Kak Ravi pembohong,
Hari ini aku
semangat sekali pergi belajar, bukan pergi sekolah, karena aku memang belum bersekolah. Setiap tiga hari dalam seminggu, kampung kami kedatangan kakak-kakak mahasiswa.
Hari senin belajar menghitung, hari jum’at belajar agama, dan hari minggu
belajar kesenian. Tapi aku paling semangat belajar agama. Kakak yang ngajarnya
pintar bercerita soalnya, aku kan seneng cerita.
Jam 1.30,
anak kecil seumuran ku sudah mengerubungi kakak itu. Oya, aku belum kenalin
nama kakak nya. Nama kakak itu adalah kak Ravi, asalnya dari Medan. Kata kak Ravi,
Medan itu jauuuuh sekali. Harus naik pesawat kalau mau kesana. Ah, aku kalau
udah besar pengin keliling Indonesia.
Trus bisa ngebantu anak-anak kecil yang butuh pendidikan. Entar aku mau bercerita
juga seperti kak Ravi ah. Kabulkan ya Allah, aminnn,
“assalamualaikum
temen-temen”ucap kak Ravi menyapa. Kak Ravi itu kalau memanggil kami suka
dengan kata temen, beda sama kakak yang lain yang manggil kami adek, bagiku,
kata temen membuat kami dengan kak Ravi terasa lebih dekat.
“waalaikum
salam kakak”, jawab kami serempak.
Semenjak kak
Ravi sering bercerita, aku selalu duduk disampingnya. Perlu kegigihan lho untuk
dapat posisi ini, soalnya banyak juga temen-temenku yang ingin duduk disamping
kak Ravi. Biasanya aku selalu datang lebih awal, trus nunggu kedatangan kak Ravi
di pintu madrasah, begitu kak Ravi datang, aku langsung gandeng tangannya. Dan
kak Ravi selalu tersenyum padaku. Malah beberapa kali kak Ravi selalu ngasi
permen atau coklat tanpa sepengetahuan temen-temen ku, seneng deh.
“ada yang
ingat gak, kakak cerita apa minggu kemaren”,kak Ravi sekilas melirik ku, lalu
menyapu pandangan ke temen-temenku.
“Tia tau, Tia
tau!”jawab ku cepat ikut bersahutan dengan temen-temen yang lain,
“kakak
cerita apa Tia?”
“kakak
kemaren cerita anak singa yang mencari ibunya”jawabku mantap dengan semyum
kecil manja.
“wah, pinter
ya Tia,”tangannya mengacak-ngacak rambutku, aku selalu suka jika tangan kak Ravi
menyentuh rambut lurusku.
“hari ini
kakak mau cerita tentang seorang anak kecil bernama Mahatir, siapa namanya
temen-temen?”
“MAHATIRR”jawab
kami serempak.
“jadi Mahatir
ini adalah anak yang bandel, tidak suka mandi,hayoo siapa yang tidak suka mandi
disini?, hayoo ngaku,,hehehe”
Beberapa
anak laki-laki tertawa kecil merasa tersindir, kalau aku selalu rajin mandi
dong,
“trus dia
suka melawan perintah orang tua juga temen-temen, hiii, kalau temen-temen kak Ravi
gak boleh ada yang suka melawan orang tua ya,awas kalau ada, karena orang tua
yang melahirkan kiii?
“taaaa”,
ucap kami melanjutkan kata-kata kak Ravi.
“berarti Mahatir
bukan temen kak Ravi dong ya?”Tanya Umar, temenku yang selalu duduk disamping
lain kak Ravi, jika aku duduk di samping kiri kak Ravi, maka Umar duduk
disamping kanan kak Ravi, selalu begitu.
