Ini
cerita asli, fakta bukan rekaan. Tentang seseorang yang menurut saya juga
kalian adalah pantas dijadikan sosok panutan. Alloh berulang kali menguji
kesabraannya. Atau memang cobaan sudah menjadi pasangan hidupnya?. Begitu lekat
sekali mereka merayap dalam setiap nadi kehidupannya dimanapun ia berada. Tapi Ia
akan terus tabah dan sekalipun tidak akan menyalahkan Tuhan.
Hari
ini, Jam 10.30 kabar itu datang. Sebenarnya kebakaran adalah sebuah kewajaran
terjadi di hutan. Tapi kalau yang terbakar adalah sebuah rumah kecil berukuran
4x4, beralas tanah, berbilik kayu, beratap seng, berruang 4 (dapur, ruang tamu,
gudang, dan kamar dilantai dua sekaligus mushola sekaligus tempat ngaji anak2).
Sungguh menurut saya sebuah ketidak adilan Tuhan. Hey, siapa saya berani menjudge takdir Tuhan. Baiklah mari kita
ralat. Bukan ketidak adilan, tapi cobaan yang begitu berat yang kalau saya ada
di posisi demikian. Sudah pasti saya akan merajuk pada Tuhan. Bagaimana tidak,
rumah berkayu yang lebih mirip gubuk itu adalah teman hidupnya selama ini.
Sudah 7 tahun, rumah gubuk itu menjadi pelindungnya dari sengatan matahari,
dari guyuran hujan, juga dari amukan gajah. Dan kini, melalui mulut seorang
bapak muda yang diberitahukan oleh istrinya lewat pesan singkat. Rumah gubuk
itu ludes terbakar, tanpa sisa.
Si
kakek tua itu tertnduk lemas. Kalau kalian ingin tahu namanya, mbah Nur.
Umurnya sudah 60 tahunan. Bahunya terguncang, bulir2 air mata tak lagi bisa ia
sembunyikan. Beberapa temannya yang juga adalah pekerja harian di divisi
Litbang perusahaan ini langsung mengusap, mendekap bahu ringkih mbah nur. Oya,
saya belum ada saat itu, masih di kantor. Saat saya ke lahan lagi, mereka sudah
pulang, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.
Mbah
nur sesampai nya di rumah nya yang telah habis, hanya bisa menatap kosong, lalu
meracau tentang semua isi rumahnya. “bensin ada 5 liter, beras belum di buka
juga 5 liter, minyak sayur 2 liter, racun rumput 5 liter, sarung 10 pasang,
baju ganti, baju koko, dan kitab bawa dari pesantren dulu.”begitu racauannya
berualng kali. “Kitab kuning, hanya itu yang membuat saya menyesal dengan
kejadian ini, kalo yang lainnya aku ndak
menyesal” ucap mbah nur masih dengan tatapan kosong. Mbah nur pun menumpang di
salah satu rumah warga. Tadinya dia mau tinggal di mushola.
Kalian
perlu tahu, ketegaran ini bukan dibentuk setahun dua tahun, tapi selama 60
tahun hidupnya. Mari saya ceritakan beberapa ksiah lain yang membuat saya
geleng2 kepala. “Ya Alloh, cobaan saya tidak ada apa2 nya ternyata”.
Dari
kecil, mbah nur sudah di didik di lingkungan pesantren. Saya tidak bisa
menceritakan masa kecilnya, yang jelas ia sangat mencintai kehidupannya di
pesantren. Pasti ada sesuatu?, ini belum berhasil saya korek. Saat umur 30an,
barulah mbah nur keluar dari pesantren, lalu membantu pamannya di Papua di
pabrik tahu. Jauh banget merantaunya nih. Oya, saya pernah denger, mbah nur
pernah bercerita mengenai cobaan entah keberapanya saat masih di pesantren,
saat PKI dibenci oleh semua kalangan. Ia dihadapkan pada dua pilihan, dibunuh
atau membunuh. Urusan nya tentang nyawa ini broh, beraatt. Mocong senjata
tentara sudah menusuk2 di pelipis mbah nur. Bersama teman2 nya dia dipaksa
memegang cerulit. Jelas maksudnya untuk menggorok orang2 PKI yang tertawan
dihadapannya. Bunuh,, atau di bunuh?, (saya kurang paham, kenapa bisa mbah nur
di culik oleh tentara, mengorek informasi dari orang tua itu harus sabar).
Keringat sebesar kelereng mengucur deras dari balik baju kaosnya.
Moncong
laras senapan semakin menusuk ke pelipis, tidak ada pilihan lain. ALLOHU
AKBAR,! Teriak mbah nur lantang, juga serak hingga tercekat. Darah segar anyir
muncrat ke muka, ke baju, ke tangan, ke crulit, ke tanah ke setiap sudut yang
mbah nur lihat. Di hadapannya sudah roboh lelaki berkemeja putih, bukan,
sekarang kemejanya sudah memerah. Mbah nur juga teman2nya mengambil darah dari
tanah dengan telunjuknya, lalu menjilatnya. Menurutnya, dengan seperti itu,
bayang2 wajah yang ia gorok tidak akan mengganggunya.
Dari
papua, mbah nur merantau ke Lampung. Ini juga belum berhasil di korek alasan
merantau ke lampung. Pasti, ada something
yang terjadi di papua. Yang jelas, di Lampung, mbah nur sudah tidak sendirian
lagi. Di umur nya yang ke 40, Ia menikah dengan gadis 20 tahun lebih muda
darinya, baru lulus Aliyah katanya. Lalu cobaan datang lagi, setelah 1 tahun
umur pernikahan, karena ekonomi yang tak kunjung membaik, mbah nur saat itu
punya 7 hektar kebun kopi. Tapi belum menghasilkan, masih kecil2 tanemannya.
Membuat istri nya tidak kuat dan memilih dengan atau tanpa ijinnya merantau ke
Malaysia. Dan dari yang aku dengar, hingga detik ini, si istri tidak pernah
sekalipun kembali pada mbah nur, meninggalkannya dengan anak yang masih kecil.
Mbah nur lalu menitipkan anak semata wayangnya kepada keluaga si istri di Palembang.
Ia tidak bisa membesarkan anak sekecil itu sendirian.
10
tahun mbah nur tinggal di Lampung, kebun kopi yang sedang matang-matangnya siap
dipanen, tiba2 Tuhan berkehendak lain. Pada tahun 1987, Kebun kopinya kebakaran
tepat saat kemarau berkepanjangan melanda. Tidak ada lagi yang bisa
diselamatkan. Hanya kretek ranting terbakar yang tersisa. Nelangsa?, jelas!,
tapi ia harus tabah, ilmunya dari pesantren mengatakan tak boleh ia menyalahkan
keadaan. Lalu temannya yang orang Bengkulu, yang sama2 lahannya kebakaaran
mengajaknya ke Bengkulu, mencari bukaan hutan baru.
Pindahlah
mbah nur ke Bengkulu, membuka hutan seluas 5 hektar untuk ditanam sawit.
Anaknya?, sesekali mbah nur menjenguknya di Palembang. ‘Pendidikannya akan lebih
mudah’ Pikirnya menghibur diri. Jadilah ia sendiri lagi mengurus sawitnya
sambil bekerja ke sebuah perusahaan sebagai buruh harian.
Sawitnya
perlahan sudah bisa menghasilkan, meski belum seberapa. Mbah nur juga mulai
membangun rumahnya lagi, belum permanen, tapi pondasinya sudah ia tanam.
Beberapa tahun cukup lah untuk membuat sebuah rumah kebanggan yang akan ia dan
anaknya tempati nanti. Lagi-lagi Tuhan berkehendak lain. Seakan memang cobaan
tidak bisa dijauhkan dari kehidupan mbah Nur. Bukan kebakaran kali ini. Pada
tahun 2002 apa 2004 gtu, lupa. Gempa bumi beserta tsunami menghantam Bengkulu.
Rumah yang perlahan ia bangun hancur, begitupun sawit yang sudah ia tanam
selama 10 tahun lebih. Hancur tak bisa diselamatkan.
Ya Alloh,
20 tahun di Lampung dan di Bengkulu bukan waktu yang singkat. Tapi apa yang
terjadi sekarang?. Semua kembali ke titik nol?. Sia-sia kah perjalanan
hidupnya?. Musibah datang silih berganti meluluh lantakan semua kekuatan mbah Nur.
Apalagi umurnya sudah tidak muda lagi. “Ya Alloh, musibah lagi musibah lagi.”
Keriput di pipi dan mulutnya bergerak2 pelan saat ia berkata. Tapi bukan mbah Nur
kalo mudah menyerah dan tidak bisa bersyukur.
Untung lah katanya, masih ada 2 hektar yang tidak terlalu habis di
terjang Tsunami. Ia jual ia punya kebun sawit seharga 175 juta. Beserta sisa
tanah yang luluh lantak dan rumah yang bergaris retak2 besar di dinding. Lalu
merantau lagi bersama teman nya ke Jambi. Ke sebuah hutan ynag masih benar2
alas. Harus ia buka dari nol kembali. Dan harus ia mulai semuanya dengan
kesendirian.
Pada
tahun 2005, ia membuka hutan seluas 15 hektar, tapi yang berhasil ke garap
hanya 5 hektar. Ia mulai lagi menanam bibit, ia mulai lagi menjaga dari babi
dan gajah, ia mulai lagi membangun rumah Kecilnya, ia mulai lagi memupuk,
mendangir, menyiram, mengerahkan semua kekuatan yang masih tersisa demi masa
depannya. Atau lebih tepatnya demi masa depan anak semata wayangnya. Ya,
anaknya lah yang menjadi motivasi terkuatnya hingga bisa bertahan dari segala
cobaan. Anaknya lah yang membuat ia rela bekerja membanting tulang dari jam 4
pagi hingga magrib menjelang, anaknya lah yang membuatnya rela hidup sendiri
menabung dan menabung setiap hari. Merelakan semua kesenangan yang bisa ia
dapat demi pendidikan anaknya. Aihh, sekuat itukah kasih sayang seorang ayah?
Tapi
ya Rabb, Engkau selalu punya kehendak yang tak pernah bisa kami mengerti. Hanya
Engkau yang tahu masa depan dan hal gaib. Mbah nur kemalingan di rumahnya, di gubuk
yang hari ini ludes terbakar. 3 juta rupiah hilang dalam sehari. Itu jumlah
yang sangat besar sekali untuk ukuran seorang pekerja harian. Saya tahu ia
mengumpulkan uang itu dari payahnya bekerja di perusahaan juga merawat 5 hektar
sawit yang panennya masih sedikit. (oya, 10 hektar lainnya karena tidak bisa ia
garap, dan tidak sempat ia jual, sekarang di klaim oleh suku anak dalam, jadi
Cuma 5 hektar inilah tanah mbah nur).
Rumah
mbah nur memang agak masuk kedalam, tidak pas di samping jalan seperti rumah
lainnya. Sehingga ada kejadian apapun di rumahnya, susah diketahui orang lain.
Dan saat pulang dari bekerja, mbah nur mendapati rumahnya sudah di bobol,
dalamnya berporakan, uang yang ia simpan di bawah piring, di dapur tak terlalu
sulit untuk ditemukan pencuri. Padahal katanya uang itu akan dikirm untuk
sekolah anaknya yang mau lulus SMA. Mau marah?, sama siapa?, Tuhan?, bukan
sifat mbah nur menyalahkan Tuhan. ‘Yowis
aku nrimo saja’ ucapnya dengan pipi yang
semakin kempot saat berbicara.
Kalian
tahu, kalo kalian membandingkan cobaan yang Alloh berikan pada kalian dengan
cobaan yang Alloh berikan pada mbah Nur, sungguh tidak ada apa2 nya. Saya malu
sekali kemaren sempat mengeluh ini itu, kehilangan ini itu sedangkan mbah nur?
terus bangkit dan tetap bersyukur menjalani hidup. Seperti hari ini, meski
rumahnya ludes terbakar, dia tetap bersemangat untuk hidup, kembali bekerja di
perusahaan ini untuk rencana-rencana Alloh lainnya, dan senantiasa bersyukur
dan berbaik sangka atas kehendakNya.
Terima
kasih mbah nur, kesabaran mu memang kesabaran tingkat tinggi. Kami akan belajar
untuk tidak mengeluh menghadapi cobaan, kami akan belajar untuk bisa bersabar
dan bertawakal. Berbaik sangka pada Alloh seberat apapun cobaan yang datang.
‘Ah, kalo belum dicoba kaya cobaan mbah nur, bukan sebuah cobaan yang berat’.
Kata itu yang akan selalu kami ingat.
Seperti
yang sering Alloh katakan, cobaan adalah proses kita naik tingkat. Semoga
kesabaran mbah Nur Alloh balas dengan sesuatu yang berharga, Syurganya.
Amminn,,
Mess
putra Jambi, 21 september 2013
di rumah mbah nur, saat sebelum berangkat kerja
rumah 'gubuk' kecil mbah nur dari luar, agak masuk kedalam dari jalan
saya saat berkunjung dan menginap semalam di rumahnya, ikut makan bareng
tungku dan dapur rumah, diperkirakan saat itu mbah nur lupa mematikan sempurna tungkunya, hingga terjadi kebakaran
yang nemenin mbah nur sehari-hari
Menyentuh dan penuh inspirasi, berapa kali kita mengeluh dalam hidup kita, atau setiap hari kita mengeluh? Ya Rabb, semoga Kau ganti semua milik Mbah Nur dengan yang lebih baik.
BalasHapussippp,,, aminn,,
BalasHapus