Langit kecut sekali malam ini, sekecut senyummu sekarang.
Jam 5 sore, kau melangkah gontai bertatap kosong laksana anak itik kehilangan
induknya. Rambut acak-acakan, kucel dan kumel. Dari garis coklat di kulit
lenganmu menjelaskan kau sering berada di lapangan, terlihat juga dari celana
cargo dan sepatu hiking yang kau
kenakan. Lalu ngapain kau berjalan sempoyongan di pikuknya stasiun pasar minggu
Jakarta dengan tampang kuyu gitu?, owh, pasti diputusin pacar ya?, bukan,
sepertinya lebih besar dari itu, biasanya orang yang kerja di lapangan, rada
kuat dalam urusan cinta. Kalo diputusin, besok nyari lagi gampang. Jadi apa
masalahmu?
Langkahmu terhenti lalu mematung menghadap jalur rel kereta
api-masih dengan tatapan kosong. Pikiran negatif mulai menyeruak. Jangan bilang
kau akan melompat tepat saat kereta lewat nanti, seperti cara bunuh diri yang
diberitakan di tipi kemaren?. Suara kereta dari kejauhan mulai merambat ke
telinga. Bukannya menjauh dari jalur kereta, kau malah memejamkan mata menelantangkan
tangan. Tak dihiraukan pekikan petugas peron yang mulai mendekat. Dan dalam
sepersekian detik, saat kereta benar-benar akan lewat, terhuyung kau melompat
tanpa ragu ke jalur kereta.
“ka YUDIIIIIIIIIII” teriak seorang perempuan tepat saat kereta
sedang melintas.
**
Bangga bukan kepalang, pasti itulah yang dirasakan
orangtuamu saat menghadiri upacara wisuda, IPK cumlaude terbaik seuniversitas
lagi. Jerih payah 4 tahun terbayar sudah. Lebih bangga lagi, katanya kau sudah
diterima di sebuah perusahaan sawit multinasional di Kalimantan sana. Sedih
memang akan meninggalkan orang tua. Tapi tekadmu sudah bulat, terlihat dari
daftar impian yang kau tulis di kamarmu, urutan ke 40 setelah hafiz 3 juz
Quran-bekerja diperkebunan sawit.
“selamat ya ka Yudi, jadi wisudawan terbaik”dengan malu-malu
seseorang yang pastinya kau anggap spesial-pipimu merah gitu soalnya, mengucapkan
selamat sambil memberikan bunga.
“iya makasi Safira, kamu cepat beresin penelitian, biar cepat
di wisuda juga”, ucapmu terkesan dipaksa datar, padahal intonasi ketertarikan
jelas terdengar, hehehe, ketahuan lu yud,,ia tidak berkata, hanya mengangguk
tersenyum simpul, lalu pergi.
Seminggu setelah wisuda kau sudah sampai di Kalimantan. Setelah
memberi kabar pada orang tua di rumah, kau melangkah pasti masuk ke dalam mobil
jemputan. Yapp, Kalimantan panas juga ya Yud,,
Hampir 180 derajat lingkungan disini berbeda jauh dengan saat
di kampus. Tengok saja, sinyal susah, sepi, tidak banyak gedung, dan semua
terlihat hijau. Parahnya lagi, muslim adalah minoritas disini, jadi sudah pasti
tidak ada masjid. Semoga kau tetap menjaga ibadahmu ya Yud.
2 bulan pertama, kau masih kuat mengejar kedekatan dengan
Tuhanmu lewat ibadah wajib. Setelah itu perlahan kesibukan sebagai asisten
kebun mulai membuat kau sering mencari alasan untuk menjamak solat.
“Dari jam 6 hingga jam 12 di lapang, lalu pulang. Jam 13
sudah harus ke lapang lagi, istirahat siang cuma 1 jam, jadi mending pake buat
makan dan istirahat, kan kerja juga ibadah. Lagian nanti di waktu ashar juga
solat dzuhur ko” kilahmu saat waktu solat dzuhur tiba,
Memang benar, beberapa hari ini kau sering menjamak solat.
Tapi rupanya setan semakin gencar menggodamu. Alasan lain muncul saat tiba
waktu solat ashar, kecapean pulang dari lapang lah, harus masuk kelas training lah, atau banyak laporan yang
harus dikerjakan. Mulai bolong2 lah solat dzuhur dan ashar. Untunglah kau masih
ingat solat magrib dan isya, kalo subuh jelas kebablasan terus.
Jadi apa yang terjadi dengan kau Yud, bukankah dulu kau sering
berkoar-koar tentang pentingnya menjaga solat?, dikemanakan label santri yang
kau sandang saat kuliah kemaren,
“setelah lulus wajar kalau idealisme tergadaikan”, argumenmu
menyepelekan. Lah, jadi kau mau ngekor jejak koruptor2 yang dulunya aktivis
kampus yang kau ludahi fotonya saat aksi bersama kawan-kawanmu?,aihhh,,
sekarang kau malah tambah parah. Semenjak lulus training selama 6 bulan, kau menjadi asisten verificator dibagian financial verification. Entah karena kau
terlalu tegas, loyalitas tinggi atau tanggung jawab teruji, Perusahaan akhirnya
mempercayakan bagian verifikasi keuangan padamu. Seharusnya saat itu kau
menolak, karena dibagian ini kau tidak akan kuat dan pasti ikut terjerumus
dalam permainan invisible hand para
pemborong. Solat aja sebagai pelindung diri sudah ditanggalkan, maka mudah
sekali sogokan duniawi menjelma buah manis, akan membuatmu ketagihan
memakannya.
Dan benar saja, kau tidak kuat Yudi. Malam minggu kau
habiskan di café bersama bos-bos pemborong di perusahaan mu. Jelaslah untuk
melobi kau, agar order bibit, pestisida, alat pabrik, atau apapun order
bernilai ratusan juta bisa lancar mengalir. Tentu ada persenan masuk ke kantong
lah. Parahnya setelah harta, adalah wanita yang coba mereka gunakan. Mereka menyebutnya
‘bonus’. Alhamdulillah, kau tolak mentah-mentah tawaran itu. Tapi memang setan
selalu punya cara pintar menggoda hamba Tuhan yang sedang kosong jiwanya.
‘jangan berburuk sangka dulu bos, ini Cuma buat nemenin bos
aja, barangkali bos butuh teman ngobrol, saya tau bos gak pernah pacaran saat
kuliah kan?’ ujar mereka meyakinkan. Dan kenapa kau malah menganggukan kepala?.
Aihh,, setan itu Yud,, setan!
Hampir setiap malam minggu kau habiskan waktu dengan
perempuan. Awalnya mengobrol biasa, pegangan tangan hingga lainnya yang tak
bisa dikatakan disini. Dan apa kau bilang?, ‘kalo tau nikmat deket perempuan
kaya gini, nyesel dulu gak pernah pacaran’. Ini udah kelewatan Yud.
Tuhan rupanya masih sayang kau Yud, Ia menegurmu lewat
berita ayahmu meninggal. Ya, memang teguran yang keras. Tapi ini cara terbaik Tuhan
menyadarkan kau Yud, mengembalikan kau pada seorang Yudi Aswandi yang dulu. Tak
henti kau menitikkan air mata menyesali diri, ‘pulanglah nak, pulang!’ getar
suara ibumu dari telpon genggam terbaru mu.
‘maafkan aku ya Alloh, maafkan aku ayah’ gumammu di sepanjang
perjalanan pulang.
Tapi kematian ayahmu belum sepenuhnya menampar kau agar
kembali. Lingkungan pekerjaan rupanya sangat kuat mencengkram. Sekali kau masuk
dalam permainan, maka susah untuk keluar. Kau pun tergoda lagi. Nilai proyek
lebih besar, wanitanya lebih cantik, semakin kalap sikat sana sikat sini yang
penting untung. Tak perduli dengan perusahaan yang perlahan merugi. ‘toh Cuma
dikit ini ko ruginya’ ucapmu menggangap biasa. Tapi tuhan tidak tinggal diam. Tepat
dibulan Ramadhan, Ibu mu terkabulkan do’anya. Doa yang didambakan setiap
muslim-meninggal di hari Jum’at Ramadhan. ini sudah Bukan lagi ditampar, tapi
diremukkan seremuk-remuknya. Kau mencari uang untuk keluarga, dan kalau
keluarga sudah tidak ada?, hampa!, dan bukannya bertobat, kau malah mengutuk Tuhan
dengan sumpah serapah sepanjang perjalanan pulang. Bilang Tuhan egoislah,
jahatlah, tidak berperiketuhanan lah. Semua kau tumpahkan lewat emosi mimik
wajahmu. Tampang kuyu, rambut acak-acakan, langkah gontai, tak tahu arah. Para
pelayat yang datang, kau jamu dengan tatapan kosong-tak perduli. Hancur, kalut,
benci, marah, sedih, terramu menjadi ekspresi nanar.
‘buat apa aku hidup sekarang?, sudah tidak ada lagi harapan?”
gumammu pelan
Kau sudah berdiri tegak di pinggir rel kereta, petugas peron
berulangkali berteriak menyuruhmu menjauhi rel. Niat kau sudah bulat ya,
menganggap kematian adalah cara terbaik menghilangkan beban hidup, menyusul
mereka-orang tuamu.
Saat itulah, ketika kau bersiap melompat disaat kereta sebentar
lagi akan lewat, seorang anak kecil mengejar balonnya lalu terpleset jatuh ke
jalur rel. Entah siapa yang menggerakan tubuhmu, refleks kau melompat lebih
cepat merangkul si anak kecil dan wuuuuuuusssshhhhhhh, dengan lincah kau
melompat lagi ke pinggir rel tepat beberapa senti kereta kebanggaan orang
Jakarta ini hampir menabrakmu. Kau terus merangkul si anak yang terus manangis-melindunginya
dari kencangnya hempasan angin kereta.
‘cup, cup, cup, jagoan gak boleh nangis, nih balonnya’
rayumu menenangkan si anak-membuatnya berhenti menangis. Semua calon penumpang
disitu menepuk-nepuk bahumu, menyalami dan mengatakan kau bertingkah seperti di
pilem-pilem. Hebaattt, si ibu anak kecil malah terus berucap terima kasih
sambil terus memelukmu. Dan konsentrasimu teralihkan sudah pada tatapan seorang
perempuan yang menangis di sebrang jalur rel. Ya, perempuan yang dulu kau anggap
spesial, perlahan ia mendekatimu.
‘booddooohhhhh, aku kira ka Yudi mau bunuh diri’ ucapnya
pelan, tapi kau dengar kan yud?, ada seseorang yang masih memerhatikanmu,
mungkin dia malah menyayangimu.
‘tadi niatnya memang mau bunuh diri’ucapmu datar, membuat si
gadis mendongak menatap mu penuh.
‘kenapa?’ tanyanya, lalu mengusap tetasan air mata yang tadi
mengalir.
Dan kau menumpahkan segalanya disitu, tak perduli dengan
penumpang yang juga ikut meneteskan air mata karena mendengar ceritamu. Ya,
cerita tentang seorang bujang baru lulus, banyak dosa, ditinggal mati kedua
orang tua, dan hampir mati bunuh diri kalo saja tidak ada anak kecil terpleset
tadi.
‘saya ingin dan pantas mati!, gak ada lagi harapan untukku yang
berpeluh dosa ini.’ucapmu dengan kepala tertunduk, air mata hampir jatuh. Hei
kawan, bukankah tuhan masih menyayangi kau, buktinya kau masih hidup ampe
sekarang. Coba dengarlah apa yang akan di katakan Safira, tadi dia mau
mengatakan sesuatu tapi tercekat di ujung bibir.
‘kalo ka Yudi mati, nanti siapa yang akan menikahiku,
pokoknya besok ka Yudi harus datang ke rumah dan lamar aku’ wajahnya tertunduk merah
padam, lalu pergi menaiki kereta yang baru datang menuju Bogor. Suaranya meski
pelan tapi jelas terdengar, lalu apa yang akan kau lakukan Yudi?, tetap menganggap
Tuhan membenci mu?, atau mau bangkit menyongsong harapan baru?.
Suara adzan magrib berkumandang. Para penumpang berlafal
hamdalah tanda syukur bisa berbuka puasa. Seorang bapak mendekati dan menawari mu
sebotol air. Damai sekali suasana ini, pasti sedamai hati kau sekarang, ya, pasti
terasa damai. Sejatinya aku dan kau adalah sama. Jadi aku merasakan apa yang
kau rasakan Yud. Aku selalu ada untuk tetap mendamaikan hati dan jiwamu. Namun
kau sering mengabaikan aku, terlalu jauh jarak kita saat itu. Tapi sekarang aku
senang, kau dan aku bisa sejalan, seperti waktu kuliah dulu. Kembali ke
cahayaNya. Di mulai dari Bulan yang berkah ini.
Mess Putra no 4 LAJ
Jambi, 23 juli 2013