“iya Umar, Mahatir
bukan temen kakak saat itu, tapi akan jadi temen kakak nantinya,”
“owhh,”Umar
semakin tertarik dengan cerita kak Ravi,
“suatu saat
ayahnya Mahatir jatuh sakit temen-temen, dia tersambar
petiirrr,duaarrrrrr”sontak kami kaget dan terus memfokuskan pandangan pada
wajah kak Ravi,
“lalu
ayahnya Mahatir lumpuh, semua anggota badannya tidak bisa digerakkan, bayangkan
temen-temen jika kondisi kita lumpuh, kita tidak bisa makan sendiri, kita tidak
bisa main, dieeemm terus di kasur, pokoknya orang lumpuh itu gak bisa
ngapa-ngapain deh,”kak Ravi melanjutkan ceritanya
“gak bisa
datang ke madrasah juga dong buat denger cerita kak Ravi ya?”tanyaku polos,
“iya Tia,
makanya kita harus banyak bersyu….”
“kuuuuurrrrr”jawab
kami serentak
“lalu saat Mahatir
pulang, dia merengek ke ayahnya untuk dibelikan mainan, hayooo, ada gak disini
yang suka merengek minta dibelikan mainan?”Tanya kak Ravi
Seperti
biasa, temen-temen laki-laki ku terkekeh merasa tersindir, tapi aku juga
kadang-kadang suka gitu juga sih, hehehhe.
“namun apa
yang terjadi temen-temen, ayah Mahatir tidak bisa bergerak karena lumpuh tadi,
ibunya pun menjelaskan kondisi ayahnya ke Mahatir. Mahatir tidak percaya, lalu
ia tetap merengek dan menggoyang-goyang tubuh ayahnya. Karena terlalu keras
goyangannya, ayah Mahatir sampai terjatuh dari kasur. Bruuukkkkk, Mahatir kaget
melihat ayahnya tetap tidak bergerak saat jatuh tadi. Ibunya yang juga kaget
mendengar suara jatuh, langsung berlari dari dapur dan mengangkat tubuh ayah Mahatir
ke kasur lagi. Plaaaakkkk, ibu Mahatir dengan keras menampar pipi Mahatir”
Kami spontan
memegang pipi kami masing-masing, lalu membayangkan bagaimana jika ibu kami
menampar kami seperti Mahatir.
“Mahatir menangis
kencang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Lalu Mahatir berkata sambil
menangis,”ayaahhh, maafin Mahatir ayah, ayah jangan lumpuh, Mahatir janji gak
akan bandel lagi, Mahatir janji ayah”, lalu ibunya juga ikut memeluk Mahatir
dan ayahnya”
“kasihan ya
ayahnya Mahatir,”ucap Latif, salah satu teman kami yang paling tinggi.
“makanya
kita gak boleh bandel, nanti ayah kita sakit kaya ayahnya Mahatir, janji gak
akan bandel lagi ya,”jari kelingking kak Ravi teracung ke atas,
“jannjjiii”kami
ikut-ikutan mengangkat jari kelingking ke atas juga.
“nah,
semenjak ayahnya Mahatir sakit, Mahatir jadi anak yang rajin, dia tidak melawan
perintah ibunya, rajin sekolah, juga rajin membantu ibunya merawat ayah. Karena
ayahnya sudah tidak bekerja, Mahatir juga ikut membantu ibunya berjualan
gorengan, pokoknya Mahatir jadi pekerja keras untuk membantu keluarganya. Tapi
jangan lupa, Mahatir juga sering berdoa setiap solat, mendoakan kesembuhan
ayahnya”kak Ravi melanjutkan ceritanya.
“nah,
setelah beberapa bulan, ayah Mahatir tiba-tiba sembuh dan bisa berjalan lagi
temen-temen, Mahatir senaaang sekali. Lalu ayahnya berkata,”ini karena kerja
keras mu nak merawat ayah, juga doa yang selalu engkau panjatkan setiap solat”. Mahatir dan keluarganya pun menjadi keluarga
yang lengkap lagi, mereka begitu bahagia.. Siipppp, ceritanya selesai
temen-temen“
Setelah kak Ravi
bercerita, kami kemudian belajar membaca Al-quran bersama-sama. Begitulah cara
kak Ravi mengajar, selalu bercerita diawal, kemudian belajar agama setelahnya.
Jadi kami selalu semangat untuk datang ke madrasah ini.
