Meski saat ini suhu di Jambi panas
menggila, bagiku adem nian rasanya. Benar kata pepatah sunda yang pernah ku
dengar dari kawan kerjaku di tangerang, “jika hati keur senang, tikotok ge ek siga coklat”. Pasti lagi jatuh
cinta ya?, aihh, sempit kali pikiran kau. Hati senang itu bukan hanya milik
para pecinta. Para perindu pun bisa memiliki hati senang tak terperi. Setelah
23 tahun tak pernah bertemu dengan adik kandung, bahkan tidak tahu wajahnya
seperti apa sekarang, terakhir bertemu saat dia masih bayi. Dan kini tuhan akan
menakdirkan pertemuan ini. wahai mobil traveelllll!!!!,, pinjam lah sayap
burung di langit sana biar aku bisa cepat bertemu dengan satu-satunya keluarga
kandungku. Aaaaakkkkk,, Ok yang ini terlalu lebay.
Adalah pakde Imron yang mengurus ku
waktu kecil yang mengabarkan berita hebat itu padaku. Katanya tak sengaja ia bertemu dengan pakde
sukri dalam bis saat mau pulang ke prabumulih Palembang kemaren. Entah
sebenarnya kedua orang ini bersaudara dengan ayah ibu ku atau tidak. Yang
jelas, orang2 yang berjasa dalam hidupku, ya aku panggil mereka ‘pakde’. Dan
pakde Sukri adalah orang yang mengurus adikku sedari buaian. Semenjak tinggal
dengan pakde Imron, aku sudah tidak tau lagi kabar adikku di pakde Sukri. Terakhir
aku tanyakan padanya, pakde sukri sering berpindah-pindah. Jadi pertemuan dalam
bis itu aku simpulkan saja info pentingnya, sudah jelas orang tua yang tlah
lama tak berjumpa ya pasti ngalor ngidul obrolannya. Ternyata adikku yang
bernama Leni Marlina sekarang tinggal di dusun Pemberian kabupaten Tebo Jambi.
Inilah yang membuat perjalanan pertamaku ke Jambi, tak peduli hawa panas, tak
peduli antrian mobil di Merak, tak peduli mabuk laut di Bakau heuni, hingga
hampir di rampok saat mau buang air kencing di sebuah restoran tengah malam, semua
terasa begitu ringan menyenangkan. Apalagi bisa lepas dari tekanan pekerjaan
dengan target-target gila di penatnya Jakarta, menambah sumringah wajahku.
Maka sampailah aku di Dusun Tuo,
sebuah dusun tepat di pinggir sungai Batanghari. Setelah menyebrang menggunakan
tempek-perahu kecil mirip sepit di Kalimantan, dan membayar uang 7 ribu rupiah,
aku menunggu di sebuah warung kecil. Dari sini, rencananya tinggal menunggu
mobil perusahaan karet yang dekat dengan dusun Pemberian tujuanku, nebeng mobil perusahaan lah singkatnya.
Karena memang tidak ada kendaraan umum kesana.
“ngopi mas” tawarku pada seorang
laki-laki tanggung yang baru saja duduk di ujung lain bangku panjang warung
ini.
“ida bang, awak lagi puaso”tolaknya sopan.
“owh, uda mulai puasa sekarang ya”,
ucapku datar
“ini udah 5 hari puasonyo bang”,
timpalnya juga datar.
“owh,,”ucapku gak peduli, males
membahas tentang puasa. “mas lagi nunggu ponton nyebrang ya, kenapa gak naik
tempek aja?”tanyaku mencoba lebih akrab.
“iya bang, aku troma bang kalo naek
tempek, pernah jatuh sekali dulu. Jadi ya mending naik ponton, walupun kalau
sedang sepi ya kaya gini, nunggu penuh dulu.”
“owh, kenapa pemda sini gak ngebangun
jembatan aja, kehidupan disini nanti pasti lebih maju?”
“mana mau lah mereka buat jembatan,
coba tengok berapo penghasilan ponton perhari. Satu mobil bayar 50ribu, honda
bayar 6 ribu, satu kali nyebrang bisa muat 10 mobil, belasan honda, dalam
sehari bisa hingga 20an kali bolak balik nyebrang. Kalo ado jembatan, dari mano
mereka dapat duit,”
Obrolan terus mengalir hingga satu
jam lebih, dari mulai kabar perambah perusahaan, hingga kabar gosip pemerintah
yang tega menaikan harga BBM. Memang orang leasing rada-rada pinter ngajak
ngobrol, wong kerjanya nyari konsumen sebanyak mungkin.
“oya, abang mau kemana, kerja di
perusahaan karet sini ya?” Tanya nya terasa lebih akrab.
