Meskipun tidur beralas karpet di masjid, mungkin karena
capek kali yak seharian kemarin naik gunung, terus berkeliling di Alam lumbini,
nekad turun naik hampir 1000 anak tangga di Sipiso-piso, tetap terasa nyenyak
tidurnya. Dan Alhamdulillah nya, Alloh masih berkenan membangunkan gue sehingga
tidak kebablasan tidurnya. Masih bisa lah solat magrib sama isya sekalian
qiyamulail di sepertiga malam.
Saat mentari menyapa bumi dengan sinarnya, sebentar sekali
sebelum akhirnya mendung bergantung menutupi langit. Tapi itu tidak mengurangi
rasa kagum gue sama Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan danau yang
katanya terbesar seAsia tenggara ini. Air nya jernih, memantulkan wajah-wajah
penikmat pemandangan keren yang sedang berjejer di pinggiran danau. Jadi ini tho danau yang gue tau pertama kali saat
kelas 4 SD itu. Okeh kawan, mari kita abadikan momen bersejarah ini.
danau toba pagi-pagi, dari pangururan
entah ini bangunan apa
paling suka kalo difoto lagi kaya gini,
masjid al hasanah, mesjid kita nginap semalam.
Danau Toba, terletak di ketinggian 1995 mdpl dengan panjang
100 km dan lebar 30 km. Menurut tim peneliti dari Michigan Technological
university, yaitu Bill Rose dan Craig Chesner, menyampaikan bahwa sekitar
74.000 tahun lalu di daerah Sumatera utara ini terjadi letusan supervolcano
(gunung berapi super) yang memuntahkan ribuan kubik bebatuan dan abu vulcanik
hingga bekas letusannya membentuk kaldera atau lubang kawah menganga. Kaldera itu
kemudian terisi air dan menyisakan satu daratan tepat di tengahnya akibat
tekanan ke atas oleh magma. Kaldera berisi air itu adalah danau Toba, sedangkan
daratan di tengah danau disebut pulau Samosir. Diperkirakan, abu vulkanik yang
termuntahkan terbawa angin selama 2 minggu hingga sampai ke daratan Afrika bahkan
terekam sampai ke wilayah Kutub utara (http://blog-Samosir.blogspot.com/2011/08/sejarah-terbentuknya-Samosir.html)
Terlepas dari penelitian ilmiah
mengenai terbentuknya danau Toba dan pulau Samosir, berkembang juga cerita
rakyat mengenai danau kebanggaan orang Sumatera Utara ini. Berawal dari
laki-laki bernama Toba, yang menikahi perempuan jelmaan dari ikan. Mereka
melahirkan anak bernama Samosir. Sebelum menikah, si Toba bersumpah tidak akan
mencaci anak nya kelak dengan sebutan anak ikan. Lalu saat anaknya lahir,
karena Samosir sangat bandel, tak sengaja si Toba memaki Samosir dengan sebutan
anak ikan. Sang perempuan jelmaan ikan tadi marah dan memanggil hujan badai
petir hingga terisi lah perkampungan si Toba oleh air. lama kelamaan genangan
air terus meluas yang membentuk danau. Sementara Samosir berlindung disebuah
bukit. Dinamakan lah danau tersebut sebagai danau Toba, dan bukit tempat Samosir
berlindung ditengahnya dinamakan juga Samosir.
Berbicara mengenai danau Toba dan Samosir, erat kaitannya
dengan orang-orang batak. Ada juga penelitian menarik yang dilakukan oleh Dr
Bungaran Antonius simanjuntak, guru besar sosio-antropologi Unimed. Dalam
makalahnya ia mengatakan bahwa nenek moyang orang batak berasal dari ras
Mongolia, suku mansyuria (Manchuria) yang hidup di daerah utara Tibet. Sekitar
7000 tahun lalu, mereka diusir oleh kaum Barbar Tarta, hingga bermigrasi ke pegenungan
Tibet melalui Cina. Mereka kemudian turun ke utara Burma yang berbatasan dengan
Thailand, lalu berjalan ke Kamboja. Karena masih terus di kejar, perjalanan
dilanjutkan ke Indocina, Philiphina, lalu ke Sulawesi utara, atau Toraja. Dari
sini, mereka berlayar ke arah Lampung, dan akhirnya ke Pusuk buhit, danau Toba.
Lengkapnya bisa di lihat di http://m.kompasiana.com/post/read/550531/3/nenek-moyang-bangso-batak-dari-suku-mansyuria-manchuria
Jembatan Tano ponggol
Ba’da bermeditasi sejenak tadi di pinggiran danau Toba, kami
siap berpetualang di pulau Samosir ini, meski sekarang gerimis mulai turun. Di
sekitar masjid, kehidupan pagi warga pulau Samosir mulai menggeliat. Karena kecamatan
Pangururan adalah kotanya pulau Samosir, banyak Betor-betor berpenumpang orang
batak berlalu lalang di jalan-jalan. Gue perhatikan, kalau wajah orang batak
asli, sepertinya punya dasar cetakan yang sama. Mudah banget dikenali dan
hampir sama wajahnya. Lu juga kalau udah sering lihat wajah orang batak,
tiba-tiba saja bisa ahli menebak kalau dia itu orang batak, dimanapun mereka
berada. Karena sangat khas sekali wajah mereka. Bingung gue bagaimana cara
mendeskripsikan wajah mereka. Pokoknya gitu lah. haha
Baiklah, setelah sarapan nasi uduk (ada pula di Samosir nasi
uduk) tujuan pertama kita adalah jembatan Tano ponggol. Kesan pertama saat gue
berdiri di Jembatan yang dibangun secara kerja paksa ketika nenek-nenek kita
masih di jajah Belanda, sekitar tahun 1900, rasanya biasa aja. Nothing special. Hanya ada jembatan
beraspal sepanjang 20an meter dengan pagar besi bercat kuning dipinggirannya. Pun
tidak ada plang atau papan penunjuk yang bertuliskan bahwa ini adalah jembatan
bersejarah itu.
Tahukan kalian bahwa dahulu, pulau Samosir dan pulau Sumatera
masih menyambung. Dan oleh perintah ratu Willhelmina, digali lah tanah yang
menyambung kan kedua pulau tadi sepanjang 1,5 km dari ujung lokasi tahur sampai
sitanggang bau. Pada tahun 1913, diresmikanlah jembatan Tano ponggol oleh ratu Willhelmina.
Resmi pula pulau Samosir di talak tiga oleh pulau sumatera.
di jembatan tano ponggol
tunggu saya ibu, di kanal jembatan tano ponggol.
Dari jembatan Tano ponggol, kami melaju memasuki perbukitan
kapur di pulau Sumatera untuk melihat danau Toba dari ketinggian. Jadi
sebenarnya, untuk masuk ke pulau Samosir ada tiga jalur. Bisa melewati Parapat dan
menyeberang menggunakan kapal ferry besar dari dermaga Ajibata ke Tomok. Atau
juga dari Tigaras Parapat menggunakan kapal ferri kecil ke dermaga Simanindo. Tapi
kalau ndak mau menyeberangi danau Toba
menggunakan kapal ferry, bisa memutari danau Toba dari Parapat ke Sidikalang,
lalu ke Hariantoho dan menyebrangi jembatan Tano ponggol.
perbukitan kapur, ini fotonya lagi pada musuhan yak? jauh-jauh gitu
danau toba dan tambak ikan nelayan
perbukitan mirip di semeru dulu
Kemewahan makam batak
dan mata pencahariannya
Ada satu kekontrasan yang gue lihat dari sepanjang
berkendara dari Tano ponggol ke arah Simanindo. Yaitu kemewahan makam-makam
batak dan sawah yang terhampar di sekelilingnya. Biasanya, makam orang batak
dibuat ada yang berbentuk persegi panjang setinggi lebih dari 3 meter, dengan
salib besar berdiri diatasnya. Atau juga dibuat membentuk tugu menjulang lebih
dari 10 meter. Semakin mewah suatu makam, semakin bangga orang yang bermarga
sama dengan orang yang meninggal dalam makam tersebut. Karena biasanya orang
yang dibuatkan makam atau tugu tinggi-tinggi seperti itu, adalah orang yang
dikenal sukses dan berwatak baik.
Seperti tugu yang kami lihat di kanan jalan menuju Simanindo
milik keluarga bermarga Manihuruk. Orang yang dimakamkan disitu adalah letjen
(pur) Arsinius Elias Manihuruk. Ia adalah seorang batak rantau yang tinggal di
Jakarta dan terkenal bersosok pekerja keras tanpa pamrih, suka menolong dalam
batas kemampuannya dan menguasai bidang administrasi dan perencanaan strategi.
Meski meninggal di Jakarta, orang batak juga terkenal tidak pernah melupakan
kampung halaman. Argado bona ni pinasa,
betapa pentingnya kampung halaman. Orang sukses tidak pernah melupakan bona pasogit atau kampung halamannya.
makam batak
tugu plus makam AE Manihuruk
Makam Hutabolon di depan museum Simanindo
Kalau biasanya yang membangun makam atau tugu mewah adalah
batak rantau yang sukses, lalu bagaimana dengan batak yang tinggal di bona pasogit? Yang gue amati, rata-rata
di pulau Samosir ini adalah para petani mata pencaharian penduduknya. Seperti
di daerah lain, disini juga para pemudanya lebih tertarik merantau dan
memperbaiki nasib ke tanah orang daripada melanjutkan pekerjaan orang tua
sebagai petani.
Jadi memang, potensi pertanian, maupun wisata di pulau Samosir
ini belum terlalu maksimal di manfaatkan.
persawahan milik petani samosir
Contoh, kalau kalian lihat ada bukit
di sebelah kanan jalan dari Simanindo ke Tomok, ada satu air terjun tinggi yang
mengalir diantara tebing-tebing bukit itu. Nah, tepat dibelakang bukit itu, ada
perkampungan yang jarang terjamah dan belum ada listrik bernama desa Partungkoan
(tidak ada listrik adalah bukti belum ada perhatian pemerintah). Katanya Samosir
yang benar-benar Samosir ya di desa itulah. View
disana banyak yang keren-keren. Treknya jelas pasti susah dan harus jalan kaki.
Kapan ya gue bisa kesini?
diantara tebing perbukitan itu, ada air terjun dan belakangnya ada desa Partungkoan
Di sepanjang perjalanan juga, banyak rumah-rumah Bolon atau rumah adat orang batak Toba.
Kalau di Karo, ada namanya rumah batak Si
Waluh Jabu, yang artinya rumah untuk delapan keluarga. Gue perhatikan sih
atapnya mirip bagonjong rumah adat Minangkabau. Tapi kalau rumah adat Minangkabau,
di ujung bagonjongnya lebih runcing dan dipasangi besi. Sedangkan atap rumah Bolon lebih lebar.
Okelah, terlepas dari semua kekontrasan yang ada, mari kita
menikmati desir angin danau Toba di dermaga Simanindo. Kamera keluarkan cuy!
rumah bolon yang masih di huni warga, di sepanjang perjalanan banyak
kafal ferrry di dermaga Simanindo,
we are! di dermaga Simanindo
bang yudi sama Ahaddin lagi main loncat-loncatan
sarung men!
Boneka Sigale-gale
dan makam raja Sidabutar
50 meter sebelum masuk ke dermaga Simanindo, ada museum Hutabolon.
Terdapat di dusun Hutabolon kecamatan Simanindo. Katanya ada bermacam-macam
benda kuno, rumah adat batak bolon serta makam Hutabolon di areal musem ini.
Tapi sayangnya, kita tidak jadi masuk ke museum yang ini. Entah kemaren
alasannya apa, lupa. Jadi kemana kita selanjutnya? Ke objek wisata makam raja Sidabutar
di Tomok, sekitar 20 km dari Simanindo.
Terlebih dahulu, kita harus memasuki pusat souvenir di kiri
kanan jalan sebelum akhirnya masuk ke areal objek wisata makam Sidabutar Tomok.
Mau nyari oleh-oleh, tapi nanti ajalah pas pulangnya. Eh, si bang Ugie udah belanja
aja ngeborong pulpen murah dari bambu. Si abang ini memang doyan banget
belanja, apalagi kalau berbau souvenir, murah dan berdiskon. So pasti kaya anak
hilang dah keluyuran sendirian. Minta gue pulpennya satu bang. Deuh!
pusat souvenir di Tomok
Plang objek wisata Tomok
Makam, seharusnya berkonotasi dengan sesuatu yang
menyeramkan. Tapi makam disini kan beda sama makam dijawa sana. Gundukan Tanah
merah dengan nisan kayu menyembul diatasnya. Lha makam yang sudah berusia 200
tahun ini mah terbuat dari batu utuh tanpa persambungan yang kemudian di pahat
membentuk persegi panjang. Malah bikin gue pengen numpak di atas batunya. Hehe.
Oya Sidabutar, adalah orang pertama yang menginjakan pulau Samosir. Hemz!
Di areal ini juga ada 1 rumah Bolon beratap ijuk milik T. Sidabutar, dan 3 rumah bolon beratap
seng milik Drs Sidjabat. Baru tahu saya kalau yang mengelola objek budaya di Samosir
bukan lah Pemda, tapi keturunan keluarga marga yang menjadi warisan turun
temurun.
Di depan rumah bolon ijuk milik T. Sidabutar, terdapat satu
boneka dari kayu nangka berpakaian hitam lengkap dengan ikat kepala dan
selembar ulos terpasang di pundaknya. Saat gondang (gendang batak) bertabuh
mengalun dari kaset tape, saat itu pula si boneka bergerak sendiri menari
tor-tor. Terkenal lah nama boneka itu dengan sebutan boneka Sigale-gale atau
dalam bahasa batak berarti “silemas-lemas”.
rumah bolon
Ayu dan sigale-gale, semoga jadi keluarga Samara yak? eh
we are, di depan rumah bolon objek wisata Tomok
depan losung (lesung) bukan ini sih?
ujan boo! dipakein dulu jas ujannya yak sigale-galenya
Banyak cerita misits mengiringi boneka yang katanya sudah
350 tahun kisahnya berkembang di benak masyarakat ini. Sama kaya lama waktu
kita di jajah Belanda yak. Dulu, hidup raja bernama Si Raja Rahat, punya anak
tunggal bernama Si Raja Manggale. Ada yang bilang, Si Raja Manggale ikut
berperang bersama ayahnya dan tewas dibunuh musuh. Ada juga yang bilang Si Raja
Manggale tiba-tiba sakit keras hingga menyebabkan kematian. Si Raja Rahat sedih
akibat kematian anak semata wayangnya hingga menyebabkan sang raja jatuh sakit.
Untuk mengobati sang raja, dibuat lah satu boneka yang menyerupai wajah Si Raja
Manggale, terbuat dari kayu nangka dan ingul hutan. Dipanggil juga dukun yang
dapat memanggil arwah Si Raja Manggale dan memasukannya ke dalam boneka. Saat
gondang bertabuh, dengan mantra-mantra dan sesaji ritual yang dipimpin oleh
dukun tadi, tiba-tiba saja si boneka bergerak menari-nari sendiri. Sang raja
yang melihat senang bukan kepalang. Kesehatannya berangsur pulih. Lengkapnya
cek disini aja http://www.lenteratimur.com/teka-teki-sigale-gale/
Tapi sayangnya, kita tidak bisa melihat pertunjukan sang
boneka menari-nari. Selain hujan yang menderas, agak malas kami bayar 80 ribu
hanya untuk menonton boneka kayu bergerak sendiri, hemat, liat di youtube aja
dah. Hehe. Sip, time to hunting
souvenir. Gue Cuma beli baju kemeja kaos bertuliskan danau Toba seharga 35ribu,
yang lain entah beli apa aja.
nonstop belanja ya bang Ugie, mumpung masih di Samosir
Lagu Fatin, lagu
pengiring pulang, penyimpan kenangan
selalu kupikir bahwa
aku tegar
aku tak pernah
menyangka kan begini
dan saat engkau tak di
sisiku lagi
baru kurasakan arti
kehilangan
ingin kubicara, hasrat
mengungkapkan
masih pantaskah ku
bersamamu
tuk lalui hitam putih
hidup ini
saat engkau pergi, tak
kau bawa hati
dan tak ada lagi yang
tersisa …
dia … dia … dia … tlah
mencuri hatiku …
Dari awal kunci mobil dicolokin di kota Medan kemarin,
sampai sekarang di hari ketiga, lagu nya Fatin yang judulnya “dia dia dia”
selalu mengalir deras dari audionya mobil carteran kita. Kadang silih berganti
juga dengan yang judulnya “jangan kau bohong”. Saking seringnya gue denger itu
dua lagu, gue ampe hapal beberapa potongan liriknya. Gara-gara Ali sama Ahaddin
nih. Tapi yang jelas, saat gue kembali mendengar dua lagu itu, secara otomatis
rasa suasana bareng bocah-bocah dalam mobil langsung meledak memenuhi ruang
pikiran, bahkan bisa kembali dirasa oleh panca indra. Halah ini kenapa jadi Kangen
kalian.
Jam 1 siang, kapal ferry mulai menyebrangi danau Toba dari Tomok
ke Ajibata Parapat. Ditemani anak-anak yang demi uang seribuan rela
bertelanjang dan loncat ke danau dari dek kapal ferry, kami lalu melajukan
mobil ke arah Pematang siantar untuk pulang kembali ke kota Medan. Belum cukup
sebenarnya sehari menjelajahi pulau Samosir kalau mau sampai ke
pedalaman-pedalamannya. Tapi apa daya waktu membatasi. Mari kita pulang kawan.
sambil dengerin lagunya Fatin di dalam mobil.
suasana kapal ferry, lantai nya terbuat dari kayu, mungkin udah lama belum diganti, banyak bolong-bolongnya.
demi uang ribuan, loncaaat!
Nyampe di secret PII malem-malem. Lupa jam berapa nyampenya. Setelah solat, makan, istirahat, nyok kembali mencharge semangat dan tenaga untuk menjelajah kota Medan esok lusa. Masih ada 3 hari lagi jatah jalan-jalan gue.
Fiuuhh, mau tau wajah kota Medan yang sebenarnya kaya gimana? simak terus cerita perjalanannya yak kakaks.
Wassalam,
Mess putra LAJ JAMBI 12 Januari 2014
maaanntttaaaappppp bah....
BalasHapus