***
Pagi itu,
seperti biasa, ayah pergi ke Kota menjadi supir angkot, ibu, aku dan Leni
berkeliling kampung memasok kue buatan ibu ke warung-warung. Setelah agak
siang, aku pergi belajar kesenian dengan kakak-kakak mahasiswa. Pulang menjelang
sore, bersiap-siap untuk mengambil uang kue yang terjual di warung-warung.
Hasil hari ini lumayan, kue dagangan ibu hampir habis terjual. Kadang sisa kue
yang tidak terjual akan menjadi makan malam kami, itung-itung menghemat kata
ibu. Ketika malam, aku dan Leni selalu main
boneka di rumah, sambil menunggu
ayah pulang membawa makanan.
“nak, tidur
saja, nanti ibu yang menunggu ayahmu,”tegur ibu padaku dan Leni yang mulai
menguap.
“tapi Tia
mau nunggu ayah pulang bu,”ucap ku, dan Leni sudah tiduran di kursi.
“iya nanti
kalau ayah pulang, Tia ibu bangunkan deh,”ujarnya lembut, aku tanpa berkata
lagi langsung rebahan di atas kursi panjang.
Suara adzan
subuh samar-samar mulai terdengar, aku yang sudah terbiasa bangun subuh
langsung bangkit dan pergi ke kamar mandi sambil mengucek-ngucek mata. Setelah
berwudhu, aku melirik ke kamar ibu dan melihat nya tidak ada, pasti mereka
sudah ke surau pikirku. Aduuh,,Malas sekali solat subuh pagi ini, tiba-tiba
teringat pesan kak Ravi, “jangan jadi orang malas, nanti jadi orang gendut,”,,
hiiii, aku gak mau gendut.
Usai solat,
aku menunggu di rumah sambil mengingat-ngingat hafalan surat pendek yang
diajarkan kak Ravi. Pagi mulai menampakkan kehangatannya, namun ibu dan ayah
belum pulang dari surau. Tidak biasanya mereka seperti itu, aku langsung
menyusul ke surau dan tidak menemukan mereka. Setelah bertanya ke penjaga
surau, dia bilang ayah dan ibutidak sholat di surau subuh ini. Degg.
Jangan-jangan ayah belulm pulang dari semalam, trus ibu menyusul ke Kota,
pikirku. Saat aku pulang ke rumah lagi, pamanku tiba-tiba datang dan langsung
memeluk ku.
“ada apa
paman?, ayah ibu kemana?” tanyaku tanpa mengerti apa-apa. Leni sudah mengapit
lenganku, juga tidak mengerti
“ayah dan
ibu kalian belum bisa pulang, paman kesini untuk menemani kalian, ini ada nasi
uduk, makanlah”jawab paman sendu, kami yang belum makan dari semalam, langsung
menyambar nasi uduk dari paman.
“paman, ayah
dan ibu baik-baik saja kan”,Tanya ku sambil mengunyah nasi uduk.
“iya, mereka
baik-baik saja”. Jawab paman mendekati kami.
Hati ku
mulai tenang mendengarnya, walau tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“paman pergi
sebentar ya Tia, mau kerumah pak haji dulu, kamu jaga Leni”. Ucap paman
buru-buru keluar.
Aku yang tidak mengerti, hanya bisa mengiyakan. Di rumah,
kami cuma berdua sekarang.
Hingga siang
paman belum pulang, aku mulai cemas menerka-nerka apa yang terjadi. Baru
menjelang malam, suara diluar terdengar ramai, BRAAK, suara pintu dibuka, dan
masuklah serombongan orang menggotong laki-laki dengan alat semacam keranda.
Aku dan Leni begitu kaget, saat mengetahui bahwa laki-laki itu adalah ayah
kami. Ibu menghambur memeluk aku dan Leni yang masih terpana,
“ayah kenapa
bu,”mata ku tajam menatap selang-selang yang mengalirkan air dari plastik
dipasang disamping ayah.
“ayah, ayah
koma Tia”pelukan ibu semakin erat, tangisnya semakin membuncah,
Aku tidak
tahu apa itu koma, tapi ayah terlihat seperti tidak bergerak, apakah koma itu
lumpuh, seperti yang diceritakan kak Ravi. Kalau iya, berarti ayah akan sembuh,
karena aku tidak pernah bandel, dan selalu bekerja keras. Oya, aku juga ingat
kata-kata kak Ravi,
“tenang bu, Tia
akan bekerja keras merawat ayah, dan akan selalu berdoa untuk kesembuhan ayah,
pasti Allah akan mengabulkan doa Tia”jawabku tenang setelah mengingat-ngingat
kata-kata kak Ravi. Entah kenapa ibu malah terus menangis.
Selama
seminggu aku terus merawat ayah seperti Mahatir merawat ayahnya juga, setiap
solat aku juga selalu berdoa untuk kesembuhan ayah seperti Mahatir juga.
Kakak-kakak mahasiswa datang menjenguk ayah kecuali kak Ravi. Katanya kak Ravi
sedang praktek di hutan. Kondisi ayah menurutku semakin baik, jika aku memegang
tangannya, pasti jarinya mengetuk-ngetuk tanganku seakan ia tahu anaknya ada
disampingnya, aku tidak sempat lagi pergi belajar ke madrasah karena harus
merawat ayah di rumah, sedangkan ibu harus bekerja lebih banyak untuk
menggantikan penghasilan dari ayah.
“ayah, ayah
mau kemana”tanyaku, melihat ayah perlahan berjalan entah kemana.
“ayaaahhhh”aku
mulai berlari mengejar ayah,
“ayahhh,
tunggu Tia ayahhh”jarak ku semakin dekat dengan nya
“Tia anak
ku, jaga ibu dan adek mu ya”ucap ayah lembut,tatapan nya menenangkan sekaligus
mengagetkan.
“Astagfirullahh,ini
hanya mimpi,,ayahhh“,setelah bangun, aku langsung berlari ke kamar, dan disana terlihat ibu
sedang menangis memeluk ayah,
“ibu, ayah
kenapa?”, aku mendekati ibu dan memeluknya, lalu ia membalas memeluk ku dan
mengusap air mata di pipinya,
“ayah,
sekarang sudah sehat nak, sudah kembali kepada Allah sang pencipta” jawab ibu
lirih,
“maksud ibu
ayah meninggal?”tanyaku meyakinkan apa yang dimaksud ibu, ibu tidak menjawab
dan hanya mengeratkan pelukannya.
Ya Allah,
kenapa jadi seperti ini, kata kak Ravi, kalau kita tidak bandel, dan bekerja
keras merawat ayah kita yang sakit, terus mendoakannya setelah solat, ayah kita
akan sembuh, seperti ayah nya Mahatir yang bisa berkumpul lagi. Trus, kenapa
Engkau malah mengambil ayah ya Allah, tangisku mulai pecah, kak Ravi, apakah
cerita kak Ravi bohong,?, katanya tidak boleh bohong, tapi kenapa kak Ravi
bohong, kenapa?, percuma aku solat, percuma aku berdoa kalau jadinya seperti
ini, ayaahhh, kak Ravi bohong ayah, aku memeluk ayah dan menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba
aku sudah berada di kursi ruang tamu, sepertinya setelah menangis aku tertidur,
di kursi satunya lagi kulihat Leni juga masih tertidur, suasana semakin sepi,
kamar ayah sudah kosong, oiyaa, ayaahh mana, aku langsung berlari keluar menuju
kepemakaman, ibu terlihat berjalan diapit oleh bibi-bibiku. Aku langsung
berlari dan memeluk ibu. Aku digendong dipelukannya. Entah kenapa di umurku
yang masih kecil ini, aku dipaksa harus mengerti apa yang terjadi.
Setelah kematian
ayahku, aku akui solat ku mulai bolong-bolong, aku terlalu sibuk membantu ibu
mencari uang, aku sudah tidak sempat berdoa lagi, buat apa, doaku tidak akan
dikabulkan, dan aku juga sudah tidak pernah datang ke madrasah lagi selama
sebulan ini. Buat apa mendengar kakak-kakak yang suka berbohong.
