nih yang paling rada susah dijelaskan. Gue cuma mau bilang. Barangkali sikap dia ke elu, itu sama dengan sikap dia ke yang lainnya. Misal dia suka perhatian saat naik gunung bareng. Lu nganggep itu adalah spesial. Padahal ternyata dia emang suka kaya gitu kalo naik gunung bareng cewek. atau dia sering senyum ke elu. Eh ternyata emang pembawaan nya dia suka senyum-senyum. Gitu masbroh, mbasist.

Oya gue belum bahas kegeeran yang sesama jenis. Gini kalo itu. Misal bos lu yang laki-laki, atau kontraktor bibit. Tiba-tiba aja ngasih duit ke elu 5 juta. Lu jangan kegeeran. Nganggap dia pengertian, baik banget, tau aja kalo lagi butuh duit buat beli laptop baru. SADAR WOI. itu lu lagi di suap. ya pokoknya something like that lah.

Intinya dari tulisan ini. Jangan jadi manusia yang gampang geeran. Bodo amat dengan tulisan, status, chat, sms, telpon-telpon, gesture atau apapun. Lu harus teliti. Saat masa depan rupanya tidak sesuai dengan harapan. Bisa-bisa nyesek kedaleman nanti.

Jadi kalau gue pengen gak kegeeran lagi? tapi masih penasaran dengan tingkah dia.?
Pilih dua hal. Tanya langsung ke dia atau paksa lupakan.

Trus kalau gue tanya dia dan ternyata yang dia maksud beneran gue?

Nah ini udah bicara komitmen berarti. Kalau lu udah siap dateng ke bapaknya, atau siap ngetemuin bapak lu didatangi dia. Ya berarti dia emang jodoh lu. Tapi kalo belum siap. Mending lupakan dah. Itu sih cuma saran gue. Terserah. Lu sendiri ko’ yang ngerasain. Dan bakal nerima akibatnya nanti.

So, Remember! all about relation between us, are nothing special. Now, just a friend okay?. Laki-laki atau perempuan itu bukan hanya kita seorang. Buanyakkk!

Semoga lu kagak mengerti, biar bisa coment di ini blog. Saling sharing dan silaturahmi lah.
Sekian,

mess putra jambi 9 Nov 2013.

si gadis kaca spion dan si kaos lusuh

Rembesan air mata terus saja mengalir deras. Mencari titik terendah dari sebuah tujuan. Ia jatuh di dada. Ia mengendap di bantal. Ia membasah di hati.

Otaknya terus saja berputar memikirkan rentetan kejadian barusan. Otak yang kata dokter seharusnya diistirahatkan untuk memulihkan kondisi badan, terus saja memaksa untuk bekerja. Mencari sebuah solusi dari sebuah kata ‘research failed’. Tidak bisa, semakin ia mencoba berpikir, semakin menusuk sakitnya. Belum lagi tubuh lemah yang terkulai 3 hari ini semakin sulit untuk digerakan. Maka menangis menjadi sebuah pelarian. Berharap Tuhan berbaik hati memperdengarkan tangisnya kepada siapa pun. Ya, ia butuh siapapun sekarang. Sendirian itu menyesakkan.

Jam masih menunjuk pukul 18.00. Masih butuh satu jam lagi untuk mendengar ucapan 'sayang, udah diminum obatnya belum?' dari mulut kedua orang tuanya. Matanya yang sembab ia coba pejamkan. Berharap ada sedikit ketenangan yang bakal ia rasa. Bulir-bulir air mata masih menempel di ujung bulu matanya. Bergerak turun naik mengikuti gerakan bola mata yang sekarang dipaksa mengerjap. 'ayo Mino! kamu harus bangkit!" gadis itu berteriak dalam hati.

Perlahan ia angkat kepala. Diikuti naiknya punggung dengan siku yang digunakan seperti dongkrak hidrolik. Suara berdecit terdengar dari ranjang saat punggungnya yang telah bergeser, pelan menghantam bantal yang melintang di dinding. Dengan nafas terengah ia berpikir, kenapa pulak temen-temannya tidak ada yang menjenguk. 'Hey' pikirannya yang lain mencoba mengajak bercengkrama, 'lu adalah mahasiswa tingkat akhir sekarang. Kuliah udah kagak ada. Jadi temen-temen lu nggak ngerasa aneh kalau lu nggak datang ke kampus beberapa hari.’

Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia mencoba meraih telpon genggam di meja rias tepat disamping ranjang. Tapi malah kaca spion motor yang tergeletak disamping telpon genggam lah yang ia raih. Kaca spion yang kerap menjadi barang wajib dibawa kemanapun ia pergi. Kaca spion yang menjadi saksi akan perubahan drastis hidupnya. Aneh. Seperti ada kekuatan magis yang keluar dari kaca spion itu, membuat dua ujung bibirnya tertarik ke atas pipi, tersenyum.

Ada banyak hal yang tiba-tiba terlintas saat menatap wajah berjilbab merah muda dalam kaca spion itu. Seakan kaca spion itu adalah kotak pandora yang dengan hanya melihatnya, kotak itu tiba-tiba terbuka dan mengeluarkan ingatan-ingatan yang berlesatan memenuhi ruang kamar bercat dinding merah muda ini. Semua ingatan itu melayang-layang di atap. Lalu satu persatu berparodi di layar otaknya. Membuat senyum di bibirnya terus terkembang.

Adalah kejadian-kejadian kocak, koplak, gila, bego, lugu, tapi ngangenin dari 60 mahasiswa dikelasnya yang pertama ia ingat. Senyum nya kini berubah menjadi tawa kecil. Kepalanya menengadah menatap keatas, menembus atap rumah, membubung ke angkasa dan menghunjam pada sebuah bangunan universitas ternama di Bogor. Melalui mereka, Mino pernah tersadarkan. Bahwa kamu tidak perlu menjadi orang lain untuk diterima disebuah komunitas. Kamu hanya perlu menjadi diri kamu sendiri dan menyayangi mereka dengan tulus. Dan kalau mereka juga menyayangi kamu, mereka akan tetap menerima mu meski kamu adalah cewek tomboy pengin insaf yang ceroboh dan teledornya nggak ketulungan dan kadang suka nyusahin banget.

Melalui mereka juga, Mino mulai mengerti, bahwa saat kamu benar-benar sayang pada mereka. Kamu Nggak perduli yang namanya ‘give and take.’ Yang kamu pikirkan adalah bagaimana memberi mereka yang terbaik dari mu tanpa perduli apa yang akan kamu dapat. Dan kadang kebahagian mereka lah yang menjadi prioritasmu. Bahkan dalam prosesnya air matamu juga harus dikeluarkan.
Denyut di kepalanya memang masih terasa. Tapi tidak semenyakitkan tadi. Benar kata orang, Senyum itu bermanfaat untuk kesehatan. Ia pejamkan mata sejenak. Mendekap kaca spionnya erat. Meresapi semua kejadian menyenangkan yang pernah ia lalui. Ya, saat sakit, apalagi typhus yang melemahkan raga. Maka Ingatlah saja kejadian-kejadian yang membuat hatimu terbang bahagia. Itu sedikit banyak membantu otak untuk tenang, dan bisa lebih maksimal bekerja memperbaiki tubuh.

Kali ini yang ia ingat adalah pengalaman pertamanya mendaki gunung tertinggi di pulau Jawa. Yupp, Mahameru –puncak nya para dewa. Jika kalian ingin membentuk ikatan keluarga diantara sahabat kalian. Maka dakilah gunung bersama. Banyak hal yang akan dirasa. Kebersamaan, kekeluargaan, rasa saling menghargai, memperhatikan, berbagi, saling membantu dan terbantu. Termasuk rasa terlindungi oleh seorang manusia berkaos lusuh dan bertampang slengean yang walaupun sering banget nge-bully, tapi selalu saja ada nasihat terlontar dari bibirnya. Anehnya apapun yang dia katakan, bisa langsung meresap di hati Mino. Membuat banyak perubahan dalam hidupnya.

Bukan, bukan karena si kaos lusuh seutuhnya Mino mulai berubah. Semenjak masuk kuliah, sebenarnya Mino ingin memerhatikan dan diperhatikan penampilannya. Memang dulu Mino terlalu asik dengan tampang tomboynya, males perawatan wajah dan rambut, celana pendek, kaos oblong, tas daypack atau slempang, caur, seneng bergaul dan berpetualang. Tapi sekarang. Saat kedewasaan mulai hinggap dipikirannya. Saat hidup bukan hanya untuk berpetualang di alam liar saja. Hidup juga mempunyai masa depan yang penting dipersiapkan bekalnya dari sekarang. Plus si kaos lusuh yang sekarang mulai sering memakai kemeja rapi juga ikut andil mengakselerasi perubahan pada diri Mino.

Maka lihatlah Mino yang sekarang. Ia telah berubah. Ia mulai terlihat feminim. Ia perduli penampilan. Wajah lebih halus, memakai jilbab, membawa tas keranjang warna pink pulak dan mulai sering bingung bagaimana mengatur agar baju, kerudung, sepatu, tas bisa matching sesuai tema perhari. Hanya satu yang tidak berubah. Ya, kaca spion nya. Tetap selalu ia bawa kemana-mana.

Setelah meminum obat, Mino merubah posisi duduknya menjadi berbaring. Dibanding tadi, ia lebih siap untuk beristirahat sekarang. Besok, ia harus sudah sehat. Ia harus menelpon dosennya. Menjelaskan baik-baik kegagalan data penelitiannya.
**

“Sayang, kamu sudah bisa jalan?” teriak ibunya Mino saat mendapati Mino berjalan menghampiri meja makan untuk sarapan. Matanya berkilat melihat senyum tulus Mino memamerkan gigi berbehelnya. Cepat-cepat ia mendekati Mino dan membantunya duduk di kursi. Kemajuan yang luar biasa pikirnya.

“Mino, tadi malam, papa melihat dua temanmu nunggui kamu di depan gerbang, katanya ingin menjenguk kamu. Tapi papa bilang kamu sudah tidur. ” kali ini papanya Mino yang bercerita. Ia sejenak membalas tatapan penasaran Mino sebelum kemudian memasukan sesendok nasi goreng ke mulutnya. nasi goreng terenak yang kerap dibuatkan istrinya. Setelah kunyahan nasi goreng itu tertelan habis, meminum air putih sebentar, ia lalu berkata lagi, “kalau gak salah namanya Andre dan Tomi. Mereka sejam lebih nungguin kamu, dan katanya hari ini mau pada datang lagi.”

Mendengar kata Tomi, si pemakai kaos lusuh itu. Mino seketika lupa kalau ia sedang sakit. Ia menjadi merasa baik-baik saja. Dadanya berdegup kencang, “Tomi bakal kesini lagi?” tangannya tertelungkup di wajah. Ia menjerit-jerit dalam hati.

Dan benar saja. Jam 4 sore. Di hari minggu itu, hampir semua temannya datang menjenguk dengan membawa setumpuk bekal makanan, cemilan dan tawa riang mereka. Ramailah rumah dibuatnya. Mungkin orang yang kebetulan melintas akan berpikir kalau rumah ini adalah panti asuhan. Dan hey, si kaos lusuh juga datang. Masih tetap saja ngebully Mino habis-habisan. Tapi lihat, yang sekarang keliatan seperti orang sakit malah Desi. Temen deket Mino ini dari tadi memerah mukanya karena ia menjadi korban bully selanjutnya. Ia memeluk Mino erat merajuk pembelaan. Karena Cuma mereka berdualah korban bully paling potensial sekelas.

Tuhan memang benar-benar baik ya. Ia tidak hanya mendengar tangis Mino, Ia juga mendengar harapan Mino dengan memberikan orang-orang yang begitu perhatian disekelilingnya. Kita hanya perlu berpikir positif. Semua ada waktunya. Termasuk tentang si kaos lusuh itu. Rasa itu, rasa yang awalnya hanya sekedar about friendship, tumbuh lebih kuat tanpa bisa dicegah. Ia selalu merasa terlindungi saat dekat dengan dia. Ia merasa langit selalu terlihat begitu cerah. Tapi Ia tidak tahu kapan rasa dalam hatinya akan tersampaikan. Ia juga tidak tahu mengapa ia takut menyampaikannya. Kehilangan. Ya, Sepertinya rasa kehilangan yang membuat ia takut. Kehilangan sosok seorang sahabat. Maka biarlah Mino tetap menjadi secret admirer saat ini. Biarlah ia terus memendam perasaan nya hingga ia siap melabuhkan perahu nya ke dermaga. Dan semoga Tuhan menakdirkan si kaos lusuh itulah dermaganya.

“woi, bengong aja, besok ada acara gak? Maen futsal nyok?” Tanya Tomi memecah lamunan Mino. Seketika popcorn-popcorn melayang menimpuki Tomi dari hampir setengah teman-temannya. “gila aja lu mau ngajakin Mino futsal, ajakin nonton aja napa” teriak desi lantang. Diikuti suit-suitan semua teman-teman ‘gila’nya. Refleks Mino dan tomi menimpuki Desi dengan popcorn.

Mess putra Jambi 9 Nov 2013