Akhirnya
disempatkan juga menulis kisah perjalanan saat berpetualang di Medan kemaren
(baca: Desember 2013 lalu) eh busyet, udah lama bener ya gue jalan-jalan nya.
Dan gue ngapain aja coba setahun ini ampe lupa nulis cerita perjalanan keren
ini. Kek nya sih gara-gara terlalu fokus pada satu orang kemarin. Jadi lupa
segalanya dah. Hey kamu! Tanggung jawab oy!
Oke kembali
lagi. Jadi para fans imam-luthfi.blogspot.com yang budiman, hahaha. Sok
terkenal banget yak. Karena satu hal dan lainnya, kisah perjalanan kemaren gue
loncati ke hari ke-6 di Medan (read day 1, day 2, day 3). Hari ke-4 dan ke-5 insya
Allah akan dibahas di lain kesempatan. Soalnya tema nya itu tentang makanan dan
budaya di kota Medan. Jadi perlu datang sekali lagi tuh ke Medan nya untuk
mematangkan sense meng-icip kuliner wa
budaya kota Medan nya. Apalagi bareng istri nanti yak, beuhh, cakep lah eta
pastinya. Pokok é, tunggu aé tulisan nya.
Di hari
terakhir di Medan ini, rencana kami selanjutnya adalah ke Kawah Putih Tinggi Raja.
Tidak hanya Bandung yang punya kawah putih, Sumatera utara pun punya kawah
putih yang tidak kalah keren pastinya. Rencananya juga, kami bakal naek kereta
untuk sampai ke Kawah Tinggi Raja. Oya, kereta di Medan itu maksudnya motor ya,
bukan kereta api. Dan guide kami kali ini adalah abang gue, yang bernama bang Aidi.
Suaminya kakak gue, ka Asmaul Jannah Siregar (eh, kalian udah lahiran belum
sih? Aakk, pengen nengok ponakan)
Hujan tapi
terus mengguyur kota Medan. Kami (gue, bang Yudi-kawan ipb, Ifah-kawan ipb, Ayu-kawan
USU, Ahaddin-kawan PII/USU, Ali-kawan PII/USU, Irvan-kawan PII, bang Aidi dan
bang Wanda) masih nunggu hujan agak reda di base camp kebanggaan kami, sekret
nya anak PII Sumut, hahaha, ketahuan deh nyari penginapan gretongan. Sekitar
jam 9an, Alhamdulillah hujan mulai agak reda, bang Aidi pun memutuskan untuk
menerjang saja hujannya. Masa jauh-jauh datang dari Bogor, kalah sama hujan.
Oke bang, siap kita bang, hajaarrr,, brum,,brumm,,
Untuk
mencapai kawah putih tinggi raja, terdapat dua alternatif rute. Pertama dari Medan
ke Lubuk Pakam lalu ke Tebing Tinggi baru ke Dolok Tinggi Raja. Jarak tempuhnya
110 km. Kedua dari Medan ke Lubuk Pakam, lalu ke Galang, lalu ke Dolok Masihul dan
barulah ke Dolok Tinggi raja. Jarak tempuh 97 km. Dan emm, ya ya ya, gue lupa
kemaren kite lewat mana. Hahha. Maaf cuy maaf, kayaknya sih kita lewat Galang deh.
Ya kan bang Aidi? Pokok nya yang gue inget, perjalanan memakan waktu 3 jam,
dengan kondisi jalan awalnya beraspal, lalu masuk ke perkebunan karet. Lalu
kita nyasar karena ditinggal rombongan. Halah. Si bang Aidi terlalu cepat
mimpin rombongannya. Harusnya gue, belok kiri tadi. Untung ada Ahaddin yang
nyusul.
Di pertigaan
yang gue lupa namanya itu (haduh, ini penulis payah banget sih). Oiya,
pertigaan di Dolok Masihul. Perjalanan dua jam di Jalan aspal kini berganti
menjadi jalanan berbatu yang gede-gede banget batu-batunya. Membuat motor Honda
legenda yang gue bawa semakin tak terkalahkan lambatnya. Ditambah lagi hujan
semakin menderas. Alhasil kita pun berteduh dulu dibawah pohon. Empat puluh
menit kemudian, sampailah kita di kawasan konservasi cagar alam Dolok Tinggi
Raja desa Tinggi Raja, kecamatan Silau Kahen kabupaten Simalungun Sumut,
dibawah pengawasan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut.
Motor legenda yang gue bawa
Neduh dulu di bawah pohon. Basah juga
ternyata
Menurut
kawan gue, Nazwa. Kawah tinggi raja ini mulai booming sejak 2012 lalu, dan Oktober 2013 makin booming setelah kunjungan Nazwa and team
(sumber: pengakuan Nazwa sendiri). Semenjak itu, mulai ramailah kawasan cagar
alam ini oleh kunjungan wisatawan lokal. Dan semenjak itu juga, parkiran liar,
serta gubuk-gubuk warung mulai bertumbuh di areal seluas 167 Ha ini, mengakibatkan
banyaknya sampah-sampah di sekitar kawasan yang tentunya mengganggu kelestarian
eksosistem di kawasan cagar alam yang ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Zelfbestuur Besluit ZB tanggal 18 April 1924 No.
24 ini. Bahasannya kenapa
jadi serius gini yak.
Rasa pegel
karena 3 jam berkendara masih tetep terasa. Setelah memarkirkan motor,
mengobrol sebentar dengan opung penjaga parkiran yang entah parkiran ini legal
atau tidak, kami mulai melewati jalan setapak menuju kawah putih. Bau belerang
mulai tercium, menyambut langkah-langkah pendek kami. Gerimis masih memayungi
kami, membuat jalanan berkapur ini sedikit licin. Eh lihat, bukit berkapur ini,
terlihat putih, seakan sedang melangkah di pebukitan bersalju? Agak lebay sih
memang. Tapi begitu ini kenyataannya. Sepatu karimor dan celana coklat gue pun
tertempeli debu putih-putih. Nice effect.
Parkiran di dalam cagar alam
Kayak di salju kan?
Setelah
berjalan kurang lebih 5 menit di perbukitan kapur tadi, mulai terlihat beberapa
warung tenda ‘ngeyel’ berdiri di beberapa spot bukit. Kenapa gue katakan
‘ngeyel’? karena setelah ngobrol sambil beli minum di salah satu warung,
beberapa minggu yang lalu semua gubuk warung disini telah dibongkar paksa oleh
tim BKSDA (sekitar 50 gubuk tenda-dan gue masih melihat bekas bongkarannya).
Gue pernah baca di Medanbisnisdaily.com dan analisadaily.com, bahwa lahan cagar
alam ini memang seharusnya bebas dari aktivitas wisata, apalagi adanya gubuk-gubuk
warung akan membuat kelestarian alam terganggu akibat banyaknya sampah yang
dihasilkan. Sesuai UU No 5/1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam, tidak diperbolehkan ada aktivitas-aktivitas yang
mengancam keberadaan kawasan konservasi.
Menuju kawasan kawah putih
Perbukitan kapur
Ipah dan anak-anaknya, eh salah. Dengan penjaga warung
Baiklah terlepas dari itu semua, sejenak
mari kita nikmati secret paradise nya
Sumatera Utara ini. Danau berbelerang yang memantulkan warna biru dongker di
airnya, dengan asap panas yang keluar dari aliran air di terasan kapur sisi
lain danau, menyelimuti pohon-pohon mati yang menghitam berdiri tegak di
pinggirannya, membuat mata kami terpenjara oleh suasana mistis yang mengagumkan
ini. Subhanalloh, walhamdulillahi Rabbil
‘alamin. Maha suci Engkau ya Rabb yang menciptakan alam yang tak
terbantahkan keindahannya ini. Kata si ibu penjaga warung, dulu waktu si ibu
kecil sering kesini, air danau ini bisa berubah-rubah warna menjadi pink,
hijau, biru, dll. Ya kah? Keren banget.
Ini lho danau atau kawah putih nya, keren kan? Gak kalah
sama yang di Bandung kan?
Teras kapur yang dialiri air panas
Biru nian airnya
Bareng squad
ini kita lagi ngapain sih?
Merenungi, kapan ya gue nikah? Foto 2013 lho ya ini.
Di atas kapur panas
Udah mateng belum telornya?
Jika ingin
melihat lebih dekat aliran air panas di teras berasap sisi lain danau, kita
harus kembali ke jalan pulang, dan berbelok ke kanan sebelum tanjakan pebukitan.
Pokoknya akan terlihat jalan setapak di antara pepohonan di sebelah kanan.
Dan onggokan
sampah adalah yang pertama gue lihat-oke kita abaikan ini. Aliran air panas di teras
ini membentuk taman mungil yang suka dibangun di belakang-belakang rumah. Kalau
saja tidak banyak suara manusia, mungkin suara gemericik air sambil ‘spa’ di
atas teras ini akan menenangkan pikiran. Ah ya, seharusnya memang cagar alam
ini tetap disembunyikan kAli yak biar gak rame. Lha kalau gak rame, gue gak
akan tau ada kawah putih di Sumut, jadi kumaha? Pemda setempat dan BKSDA harus
tegas dengan status cagar alam ini. kalau memang mau dijadikan cagar alam,
buatlah pos pemantauan disini, sehingga aktivitas para pencari secret paradise bisa termonitor sekaligus
terarahkan. Dan kalaupun ingin dijadikan tempat wisata yang tentunya Pemda setempat
akan bersorak karena akan ada pemasukan pulus baru, harus mulai bijak mengelola
kawasan. Seperti menyediakan sarana penampungan sampah, penataan warung-warung
(buat warung-warung berdiri agak jauh dari kawasan utama), penataan parkiran
dan sistem pengelolaan retribusi. Harus duduk bersama dulu semua pihak terkait
membicarakan ini semua, atau jangan-jangan sudah dilakukan? Lalu kabar
terakhirnya gimana? Itu udah setahun yang lalu tauk.
Ini nih yang bikin BKSDA kesel. Suampah
nya buanyak
Menurut
website nya dephut.go.id terdapat berbagai flora dan fauna yang berdiam di
kawasan ini. diantaranya: Meranti Bunga (Shorea
parvifolia), Kenari (Canarium) dan Malu Tua (Tristia sp) untuk jenis pohon,
sedangkan jenis perdu terdiri dari : Rotan (Calamus Manau) Anggrek
(Bulbophylum), Kantong Semar (Nephenthes sp) serta Pandan (Pandanus sp).
Potensi fauna tercatat lebih dari 45 jenis satwa liar, diantaranya yang sudah
dilindungi, seperti: Harimau Sumatera, Kancil, Kijang, Rusa, Kambing Hutan,
Siamang, Beruang dan lain-lain. Banyak juga yak, sayang banget kalau merea
terganggu akibat aktivitas wisata yang tidak terkendali, penebangan pohon juga
terlihat oleh warga untuk mendirikan gubuk yang pasti itu merusak ekosistem.
Dilema lagi deh jadinya.
Sebenarnya kata opung penjaga
parkiran motor, ada satu tempat keren yang harus dikunjungi tidak jauh dari
lokasi danau. Kabarnya dari parkiran, Sedikit berjalan ke arah kiri menapaki
hutan-hutan dan menuruni seratus anak tangga, kita dapat menjumpai bukit kapur
yang berwarna warni dan mengasilkan air terjun yang panas, yang di bawahnya
terdapat juga sungai bersih yang dijadikan pemandian karena airnya
hangat-hangat kuku. Ah sayang hujan semakin deras, dan hari sudah mulai sore. Harus
pulang cepat kita biar tidak kemalaman. Belum solat dzuhur ashar pun.
Neduh di warung warga. Berguna juga rupanya ini warung
Ini meja yang ada jajanannya kesenggol siapa gitu. Jatuh semua
deh.
Sekitar jam 5, kita beranjak
menggeber motor keluar dari kawasan untuk mencari masjid. Alamaakk, hujan makin
deras, ban motornya Ayu bocor pulak, hari sudah makin sore, ditambah pasti gak
ada masjid karena hampir 95 % warga sekitar dolok adalah beragama Kristen.
Sambil nunggu motor Ayu yang dibawa pelan-pelan, gue, Ifah, Ali, dan Ayu ngopi
dulu sejenak di sebuah warung milik warga bermarga purba, (kebanyakan dikampung
ini–ada 3 perkampungan, bermarga sibayung dan purba). Hari sudah semakin redup,
gue memutuskan untuk ijin solat di yang mpunya rumah. Pikiran takut ada bekas
babi di dalam rumah, mulai gue singkirkan. Dimana pun kita solat, yang penting
menghadap Allah lah. Beruntung si mpunya rumah meminjamkan tikarnya pada kami.
Semoga saja tempat ini suci yak.
Bang Yudi, dan yang lainnya solat di
tempat rumah yang bisa tambal ban. Rupanya mereka pun kondisi nya sama. Solat
di yang mpunya rumah. malah cerita si bang Yudi lebih gahar lagi. ada anjing di
dalam rumahnya. Lalu sambil terus hujan-hujanan, kita akhirnya sampai di secret
PII Sumut sekitar jam 8 malam. Lalu ke rumah bang Wanda, kawannya bang Aidi
untuk makan, mandi, dan istirahat. Karena yang tau rumah udah pada berangkat
duluan, si bang Yudi dan Ayu ketinggalan lagi. Ditelpon hapenya tidak aktif
pulak. Untung ada tukang warung yang berbaik hati minjemin hape, terus nelpon
ke hape nya sendiri yang ternyata gue yang bawa, errr. Oke bang kita jemput
dah.
Makasih banyak ya bang Aidi, bang Wanda,
Ayu, Ahaddin, Ali, Irvan udah nemenin kami bertiga jalan-jalan di hari terakhir
ke Medan ini. kagak cukup waktunya cuy, masih banyak destinasi keren yang
terlewat dikunjungi. Next time with my beloved wife lah. Bang Yudi dan Ifah
berangkat ke Bogor lagi, nyusul si bang ugie yang udah duluan kemaren pulang ke
Bogor. Sementar gue, beli tiket bis Medan jaya (uang tiketnya di kasih kakek
gue- pak Tumin, baik banget bapak ini, nanti diceritakan) dan dibelikan
oleh-oleh pulak sama bang Aidi plus diantarkan ke poll Medan jaya nya (mantap
bolu merantinya bang, baik banget juga bapak ini). gue pun berperjalanan dua
hari, yang rasanya cepet banget karena kerjaan gue cuma tidur doang di bis.
Nyampe di camp pun, badan pegel kabeh. Yowislah, sing penting sudah pernah
menjelajah di MEDAAAAAANNNNN. Makasih banyak Medaaaan. Daaaghhhhhhhhhhhhhhh.
Apa si.
Mess putra LAJ JAMBI 14 September
2014