“Asslamualaikum,”terdengar
suara laki-laki mengetuk pintu,
Aku sedang
membuat adonan kue di dapur, ibu yang membuka kan pintu,
“saya Ravi
bu, yang suka ngajar di madrasah,”jawab laki-laki itu, dia bilang Ravi,?
“Tia, ini
ada kak Ravi, sini nak temui kakak nya”ibu memanggilku.
“Tia gak mau
bertemu sama pembohong bu”jawabku ketus,
Kulihat ibu
menghampiri ku dan membujuk ku untuk menemui kak Ravi.
“kalau bukan
karena ibu, Tia gak mau ketemu kakak”aku memulai pembicaraan, oh tuhan, wajah
meneduhkan itu, begitu nyaman aku memandangnya, ingin sekali aku menangis
dipelukanya, menumpahkan segala kesedihan, tapi tidak, Tia gak suka pembohong,
“adik ku Tia,
maaf jika kak Ravi baru bisa menjenguk Tia
dan keluarga hari ini, kak Ravi harus menyelesaikan urusan di kampus kak Ravi
dulu”ucapnya selalu tenang,
“ngapain
juga kak Ravi harus kesini, gak penting, kakak bohong kan cerita tentang Mahatir,
liat kak, ayahku meninggal, padahal aku sudah melakukan apa yang kakak bilang,
aku tidak bandel, aku bekerja keras merawat ayah, aku berdoa sehabis solat,
tapi lihat kak, Allah malah ngambil ayah dari Tia,”ucapku tetap ketus,
kenapa aku
jadi seperti ini ya tuhan, bukankah kak Ravi yang ngajarin ibu bikin kue dan
ngasih modal awalnya, bukankah kak Ravi juga yang membantu ayah menjadi sopir
angkot di kota, kak Ravi juga yang membelikan seragam dan sepatu untuk sekolah
ku tahun depan, tapi aku gak peduli, sekali pembohong tetap pembohong.
“Tia, kakak
memang telah berbohong, maafkan kakak,”ia menghela nafas sebentar,
“nama kakak
adalah Ravi Mahatir Muhammad, Tia benar, ayah kak Ravi sebenarnya juga
meninggal ketika seumuran Tia, seperti dicerita kak Ravi, kenapa kak Ravi
bilang ayah ka Ravi hidup bahagia, karena memang beliau bahagia Tia, beliau
bahagia bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan baik. Walaupun secara lahir ayah
kak Ravi sudah tidak ada, tapi bagi kak Ravi dan ibu kak Ravi, beliau selalu ada
disini, di hati ka Ravi.” Kak Ravi mulai menangis, aku tidak bisa berkata
apa-apa, hanya menunduk, jadi ayah kak Ravi juga meninggal, sama kaya aku.
“sekali
lagi, maafkan kak Ravi yang telah berbohong pada Tia, ayah selalu berpesan pada
kak Ravi untuk bekerja keras dalam hidup, namun tidak melupakan solat dan
berdoa, karena hanya dengan solat dan doa kak Ravi bisa lebih dekat dengan
Allah dan ayah kak Ravi,ayah kak Ravi selalu menjadi motivasi kak Ravi untuk
selalu membantu orang lain. Karena nanti dari kebaikan kita, pahalanya akan
sampai kepada ayah, kak Ravi berharap, Tia juga seperti itu, jadi anak yang
solehah yang selalu mendoakan orang tuanya, dengan begitu, ayah Tia akan
bahagia disana”
Tak kuasa,
aku langsung melompat kepelukan kak Ravi, menangis tersedu-sedu menumpahkan
segalanya, aku telah salah menyebut kak Ravi pembohong,
“maafakn Tia
kak Ravi”, isak tangisku semakin kencang,
“sudah-sudah,
jagoan gak boleh nangis lagi, katanya mau jadi penjaga gawang,”kak Ravi
mengacak-ngacak rambutku, hatiku tenang dan bersemangat lagi, ayah, Tia janji
akan selalu berdoa untuk ayah, semoga kelak kita bisa bertemu di SurgaNya.
Aminn.