Ada “Salju” dan
Bunga Es di Papandayan
Beberapa waktu lalu, sempat membaca berita di situs Republika
online mengenai buah jeruk yang membeku akibat suhu dingin di wilayah California,
Amerika Serikat. Bunga es meliputi Jeruk dan pohonnya menimbulkan kesan indah
sebenarnya, namun bagi petani jeruk di daerah tersebut, hal ini menjadi sebuah kerugian.
Lalu saya teringat tentang bunga es juga yang sempat saya abadikan menjadi
selembar foto saat pendakian saya dahulu.
Saat itu, 30 Juli 2011, kami berenam (saya, sule, anto, ifah, siti dan acoy)masih
dalam tugas kuliah kerja profesi atau lebih dikenal dengan singkatan KKP di
daerah Garut. Pada akhir pekan ke-4, di desa tempat kami KKP sengaja tidak dilakukan
kegiatan. Jiwa petualang kami sudah meletup-letup tak sabar ingin merasakan
hentakan adrenalin dengan menjelajahi kota dodol ini. Menurut warga sekitar
banyak sekali pariwisata yang bisa dijelajahi, dari mulai air terjun (curug Orok,
curug Citiis), gunung (Papandayan, Guntur, Cikuray), pemandian air panas di Cipanas,
danau (situ Cangkuang, situ Bagendit), pantai di Pameungpeuk dan Bungbulang,
kebun binatang di Leles, candi di Cangkuang, dan banyak potensi wisata lainnya.
Namun, hari ini kami akan mencoba bersentuhan dengan bau kawah gunung Papandayan.
Masih menurut warga sekitar, puncak musim kemarau seperti saat ini, pendaki
akan melihat bunga Edelweiss diselimuti es hingga seperti salju.
Gunung
Papandayan (berasal dari kata pandai/pande yang berarti penempa besi) terletak
di sekitar 25 Km sebelah barat daya Kabupaten Garut, dengan posisi geografis 7o19’
Lintang Selatan dan 107o 44’ Bujur Timur. Termasuk kedalam desa Sirna
jaya dan desa Keramat wangi kecamatan Cisurupan kabupaten Garut. Untuk mencapai
basecamp gunung ber ketinggian 2665
mdpl ini, dari terminal Guntur Garut, bisa naik angkutan umum jurusan Cikajang.
Turun di alun-alun Cisurupan dan dilanjutkan naik mobil pickup hingga ke basecamp.
Sepanjang perjalanan menuju basecamp,
akan terlihat kegagahan gunung Cikuray serta rumah-rumah warga sekitar.
naik pickup ke base camp
gunung cikuray
we are.,,,,
Begitu
memulai pendakian, tebing di kiri kanan jalan menyambut kami seakan memasuki
gerbang dengan segala kemegahannya. Kawah Nangklak yang masih aktif pasca
letusan terakhirnya pada tahun 2002 ikut memapah kedatangan kami dengan kepulan
asap belerangnya. Tak hanya kawah yang besar, lubang-lubang kecil pun
mengeluarkan asap berbau telur busuk di sepanjang penjelajahan kawah ini,
sehingga kami harus berhati-hati dalam melangkah.
tebing kanan jalan
kawah yang masih aktif
Setelah melewati
kawah, jalanan mulai ditumbuhi rerumputan hijau yang menggoda kami untuk
sejenak merebahkan diri diatasnya. Ceruk menganga bekas longsoran dari sebuah
bukit memotong jalur utama. Kami pun harus menuruni bukit untuk melewatinya. Sesampainya
di Pondok Salada, areal padang rumput seluas 8 Ha di ketinggian 2288 Mdpl, kami
langsung mendirikan tenda dan bermalam disini. Sebelum tahun 2010, di pondok
salada ini terdapat warung milik warga yang selalu ramai dikunjungi. Mungkin
karena aktivitas kawah Mas meningkat, disini tidak ada warung lagi.