“bukan, aku mau ke dusun Pemberian,
sambil nunggu mobil tumpangan milik PT” jawabku antusias
“wah, awak orang dusun Pemberian
bang, mau ketemu siapa disana bang?”tanyanya mulai penasaran
“aku mau ketemu adik kandung,
namanya Leni,”
“Leni marlina?,” dahinya berkerut
memastikan
“iya, mas tau adik aku,?” aku ikut penasaran
“Berarti abang namanya Candra Dwi
Putra,?” ucapnya setengah berteriak
“ iya, mas siapa?”
“Owalahhh,, awak suaminya Leni bang,”
tangannya menjulur mengajak salaman, senyum terkembang dari bibirku. Ya tuhan,
Rupanya Leni sudah menikah.
“Leni sudah nungguin abang dari
dulu, yasudah, hayok kita ke rumah sekarang,”
“Lah, katanya mau nyebrang,?”
“laaahh, itu gampang, nganterin abang lebih penting,” aku mengekor
mas yang belum tau namanya ini mengambil motor.
Setelah hampir dua jam bermotor
ria-rasa senang gelisah rindu makin membuncah, bertemu Suku Anak Dalam kucel,
dekil item tak bersandal yang ngecamp menggunakan terpal biru, melewati kantor
perusahaan karet yang mobilnya tadi mau aku tumpangi, kaget melihat pohon
akasia melintang dengan batang terkuliti bersih yang katanya itu dirobohkan
gajah, nyemplung sungai karena jembatan kayunya roboh-untung sungainya dangkal
coba, dan sampailah kami disebuah papan yang disusun membentuk rumah kecil
beratap seng namun asri. Perlu waktu hampir 2 jam untuk sampai di dusun Pemberian
dari ponton Dusun Tuo tadi.
“Assalamualaikum, Leni-leni, ini
abang bawa orang sepesial buat leni, sini cepat sini, ada mas candra” teriak
mas yang masih belum aku tau namanya, ini ngapain aja aku di motor ampe lupa
terus nanya nama.
Perempuan yang di panggil Leni itu membuka
pintu, mengenakan baju kain coklat dan tangannya terlihat sedang menggendong bayi,
tertegun, ia tertegun menatap ku, dan matanya mulai berair.
Lihatlah tuhan, bukan kah dia mirip
sekali dengan ku. Dulu ia yang aku gendong, kini malah sudah menggendong, kejam
nian orang tua yang tega membuat saudara kandung tak pernah bertemu selama
hidupnya. jangan kan peduli anak makan apa hari ini, ada tidak nya kami pun
mereka tak peduli. Bodo amat!, aku juga sudah gak peduli dengan kabar mereka.
Leni langsung mencium tanganku,
mendekap erat dadaku, dan berlafal syukur berulang kali. Aku yang tak pernah
menitikan air mata semenjak ditinggal orangtua cerai dulu, kini deras tak
tertahankan mengalir. Mungkin kalian tak pernah merasakan pedihnya diumur
balita sudah ditinggal orang tua, tak pernah merasakan irinya melihat teman
sebaya berebut mainan dengan saudara kandung, juga beratnya hidup harus
membanting tulang diusia sangat muda. Tapi sekarang aku sudah menemukan mu Leni.
Dan semoga tuhan juga menakdirkan kami bertemu dengan 3 kakak kami yang lain. Batinku
dalam hati.
**
“aku senang sekali lho mas, bisa
berbuka puasa dengan saudara kandungku sendiri” ucap leni pelan, pipi merahnya
tersamarkan temaram lampu cempor diatas meja serba guna ini, mebuat suasana
sederhana ini malah terasa syahdu. Sebenarnya aku malu tadi ikut berbuka bareng
mereka, lah aku gak puasa hari ini. besok!, pasti besok aku puasa!
“iya mas juga senang, maafin mas ya
tidak datang ke pernikahan kalian, mas harusnya yang jadi wali sah kalian”
suara ku tercekat diujung kata, lalu menelan ludah.
“Gak pa2 mas, yang penting saiki wis ketemu mas. Itu aja aku udah
seneng.”
Langit malam Jambi menyuguhkan gemilau
parade gemintang yang tak terbantahkan kecantikannya, berpadu dengan keelokan
putihnya cahaya bulan, menjadi penonton dongeng cerita hidup yang saling sahut
menyahut mengalir dari bibir kami. Tak luput bangku panjang di beranda rumah
yang kami duduki berdua-hanya berdua, menjadi perekat kebersamaan kami.
“Leni sekarang umur berapa?”
“gak tau mas, dari kecil aku gak
pernah dikasih tau tanggal lahirku,” aku tercenung mendengarnya, kebencian pada
orang tua mulai muncul kembali.
“yasudah, dulu mas pernah gendong
kamu, kalo gak salah mas umur 5 tahun dan kayanya leni baru berumur 5 bulan dah,
jadi biar kita deketan tanggal lahirnya, kamu lahir tanggal 29 april 1993 ya,
nanti minta suamimu buat akta lahir dan KTP” kataku dengan nada selembut
mungkin, mencoba menganggap hari-hari berat kami dulu biasa saja.
“iya mas, makasih”jawabnya sambil
menggenggam erat tanganku.
“mas masih ingat wajah orang tua
kita?” Tanyanya penasaran.
“entahlah, mas udah lupa, dan gak
mau cape2 juga ngingat2, buat apa?, mereka aja udah gak peduli sama kita,
ngapain kita peduli,?” jawabku datar, tak terasa rahang mulai mengeras.
“Kita ini sebenarnya 5 bersaudara,
mas Cuma tau ada mbak kita di Kediri, namanya Indah Ningtias, tapi kalo wajahnya
mas juga belum pernah liat, kalo dua lagi, namanya pun mas gak tau, sejak kecil
kita memang ditakdirkan berpisah semuanya, ini gara-gara orang tua kita yang
gak pernah peduli sama kita,” terdengar sedikit nada kebencian dari suaraku.
“mas benci orang tua kita?”
tanyanya lagi,
“Kalo dulu, iya, sekarang mas udah
gak peduli lagi,”
“Kalo aku masih berharap mas,
seburuk-buruknya seorang ibu, dalam hatinya, pasti masih ada kasih sayang untuk
anaknya, sekarang aku sudah merasakan perasaan itu mas, sedih memang tidak
pernah bertemu ayah apalagi ibu, tapi aku yakin, mereka sebenarnya masih sayang
sama kita, hanya saja keadaan tidak menunjukan itu pada kita” ucapnya dengan
nada keibuan.
“pahit sekali hidup kita ya nduk?” keluhku sambil menatap kerlip
lampu cempor di setiap rumah-rumah papan dusun ini.
“namanya juga hidup mas, ya kalo ndak mau ada masalah ya ndak usah hidup”, ucapnya membuat ku mengernyitkan
dahi-berpikir, apakah memang perempuan itu cepat sekali dewasanya, hingga
dengan mudahnya bisa berdamai dengan pahitnya kehidupan?, atau mungkin
kehidupan dia lebih berat daripada ku?, ya, sepertinya kehidupan dia lebih
berat daripada aku, lihat saja, aku beruntung bisa menamatkan kuliah meski Cuma
D3, adikku malah SD saja tidak tamat.
“tau gak mas, semenjak aku dapat
kabar dari pakde Sukri tentang mas, aku setiap abis solat selalu berdoa bisa
bertemu mas, kata pa kiyai, doa dibulan ramadhan itu mudah dikabulkan” ucapnya
lagi, lalu terdiam sejenak,
“Alloh kini mengabulkan doamu Len,
dan mungkin pertemuan kita ini memang berkah Ramadhan” kataku sok tau-menirukan
gaya ustad yang sering tampil di tipi tipi, gak mau kalah dengan omongon bijak
adikku tadi.
“mas juga gak boleh benci lagi sama
orang tua kita, bagaimanapun sikap mereka ke kita, tetaplah mereka yang
melahirkan kita. Nanti juga mas akan menjadi seorang ayah, Pasti akan ngerti
bagaimana perasaan seorang ayah terhadap anaknya, dan mumpung ini lagi bulan ramadhan,
selain kita meminta maaf terhadap orang lain, kita juga harus berani memaafkan
orang lain, iya kan mas?” matanya menatap manja, dengan mudah aku menemukan
keteduhan seorang ibu disana, ah, bukan, itu keteduhan seorang adik yang
menyayangi kakaknya.
Aku menghela nafas perlahan, lalu berkata
“ya, nanti mas coba memaafkan mereka,”
“yasudah mas, aku masuk dulu,
sepertinya si abang gagal jadi tukang diemin tangis bayi tuh, hehe” ia pun
mengecup tanganku lagi. Aku hanya tersenyum mengangguk. Sesaat sebelum masuk ke
rumah, ia tiba-tiba menoleh, “makasi mukena ya mas, aku suka warna birunya, hehehe”,
ya ampun, senyum manjanya berhasil membuat aku salting gini. “eh,, ya
sama-sama”
Berkah ramadhan?, bukankah aku
malah jarang berpuasa?, tapi di ramadhan kali ini Engkau mempertemukan aku
dengan Leni, malah Engkau mudahkan?, apakah itu artinya aku boleh mendapatkan
berkah ramadhan?, ya Tuhan,,, kenapa aku malah rindu ayah ibu, meski aku tidak tahu
kabar mereka, mudah-mudahan mereka baik-baik saja ya Rabb, aku sudah memaafkan
mereka. Amiin.
Dan memang BERKAH RAMADHAN itu
adalah nyata, dibelahan Indonesia sana, seorang ibu menghembuskan nafas
terakhirnya, setelah berjibaku dengan kanker yang sebelumnya tak pernah
berhenti menggerogoti dadanya.
Mess
putra LAJ no 4, 11 juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar