Lama sudah aktivitas menulis di blog terabaikan. Begitu banyak hal terjadi terlewatkan begitu saja tanpa pernah diabadikan dalam aksara. Padahal begitu banyak rasa sedih, senang, kecewa, marah, yang kalau direnungkan, telah menjadi ransum dalam perjalanan hidup saya. Motivasi menulis. Itu yang hilang dari diri saya sehingga blog ini miskin tulisan setahun terakhir ini.
dan Taraaa….
Motivasi menulis itu telah kembali ^^
Menulis adalah salah satu cara mengawetkan pelajaran hidup
agar di masa depan (sekarang) saat diri kita sedang galau, ada sesuatu di
belakang yang dapat kita baca untuk menguatkan kita.
Jadi saya ingin menulis tentang apa?
Kisah ini bermula saat saya sedang galau memikirkan apakah
kamu akan lahiran di Jambi atau Bogor. Kedua daerah itu mempunyai nilai plus
minus masing-masing. Di Jambi kita dapat mandiri sepenuhnya, dekat dengan
lokasi kerja, kita ‘hampir’ akan selalu dekat, tetapi kurang dalam hal
pengawasan kamu. Atau di Bogor yang setidaknya akan membuat kamu lebih aman,
banyak keluarga tetapi kita pasti harus berjauhan. Lalu melalui doa dan ikhtiar
kita, Allah pilihkan kamu untuk lahiran di Bogor. Alhamdulillah.
Dua minggu sebelum Hari Perkiraan Lahir atau HPL, aku sudah
menemani kamu di Bogor. Tentu ada rasa cemas sekaligus bahagia menjadi calon
ayah. Sering sekali kamu bilang, “kamu bentar lagi jadi seorang ayah lho? Sudah
siap belum” dan aku selalu menjawab dengan senyuman mantap. Sangat siap sekali!
Sudah siapin nama belum? Sudah, Kawah. Eh
Sudah belajar cara ngebedong bayi? Sudah
Sudah siap dipipisin bayi? Di eek in bayi? Hehe. Gimana nanti itu mah.
2 hari sebelum HPL, aku dan kamu masih santai. “ini beneran
besok mau lahiran? bawaannya kok tetep santai begitu”.
“Seorang suami memang harus santai, agar pas lahiran nanti
tidak gampang panik dalam mengambil keputusan” ucap Ravi, sahabat ku yang sudah
resmi jadi ayah.
Satu hari sebelum HPL, kamu mulai merasakan kontraksi. Tapi
tidak lama, yang menandakan itu adalah kontraksi palsu. Menurut buku sih.
Saat HPL tiba, kamu belum juga merasakan kontraksi lagi.
Maka kita memutuskan untuk pergi ke dokter Rini, dokter kandungan kita, untuk
pengecekkan. Karena dr Rini jadwalnya adalah selepas magrib, jadi kita datang
ke rumah sakit menjelang magrib. Selepas solat magrib, kamu bercerita kalau
noda merah sudah mulai keluar. Saat pengecekan oleh bidan, ternyata kamu sudah
bukaan 3. Jadi, malam ini kamu akan lahiran? Nah lho, sebentar lagi aku menjadi
seorang ayah? Rasa bahagia macam apa ini?
Jarum infus langsung menancap di lengan kiri mu, mengalirkan
berjuta partikel H2O dan nutrisi ke dalam tubuh mu. Melalui tatapan
dan belaian tangan ku, aku juga mencoba mengalirkan semangat cinta untuk mu.
Butiran air diujung mata mu, kamu seka dalam diam, tidak ingin mengganggu bidan
yang sedang sigap memakaikan popok dewasa kepada mu.
Kita bedua sekarang. Dalam kamar bersalin berukuran 2 x 3 m
yang berdinding gorden ini, kita terus saling bersitatap. Saling berpegangan
tangan. Lalu kamu arahkan tangan ku ke atas perut mu seraya berkata “bentar
lagi dedek bayi akan keluar. Dan kita akan jadi orang tua” tanpa diberi aba-aba
langsung saja bibir ku mendarat di kening kamu. Insya Allah sayang.
Jam 11 malam, atau setiap 4 jam sekali bidan harus mengecek
pembukaan lagi. “masih bukaan 3” ucap bidan berwajah tirus itu. Dan sebersit
pun aku tidak cemas. Di kamar bersalin ini pengunjung dibatasi hanya boleh satu
orang. Maka aku harus bergantian dengan mama untuk menemanimu. Super sekali
mama kamu ini ya.
Lorong rumah sakit semakin sepi. Sesekali lantai berdecit
oleh suara gesekan roda ranjang yang di dorong, atau suara berderap langkah perawat
yang keluar mengambil cemilan ke kantin. Di kursi berlapis kulit yang berjajar
di dinding lorong, aku merebahkan tubuhku. Tak perduli suara desing nyamuk, tak
perduli dingin malam rumah sakit, hanya dzikir yang keluar dari mulutku. Laa Ilaaha illa Anta Subhanaka Inni Kuntu
Minadzdzolimin. Perkenankan lah anak ku keluar secara normal ya Allah.
Jam 7 pagi, hari minggu, bidan kembali mengecek bukaan istriku.
Masih bukaan 3 dan tidak ada kontraksi. Aku mulai sedikit cemas. Atas resep
dokter, bidan kemudian memberikan menginduksikan obat lewat cairan inpus kepada
istriku agar cepat kontraksi. Kita lalu berjalan-jalan untuk membuang rasa
bosan. Sekaligus berharap melalui banyak bergerak, dedek bayi bisa cepat
membuat kontraksi lagi.
Jam 8.30 pagi, aku dipanggil bidan. Ia menjelaskan bahwa,
atas saran dokter Rini. Istriku harus segera dioperasi. Karena jam 9 nanti,
dokter Rini kebetulan ada jadwal operasi dengan pasien lain. Sehingga istriku
bisa langsung dioperasi hari itu juga. Sontak aku menolak. Alasan nya tidak
masuk logika. Harus dioperasi hanya gara-gara jadwal operasi dokter Cuma jam 9
hari itu juga. Kalau tidak hari itu, harus merujuk ke rumah sakit lain kalau
terjadi apa-apa. Bah! Rumah sakit macam apa ini.
“kalau setuju untuk di operasi silahkan diisi form yang ini.
Tapi kalau tidak mau di operasi, silahkan isi form penolakan ini” ucap bidan jaga
pagi sambil menyerahkan dua form berbeda ke arah ku.
“Tunggu aja lagi bu, saya tidak bersedia istri saya di
operasi” jawab ku mantap, lalu mengambil form penolakan itu. Selepas mengisi
form, aku langsung pergi ke mushola rumah sakit, menumpahkan semua harapan
lewat 2 rakaat solat hajat. Melalui cara yang diajarkan nabi, aku membaca
beberapa potongan ayat alquran dan doa, lalu ditiupkan ke air dalam botol.
“Ya Allah, bukankah Engkau telah dari mana seharusnya jalan keluar
bayi. Buat lah anak hamba keluar secara normal ya Allah. Aku ingin istri hamba
tidak banyak menanggung sakit pasca melahirkan nanti ya Allah. Laa Ilaaha illa Anta Subhanaka Inni Kuntu
Minnadzolimin” tangis ku tak
terbendung lagi.
Jam 9 aku ditelpon mama untuk bertemu dengan dokter Rini.
Aku bergegas bertemu kamu untuk memberikan air doa itu. Berharap Allah
menurunkan keajaiban, dan kamu segera kontraksi.
Di ruangan dokter Rini, aku ditemani ayah menerima
penjelasan panjang lebar tentang keadaan kamu.
“Pak, Barusan saya cek bukaan istri bapak, masih bukaan 3.
Memang kepala anak bapak sudah masuk panggul. Tetapi ada kemungkinan anak bapak
terlilit tali pusar sehingga anak bapak tidak bisa mendorong pintu Rahim yang
kedua. Atau bisa jadi, ada masalah dengan pintu Rahim yang kedua ini. Sudah 13
jam lho pak, bayi bapak dalam kondisi bukaan 3. Kasihan. Saya takut anak bapak
kehabisan oksigen, atau kelelahan sehingga beresiko untuk dikeluarkan. Pun
istri bapak juga kasihan sudah kelelahan. Memang kami semua ingin istri bapak
lahiran secara normal. Tetapi kondisi memaksa harus segera dioperasi. Tetapi
Saya tidak mau mengoperasi kalau bapak masih ragu. Silahkan pikirkan lagi
dengan matang, tapi jangan lama-lama” aku hanya bisa mengangguk sambil menatap sayu
dokter Rini.
Jarum jam di tangan ku bergeser semakin cepat rasanya. Dunia
seakan semakin mengecil. Seakan dunia hanya seluas ruangan 2 x 3 m berdiding
gorden inilah. Aku terus menatap mu. Mencari penguatan dari mata mu. Ya Allah,
berilah keajaiban kepada kami ya Allah. Laa
Ilaaha illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minnadzdzolimin. Kamu kemudian
kontraksi hebat. Ada getar senang dalam dada. Apakah ini tanda mau lahiran? Sakit
sekali cengkraman jari mu di lengan ku.
“bu, ini istriku kontraksi kuat, jangan-jangan bukaan nya
sudah bertambah” ucap ku bersemangat pada seorang bidan di luar.
“iya bu, gak pernah sekuat ini kontraksi nya” istriku
memberi dukungan sambil meringis menahan sakit.
“saya sudah berpengalaman pak. Saya bisa tahu dari ekspresi
ibu sudah bukaan berapa sekarang. Syarat untuk melahirkan normal minimal bukaan
7. Dan kalau ibu sudah bukaan 7, ibu tidak akan bisa berbicara saking sakitnya”
ucap bidan itu meluluhkan semangat ku
“iya ka imam. Kita tidak punya ilmunya. Dokter itu yang
lebih tau ilmunya. Jadi sudah serahkan saja pada dokter Rini. Insya Allah
diberi kemudahan oleh Allah” ucap ayah sambil menepuk pundakku.
Aku terus menatap istriku. mencoba saling menguatkan melalui
tatapan. Inikah kekuatan cinta suami istri?
“maafin aku sayang, aku gak bisa lahiran normal untuk kamu”
isak tangis mu tak terbendung lagi.
“yasudah bu, saya setuju lahiran secara operasi”
Aku, ayah, mama dan Dika menunggu di luar ruang operasi. Orang-orang
hilir mudik di depan kami dengan mimic muka cemas. Apakah mereka ikut merasakan
apa yang aku rasakan juga? Tak henti-hentinya bibir ini basah oleh dzikir dan
doa. Kesulitan memang selalu bisa membuat diri lebih dekat pada Sang Pencipta. Ampuni
dosa-dosa kami ya Allah, hamba lemah tanpa rahmat Mu. Selamatkan lah istri
hamba. Jangan engkau pisahkan kami di dunia dalam waktu dekat ini. Hamba
mencintainya ya Allah.
“Pak imam, silahkan bayinya di adzani” ucap seorang perawat
yang baru saja keluar dari ruang operasi. Aku seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya. Mengekor perawat itu masuk ke dalam ruangan. Jadi itu anakku.
Manusia kecil berkulit merah itu anakku? Manusia kecil dengan tangisan paling
merdu itu? Ya Allah. Sungguh segala puji hanya milik Engkau ya Allah. Hanya
milik Engkau. Tiada tuhan yang berhak di puji selain Engkau Ya Rabb.
Tetiba manusia kecil itu berhenti menangis saat aku mulai
adzan ditelinga kanan nya. Tangan mungilnya menggapai-gapai janggutku. Ya
allah. Padahal hamba banyak dosa. Tapi Engkau masih saja memberi banyak
kebahagian dalam hidup hamba. Alhamdulillah. Terdengar lagi suara tangisan saat
aku melangkah kan kaki keluar ruangan. Sabar ya nak!
Detik berikutnya dunia seakan tidak pernah ada episode sedih.
Seakan hanya ada rasa syukur dan rasa bahagia saja yang menemani kehidupan ku
selama ini.
Tiga hari berikutnya, aku menemani kamu siang dan malam di
rumah sakit. Menemani kamu belajar memiringkan badan, belajar bangun dari
ranjang, belajar duduk, belajar berdiri tanpa memerdulikan rasa sakit di perut.
Dan Alhamdulillah, bayi kita mau diberi ASI. Siap berkomitmen 6 bulan pertama
hanya boleh diberi ASI?
Here we are. Kita
sudah bertiga sekarang. Seperti kata mu.
Nahkodanya aku, kamu
cuman navigator, dan sekarang kapal kita punya penumpang dedek Mecca.
Mecca Alesha Fathurrohman – 10 Januari 2016
Terima kasih sudah lahir ke Dunia. Kecambah ini akan terus
kami pupuk hingga kelak berbuah kebaikan dan keberkahan.
Mess LAJ, Jambi 31 Januari 2016