tidur dulu mantab dah
menatap lembah
ceruk bekas longsor
Malam
menjelang, bintang gemintang menjadi atap cakrawala. Semilir angin mulai terasa
menyentuh batas kulit ari dibawah tebalnya jaket. Api unggun selalu bisa
merekatkan kebersamaan kami para pendaki. Tawa renyah dan obrolan ngalor ngidul menjadi media indah pelupa
rasa dingin. Namun, rupanya semakin merangkak jarum jam hingga menjelang dini
hari, rasa dingin semakin menusuk terasa hingga ke tulang meski sudah berbalut
jaket dan sleeping bag. Terlihat ada
perapian di dekat tenda pendaki lain dan tanpa pikir panjang saya langsung
mendekati sumber perapian. Disana sudah ada pendaki yang belum tidur semalaman,
obrolan pun mengalir seperti kawan yang sudah lama kenal. Inilah ajaibnya para
pendaki, selalu merasa dekat satu sama lain.
api unggun yang mendekatkan kita
Begitu sang
raja hari menampakan sinarnya, rasa dingin tetap belum terusir. Saya dikagetkan
oleh suara yang menyebut-nyebut bunga es, dan maha Suci Allah, setelah
menikmati sunrise dengan pesona
kehangatannya, didekat sumber air, bunga es begitu indahnya menyelimuti setiap
helai daun, bunga dan rerumputan. Sudah dapat dipastikan suhu tadi malam
mencapai minus. Air yang membeku dan menyelimuti bunga berasal dari selang
bocor yang airnya memancar menyirami bunga dan rerumputan semalaman. Selain
bunga es, rerumputan dan bunga lain yang tidak tersiram air dari selang, terlihat
berwarna putih diliputi embun yang membeku seperti salju. Bunga edelweiss pun
ikut berlumur “salju” nan indah ini. Rerumputan putih bersalju yang awalnya
berwarna hijau begitu memanjakan kami hingga betah berlama-lama merasakan
sentuhannya, harumnya, dan kesejukannya.
sunrise di lembah
sunrise nya keren walo gunung nya gak terlalu tinggi
siluet nya sule
ini toh bunga es
tersiram cahaya matahari
kaya ada salju ya
padang putih
edelweiss
Bulan Juli-Agustus,
Garut sedang dalam puncak suhu terdingin nya. Suhu dingin ini terjadi karena
pengaruh angin tenggara yang dibawa dari wilayah Australia. Pada bulan Juli hingga
agustus, di Australia sedang mengalami musim salju. Hal ini berdampak pada
udara di Indonesia, termasuk di Garut. Angin yang dibawa sangat terasa hingga
menembus kulit, bahkan kadangkala hembusannya cukup kencang. Selain itu, angin
nya pun terasa kering.
Perjalanan
pun masih harus dilanjutkan, karena masih ada puncak yang menunggu untuk ditaklukan.
Untuk mencapai puncak, dari Pondok Salada akan melewati Tegal Alun-alun
terlebih dahulu. Trek nya mulai terjal berbatu dengan kemiringan hingga 45o
. Begitu sampai di Tegal alun-alun, bunga Edelweiss masih terhampar kehijauan
serasi dengan rerumputan dibawahnya. Hutan rapat mulai terpampang dari kejauhan
terlihat seperti lukisan abstrak kecoklatan. Dan disitulah puncak gunung
papandayan berada. Sesampainya dipuncak, maka segalanya begitu memesona.
Hamparan padang rumput di Tegal Alun-alun dan Pondok Salada memanjakan
penglihatan kami untuk berlama-lama mensyukuri anugrahNya.
tegal alun menuju puncak
tegal alun
sumber air
pohon-pohon membentuk lukisan abstrak,
at puncak
Hari pun menjelang
sore, dan kami pun harus turun kembali ke basecamp.
Menyimpan memori dalam hati dan ingatan selalu menjadi bahan perenungan saya
dikemudian hari. Setiap perjalanan pasti mempunyai kesan yang berbeda walaupun
tempatnya sama. Itu yang saya rasakan hari ini dan tahun 2009 silam di gunung Papandayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar