Sesampainya di rumah, seperti anak gadis lainnya saat sedang
dirundung masalah, ia mengurung diri dalam kamar, lalu bersembunyi di balik
bantal dengan isak tangis yang tak lagi terbendung. Tidak pernah ia merasa
sesendiri ini. Dan kenapa pula siang ini di rumah hanya ada ia sendiri. Trauma,
Elok trauma untuk percaya lagi pada orang lain, walaupun itu adalah teman dekat.
Dan jika kalian bertemu dia saat ini, bersiaplah menghadapi satu anak gadis
yang tak pernah mau lagi punya teman. Baginya, teman sama dengan pengkhianat.
**
Elok dan Mutia adalah teman dekat dari sejak keduanya baru
belajar berjalan. Tak terhitung berapa banyak hari yang mereka lalui bersama,
saling menginap di rumah masing-masing karena letaknya bersebelahan, saling meminjamkan boneka,
saling berbagi kalau punya jajanan, dan saking dekatnya, masuk TK, SD, maupun
SMP pun harus di tempat yang sama. Elok sudah menganggap Mutia adalah teman
sekaligus saudara nya. Mutia pun merasa Elok adalah teman yang pantas ia bagi
saat suka maupun duka. Apalagi Mutia adalah anak tunggal. Elok memberi banyak
warna dalam hidupnya.
Mereka sekarang telah duduk di kelas 2 SMP. Walaupun berbeda
kelas, keduanya masih sering berangkat dan pulang bersama. Bahkan, Elok yang
jiwanya ada di pramuka, dengan senang hati pindah dan ikut Mutia masuk PMR. Tapi
karena Mutia agak kurang menonjol di organisasi, Elok lah yang paling banyak
mengambil peran di PMR.
Perlahan, keduanya mulai disibukkan dengan aktifitas
masing-masing. Elok yang ditunjuk menjadi sekretaris PMR, plus dipercaya
sekolah menjadi ketua drama untuk kompetisi antar sekolah, semakin tenggelam
menjalankan kegiatan ekstrakulikulernya ini. Pun Mutia, yang sedikit manja dan
boleh dibilang sering mendapat perhatian lebih dari para siswa laki-laki di
sekolah, mulai disibukkan dengan pacar pertamanya, Ridwan. Tapi tetap, keduanya
masih menyempatkan saling berbagi cerita walau hanya sebatas canda sepulang
sekolah.
Suatu hari, Mutia berencana pergi ke Puncak bersama Ridwan.
ibunya jelas tidak mengijinkannya pergi sendiri, makanya Mutia mengajak Elok
untuk ikut. Tapi Elok memilih fokus pada kompetisi dramanya. Apalagi di hari
yang sama juga, Elok mewakili PMR untuk mengikuti LCT yang juga antar sekolah. Dengan
halus, Elok menolak ajakan Mutia. Tapi bukan Mutia kalau mudah menyerah. Mutia
terus merayu Elok, menjanjikan bahwa Ridwan sangat pintar mengarang cerita,
jadi sedikit banyak bisa menilai isi skenario dramanya Elok. Plus,"cowok gue itu pernah buat drama di
sekolahnya, katanya sih dapet juara. Dia bisa bantuin lu buat bikinin properti drama sekolah
kita. Percaya gue dah, dijamin menang nanti" Mutia semakin gencar merayu Elok.
Sebagai teman dekat, Elok sangat memercayai Mutia. Tanpa pikir
panjang, ia melibatkan Ridwan untuk membantu membuatkan properti drama. Tidak tanggung-tanggung,
sesuai arahan Ridwan, ia dan teman-teman drama sekolahnya, iuran 75ribu untuk
keperluan properti. "Untuk menang, kita harus banyak berkorban
kawan!" ucapnya penuh semangat.
Dan kalian tau apa yang terjadi? Sifat mudah percayanya Elok
menjadi bumerang bagi dirinya. Mutia sudah putus dengan Ridwan, yang entah
bagaimana, Ridwan langsung menghilang tak tau dirimba. Saat ditanya, Mutia
hanya geleng-geleng kepala sambil menghindari tatap mata. "lu tanya dia aja langsung, gue udah ngelupain dia tuh"
Elok hanya bisa menutup mata, dengan rahang terkatup. Wajahnya
memerah, hatinya bergejolak ingin menumpahkan amarah. Tapi tidak bisa, Elok
tidak pernah bisa marah. Maka Elok memiilih pergi, kembali terisak dibalik
bantal. Apakah pacaran semudah itu menghancurkan pertemanan seseorang? Elok
tidak mengerti, tapi Elok mengerti kenapa harus membenci pacaran.
Saat hari H, semua benar-benar kacau. Properti seadanya,
drama amburadul, dan tatapan kecewa semua tertuju pada satu pasang mata. Kekecewaan
teman-temannya semakin memuncak, saat melihat Elok pergi meninggalkan acara
drama karena harus ikut lomba LCT PMR. Dalam keadaan emosional seperti itu, kadang
alasan yang masuk akal pun menjadi tidak layak diterima. Pembicaraan tentang Elok
pun semakin merebak setelahnya. Tapi anehnya, Mutia tidak pernah ikut jadi
kambing hitam.
Akhirnya, pihak sekolah memanggil Elok. Meski air mata darah
terkuras habis sekalipun, tetap tidak ada yang percaya, bahwa, bahwa, ah,
dikatakan pun tetap kalian tidak akan percaya. Terpaksa, ibu Elok mengganti
uang iuran teman-teman untuk mengurai sedikit ketegangan. Terpaksa juga, Elok
di pecat dari keanggotaan PMR, dan harus menerima bahwa satu sekolah, kini
membencinya.
"awas, si penipu datang"
**
Disinilah Elok sekarang. Meminta belas kasih Tuhan dengan
menyendiri. Ayah, ibu, ka Imam, dimana kalian?
"ka Imam? bukankah ka Imam ada di rumah sakit?" pikirnya dalam
hati.
Elok tidak sempat mengganti baju putih biru nya. Ia bergegas
membuka pintu kamar, melewati ruang tamu, dan berlari sekuat tenaga menuju
rumah sakit. Ka Imam, selalu ka Imam, dan hanya ka Imam yang tak pernah lelah
menjadi teman berbagi hati saat suka maupun sedih. Elok rindu ka Imam, Elok
rindu cerita-cerita petualangannya, sangat rindu.
Di rumah sakit, Elok berlari menyusuri lorong, bertanya sana
sini pada perawat maupun dokter yang lewat, dan sampailah Elok di ruangan
berkaca hitam, terletak di paling ujung koridor dengan bau obat menyengat. Tapi
apa yang Elok lihat, hanya ranjang kosong, dengan tikar yang masih tergelar di
lantai. Kemana? Elok bertanya kemana ka Imam dibawa?
"Elok?" terdengar suara lembut agak serak
memanggil nya dari belakang.
"mama? ka Imam dimana ma?" seketika Elok membalikkan
badan, berlari dan menjatuhkan diri dalam rangkulan perempuan setengah baya di
depannya. Elok menangis di pelukan ibunya, yang juga dibalas dengan suara
tangis ibunya.
"ayo pulang nak, ka Imam sudah menunggu di rumah" Elok
mengangguk pelan, senyum tipis terlukis di bibir tebalnya. Yang ia bayangkan
sekarang adalah, ka Imam sudah pulang, yang artinya pasti sudah sembuh.
Tapi bukan itu kenyataannya. Tuhan punya rencana untuk Elok,
yang sekarang ambruk di ruang tamu, di dekat jasad kakak kebanggaannya. Lengkap
sudah Tuhan membiarkan Ia sendiri sekarang. Ya, ia sendiri sekarang.
Elok terpaku menatap halaman rumahnya sambil duduk di
beranda. Ditemani secangkin teh susu hangat kesukaannya yang sekarang sudah
dingin karena tidak ia sentuh sejak 5 jam lalu. Tidak ada kata terucap, meski
serentetan kata tanya bergantian meluncur dari beragam bibir. Sudah 5 hari Elok
tidak berangkat sekolah. Kesendirian memberangusnya kini.
Lalu sesuatu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Sesuatu yang
ia ingat saat melihat dua anak kecil saling berkejaran di halaman rumah. Satu anak
laki-laki berumur mungkin 10 tahunan, yang sedang mengejar anak perempuan
sekitar berumur 5 tahun, mungkin adiknya.
"kaka, kalau aku
udah gede, aku mau jadi doktel!"
"kata ayah, jadi
doktel itu halus pintal, dik. Kamu halus banyak belajal"
"kan ada kaka yang
selalu ngajalin adik. Jadi aku pasti pintal, hehe"
"ya sudah, nanti
kita sekolah baleng ya, ampe tinggiiii sekolahnya"
"iya kak, asalkan
baleng kaka"
**
Elok tak peduli lagi tatapan sinis teman-teman sekolahnya. Masa
lalu biar lah tetap berada di belakang. Tuhan pasti akan membuka semuanya
kelak. Sekarang, ada masa depan yang layak diperjuangkan. Elok percaya, saat
orang lain menjatuhkan kita, ada segudang kebaikan yang bisa dijadikan amunisi
untuk membalasnya. Elok tetap mencoba tersenyum, menyapa siapapun walau tak
pernah berbalas. Elok tetap bahagia. Elok ingin memberi bukti lewat prestasi.
Untuk ka Imam, ayah, ibu yang tak pernah lelah mendukungnya di saat titik
terendah sekalipun.
Maka sepulang sekolah, Elok langsung menenggelamkan diri
dalam lautan buku pelajaran. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan, dan
mencari teman, untuk yang ini Elok masih trauma. Hasilnya, jadilah ia berada di
puncak juara umum sekolah, diterima di SMA terbaik sekotanya, dan bertemu
dengan beberapa wajah baru. Mungkin ini saatnya bagi Elok untuk membuka diri.
Dan entah bagaimana, Tuhan telah menjelaskan semuanya. Ya, dengan
cara yang tidak ia tahu.
Di suatu siang sepulang sekolah. Tiba-tiba saja di rumah,
sudah berkumpul banyak orang. Saat ia berucap salam, belasan orang langsung
menghambur memeluknya. Menangis tulus, meminta maaf atas kesalahan di masa
lalu. Ah, indah sekali hidup ini. Dalam suasana haru itu, ia mencari satu wajah
yang sangat ia harapkan ada juga saat ini. Wajah yang semenjak TK sudah
menemani hari-harinya. Wajah yang bagaimanapun dulu sangat ia benci, tetap
masih ada ruang dalam hatinya untuk rasa sayang. Tapi sayangnya, Mutia tidak
ada.
Mess putra LAJ Jambi, 1 feb 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar