20 menit kemudian, ibu itu datang lagi dan berulang kali berucap terima kasih padaku karena telah menjaga bayi kecilnya. Dan hey, “biasanya Rakan susah lho mas tidur di kereta” ucap ibu itu seraya hendak mengambil si bayi dari gendongan ku. “biar Rakan tidur di gendongan saya aja bu, kasihan kalau nanti kebangun” tukas ku lembut. Ibu itu yang sekarang sudah duduk di samping ku, sekali lagi berucap terima kasih. Dari obrolannya, aku tahu bahwa katanya aku memiliki ‘aroma lulut bayi’ atau aroma penjinak bayi, sehingga dengan mudah bayi menyukai ku. Aku tersenyum saja mendengarnya. Ya, memang aku suka anak kecil. Mereka itu merdeka, tidak banyak yang dipikirkan.
Jam di pergelangan tangan menunjuk angka 10. Si bayi sudah berpindah dalam gendongan ibunya yang sekarang ikut tertidur. Ditemani derik ringkihan gerbong kereta, dengkuran bapak-bapak di kursi sebrang, aroma keringat yang menguap dan sesekali terlihat hilir mudik penjual kopi instan yang tak lelah terus menawarkan dagangannya.
Keheningan perlahan menyeruak dalam alam pikirku. Membuat aku terjaga disaat orang lain terlelap. Memikirkan tentang alasan di umurku yang lulus kuliah saja belum, memberanikan diri sendirian pergi ke ujung timur pulau Jawa. Sebut saja aku sedang melarikan diri. Dari sebuah candu yang merenggut segalanya. Candu yang membuat aku tidak pernah layak untuknya.
**
Kita, lagi-lagi aku ingin bercerita tentang aku dan kamu yang membuat kata 'kita' lahir.
Sudah beberapa bulan ini, aku sering memerhatikan mu. Pertemuan-pertemuan kita tak pernah sekalipun tidak membekaskan keindahan dalam hati. Bahkan saat kamu meminjamkan pulpen saja, itu membekasnya berhari-hari. Apalagi saat kita mengobrol berdua di kereta itu. Dua bulan sepertinya baru bisa terbebas dari tidak mengimpikanmu. Aneh memang. Tapi begitulah cinta yang diciptakan Tuhan. Cinta? apakah aku bisa menamakan perasaan ini sebagai ‘cinta’? tak tau lah aku.
Kau masih ingat? bingkisan yang kau beri di hari terakhir kita berpisah. Bingkisan yang sekalipun tidak pernah aku buka demi memelihara kerinduan. Aku pernah membaca. Ada seorang pendaki yang suka menaklukan gunung-gunung tapi tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di puncaknya. Sesaat sebelum mencapai puncak, ia akan berhenti. Menatap puncak sebentar dan berbalik arah untuk pulang. Kenapa? capek capek naik gunung tapi malah tidak mau sampai ke puncak. Jawabannya sederhana. Ia sudah punya sendiri puncak gunung itu di sini. Di hatinya. Percayalah. Dengan seperti itu, kepuasan rasa penaklukan gunung menjadi lama bertahan dalam diri. Pun dengan bingkisan itu. Sekalipun tidak pernah membukanya karena aku sudah punya sendiri isi dari bingkisan itu, Disini! Dihati ini. Dan kerinduan tentang mu melalui bingkisan itu, selalu terpelihara dengan baik.
Dari cara kita berinteraksi melalui media apapun. Perlahan aku yakin bahwa masing-masing dari kita, berharap lebih dengan hubungan ini. Meski tak pernah sekalipun kata resmi terucap.
Tapi masalahnya adalah aku nya. Aku dengan segala kelemahan ku, kelemahan yang tidak pernah bisa aku enyahkan dalam kehidupanku beberapa tahun terakhir ini. Membuat harapan dalam doa ku mungkin tidak layak Tuhan kabulkan. Bukankah perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik? Ya, aku bukan orang baik seperti yang kau kira. I'm a bad guy.
Kau tidak sadar bahwa tubuhku semakin kurus. Bahwa isi dompetku semakin tipis. Bahwa makanan tidak ada lagi yang bisa menggoda perut. Bahwa aku semakin terjerembab dalam kutukan duniawi. Tampak dari luar aku ceria, penuh gairah kehidupan. Tapi kalau dilihat ke dalam. Ada kerapuhan yang mengkreposkan akal. Bahkan hampir mematikan akal.
Aku selalu memakai dosis yang sama di setiap lintingan yang aku buat. 50% tembakau, 50% ganja. Hal ini aku lakukan, untuk menjaga otakku agar tetap waras. Setidak nya untuk membeli daun haram itu aku tidak pernah menggunakan uang haram. Pun dengan dosis seteng-seteng itu, aku bisa menyembunyikan dengan baik sisi kepribadian buruk ku. Jadi tak setitik pun kau akan mengira bahwa si petualang ini adalah seorang pecandu.
**
Bayi kecil dalam gendongan ibu yang duduk di samping ku menggeliat bangun. Mungkin ia lapar. Sang ibu yang sudah mengerti, dengan mata masih terpejam langsung mendekap pelan si bayi ke dadanya, memberikan apa yang dibutuhkan si bayi.
Sejatinya aku tidak pernah ingin menjadi pecandu. Kalau saja rasa penasaran yang menggebu tidak aku hiraukan kala itu, mungkin aku seperti si bayi dalam gendongan si ibu. Bebas minta apa saja pada Tuhan tanpa perlu ada beban menghimpit.
Aku sudah berusaha untuk menghentikan candu ini. Tapi nyatanya selalu gagal. Apa karena aku berjuang sendirian? tidak melibatkan orang lain untuk membantu? Ya, berjuang sendirian memang gampang sekali dikalahkan. Kau lihat, ada beberapa tanda bekas terbakar di tangan kiri, seperti bekas sundutan rokok!
Saat kesadaran ku kembali. Aku selalu mensundut tangan ku dengan lintingan kretek yang sering aku hisap. Memaksa otak untuk segera sadar bahwa sakit ini hanya sebagian kecil dari sakit yang akan aku rasa di neraka kelak. Tapi lagi-lagi sendirian itu bukan cara yang tepat. Kalau nanti kita masih ditakdirkan berjumpa, kau akan lihat banyak sekali bekas sundutan kretek di lengan kiri ku. Bekas usaha yang gagal.
Tentang mu, aku tidak perlu cemas. Aku akan berusaha agar kita tidak pernah berjumpa lagi. Meski aku sangat berharap Tuhan menakdirkan kau menjadi pendampingku. Otak warasku memilihkan jalan yang terbaik untuk kita. Toh aku juga sebenarnya tidak pernah tahu isi hatimu. Jadi tak akan ada hati yang tersakiti.
Aku akan pergi dari dunia mu. Tidak memegang hape, tidak membuka media sosial, menjauhi kota mu dan tentu saja juga akan mengganti nama. Benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Ya, aku memang terlalu pengecut untuk meminta tolong keluarga, teman ataupun kamu. Lebih baik aku mengasingkan diri di kedamaian pesantren Jombang.
**
Cahaya pagi, hangat menyapa kami para penghuni kereta. Dari tulisan plang di stasiun tempat kami berhenti sejenak, aku tahu kereta ini baru sampai di Semarang. Dan masih harus melewati satu hari satu malam lagi untuk sampai di Jombang, kunjungan kali kedua.
Para pedagang sudah lalu lalang menawarkan berbagai panganan sarapan yang bisa mengisi perut. Aku memilih membeli dua nasi pecel untuk sarapan. Satu untuk diberikan kepada ibu yang duduk disampingku, ibu yang membawa bayi tadi. Lalu di terimanya nasi pecel itu dengan berulang kali anggukan terima kasih. Aku tahu dia sedang berhemat dari geriknya yang terus-terusan memegang dompet kain lusuhnya sambil menatap setiap dagangan yang lewat.
“ibu makan duluan saja, sini biar Rakan nya aku yang gendong!”sambil menyerahkan dua bungkusan pecel, aku hendak mengambil rakan dari gendongan nya. Awal nya ia menolak halus dan mempersilahkan aku makan duluan. Santai saja aku jawab “masih kenyang bu, sini aku gendong!” ibu itu langsung menyerahkan si bayi yang dari tadi mengerjap dan celingak celingkuk menikmati keriuhan dalam kereta. Tangan nya langsung menggapai-gapai wajahku begitu aku langsung menggendongnya. Lihatlah! Wajah bulat agak lonjong, dengan mata bening dan kulit putih bersih agak kemerahan, mengingatkan aku pada manusia pemilik mata bening dan teduh di kampus ku.
Namanya Arif Nur Prasetyo. Orang Jombang asli. Saat pertama bertemu, entah kenapa dia bisa begitu dekat denganku. Bahkan ia tanpa ragu mengajak aku mengaji bareng di rumah gurunya. Semakin sering lah kami bersama. Karena kedekatan itulah, suatu hari dia bercerita tentang kehidupan gelapnya di masa akhir SMA nya dulu. Rupanya dia terasa dekat dengan ku, karena dia adalah mantan pecandu. Dan walaupun aku tidak pernah bercerita, ia bisa tahu semenjak pertemuan pertama tentang kebiasaan burukku.
“kalau lingkungan disini terlalu kuat mengekang, maka hijrahlah. Di Jombang sana, ada sebuah pesantren tempat ane membuang candu ane dulu. Berat memang. Tapi insya Alloh ente akan sembuh plus bisa dekat dengan Alloh” ucapnya di suatu hari saat ia melihat bekas sundutan rokok di tangan kiriku.
“ane rasa cuti satu tahun cukup buat ente mengasingkan diri. Ada prioritas yang lebih penting dari sekedar lulus kuliah tepat waktu” ucapnya lagi memantik semangatku. Mata bening nya selalu saja membuat aku tidak pernah ragu dengan apa yang dia ucapkan.
**
“makan aja nasi pecel punyaku bu, nanti aku bisa beli nasi pecel lagi” ucapku saat melihat ibu itu selesai menghabiskan nasi pecelnya. Cepat sekali. Mungkin akibat kemaren malem ia tidak makan. Seperti biasa, awalnya ia malu dan menolak secara halus. Tapi kali ini, dengan seulas senyum ku saja, ia sudah mengerti bahwa aku tulus memberikan nasi pecel punya ku. Toh, aku bisa membeli lagi nasi pecel lain. Aku kembali asik bermain-main dengan Rakan, si bayi kecil yang kini berceloteh ba bi bu sambil sesekali tersenyum melihat tingkah ibunya.
Saat ibunya selesai sarapan dua nasi pecel, ia langsung menyuruhku untuk sarapan begitu nenek-nenek pedagang nasi pecel lewat. Lembut sekali. Tangan Si bayi begitu erat dan lembut memegang telunjuk ku saat hendak digendong oleh ibunya. Selembut dan seerat jabatan tangan dari seseorang yang pertama kali menyambut ku di pesantren Bahrul ulum Jombang waktu itu.
Namanya kyai Bisri, atau dikenal dengan sebutan gus Bisri. Badannya yang terlihat tinggi dan agak kurus, serta rambut dan janggut yang memutih di wajah tirusnya menjadi kesan tersendiri selain jabatan tangannya yang erat dan lembut saat pertama kali berjumpa. Bawaannya yang kharismatik, membuat aku terasa telah lama menjadi muridnya.
Tiga bulan didalam pesantren itu, sungguh aku seperti orang gila. Darah ku sering mendidih saat candu ku bergejolak. Kyai Bisri menyuruh 3 orang sekaligus untuk membersamaiku kemanapun aku pergi. Termasuk saat hendak buang hajat di kamar mandi. Tujuannya jelas, agar aku bisa dipegangi saat hendak menjedotkan kepala ke dinding, atau saat ingin menyayat lengan dengan pisau dan menghisap darah sendiri.
Tanpa bosan, kyai Bisri setiap hari sering memberikan aku air doa, daun-daun obat yang entah apa jenisnya dan petuah-petuah tentang kematian yang membuat porsi warasku bertambah.
Di bulan kelima, rasa canduku mulai berkurang tapi tetap masih sering membuat aku bermimpi buruk. Memang waktu malam adalah waktu keinginan itu sering menggila. Tapi kyai Bisri selalu saja bisa membuat aku tertunduk malu. Sesekali ia malah sering tidur bersama kami di kamar santri, seperti ingin full menjaga dan mengobatiku. Di sepertiga malam, meski agak kasar, kyai Bisri pasti membangun kan ku untuk solat malam. Katanya di waktu itu Alloh turun langsung ke langit dunia untuk menjawab apapun doa hambanya.
Di bulan ke tujuh, rasa canduku hampir hilang. Keinginan itu hanya sebatas terlintas sejenak di pikiran. Lalu dengan wudhu dan solat sunah dua rakaat, keinginan itu lenyap.
Di bulan ke sepuluh, aku merasa sudah begitu dekat dengan Tuhan. Tidak ada lagi candu dalam diri. Solat sunah wudhu, duha, tahajud, dzikir pagi sore, membaca, mentadaburi dan mengahafal alquran menjadi amalan penghias hari-hariku. Pun dengan puasa senin kamis telah menjadi kebiasaan yang terlalu sayang untuk di lewatkan.
Pemahaman agama ku sekarang bertambah seiring dengan berat badanku yang juga ikut bertambah. Aku berjanji pada kyai Bisri, akan kembali lagi ke pesantren ini setelah skripsi ku selesai. Bekal ku dirasa belum cukup untuk menjalani hari-hari di gemerlap kota Jakarta dalam waktu yang lama. “gus berdoa semoga Alloh selalu melindungi mu” ucap kyai Bisri saat melepas kepergianku. Tatapannya meneduhkan. Membuat aku ingin berlama-lama mencium tangannya dan memeluknya. Pelukan seorang anak terhadap ayahnya.
**
Kali ini si bayi mulai menangis. Seperti nya akibat dari hawa panas yang menyelimuti seisi gerbong kereta. Ibu itu lalu membuka baju si bayi. Tapi tetap saja si bayi terus menangis seakan hendak menyampaikan sesuatu. Tapi tidak bisa. Si bayi tidak tahu bagaimana cara menyampaikan sesuatu selain dengan menangis. Pun si ibu itu, belum mengerti dengan apa yang ingin disampaikan si bayi.
Seperti tidak tahunya aku saat keluar dari ruangan sidang skripsi, disambut oleh titikan air mata si jilbab abu-abu. Ia yang mulai terlupa dalam benak. Kembali bermunculan seperti jamur di musim hujan. Tidak banyak yang berubah dari penampilannya setahun ini.
“kenapa kamu menangis? terharu ya melihat aku bisa lulus sidang?” tanyaku tanpa berani menatap. Eh, dia malah melengos pergi tanpa suara selain isak yang tertahan.
“Desi? Ada apa?” teriakku membuat ia berhenti sejenak. Tanpa menoleh. Ia terus melangkah kan kaki, tertelan di belokan ujung koridor. Aku sebenarnya ingin mengejar, meminta penjelasan. Tapi bukankah aku tidak pernah layak untuknya. Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Biarlah hubungan kami seperti ini. Pasti ia akan mendapat yang lebih baik dari ku.
Seminggu kemudian, aku berenaca pergi lagi ke Jombang menggunakan kereta. Dan entah ia tahu dari mana, tiba-tiba saja wajahnya yang tirus menyembul di sela arus manusia yang berjalan menuju pintu keluar stasiun. Memang jam segini jam nya stasiun Bogor terlampau padat di sesaki arus manusia yang pulang kerja.
Dengan pipi memerah, ia menyerahkan selembar kertas terlipat pada ku. “bacanya saat sudah naik kereta ya mas” tanpa memedulikan tatapan berkerut kening ku, ia beranjak pergi menghilang bersama berjubelnya manusia yang melewati palang pintu otomatis.
Setelah naik kereta, menghempaskan diri di salah satu kursi kosong, aku tidak sabaran membuka isi surat yang dilipat sederhana ini. Saat membacanya, terus terang, dua kalimat ini tidak aku mengerti maksudnya.
**
Penjelasannya adalah, si bayi rupanya ingin diganti popoknya. Lihat saja, si bayi kembali riang setelah dibawa ibunya kembali dari toilet kereta. Tangan si bayi kembali menggapai-gapai wajahku saat aku mengendongnya. Sementara si ibu membereskan isi tasnya.
Tapi adakah penjelasan dari secarik kertas ini? juga penjelasan kenapa ia malah menangis saat aku keluar dari ruangan sidang? Bukannya nanya kabar atau bilang selamat kek.
“terima kasih banyak ya mas semua bantuannya sama istri saya” ucap suami si ibu saat menjemputnya di stasiun pemberhentian terakhir. Lelaki berkulit legam dan berbadan kekar itu kemudian memeluk ku, membuat dada sesak. Sekali lagi mereka berucap terima kasih. Aku, hanya tertarik mencium Rakan untuk terakhir kalinya.
Beberapa jam kemudian, kyai Bisri kembali menjemput kedatanganku di gerbang pesantren. Padahal aku tidak bilang akan datang hari ini. “naluri seorang guru itu kuat le” jawabnya saat ku tanya perihal kedatanganku.
Selepas subuh, aku menyempatkan bersilaturahmi ke rumah kyai Bisri. Sedikit sharing pemikiran niatku.
“kalau menurut gus, sampean harus melamar si gadis itu” ucapnya bijak saat aku mintai tanggapan mengenai cerita antara aku dan si gadis. Kemudian ia mengusap-ngusap janggut putihnya sebelum akhirnya ia menyeruput teh manis yang dibuatkan istrinya. Aku yang sudah haus, ikut juga menyeruput teh manis beraroma melati itu dan bertanya lagi hati-hati, “saya kira, saya tidak layak untuk dia, kyai. Terlalu banyak dosa-dosa saya” ingat! Aku ini mantan pecandu. Aku tidak tahu apakah masa depan akan sekuat sekarang? Dari pada nanti membuat dia terluka, lebih baik katakan tidak dari sekarang.
Coba baca kembali isi kertasnya. Perintah kyai Bisri padaku. Aku menurut saja untuk membaca kembali kertas itu. Lalu entah bagaimana, aku mulai bisa menebak apa maksud dari tulisan itu. “jangan-jangan, kyai, Dia sebenarnya udah tahu? Dan dia ingin mengatakan bahwa,,,” ucapan ku terhenti saat melihat kyai Bisri mengangguk lembut.
‘yang membedakan manusia dengan yang lainnya di sisi Allah adalah ketakwaannya’
‘Allah maha mendengar setiap doa hambaNya’
Mess putra LAJ Jambi 18 Nov 2013.
Note: Akan ada cerpen serupa dengan sudut padang si gadis.