Laman

Senin, 13 Januari 2014

Day 3 in Medan: bertualang di Toba Samosir

Danau Toba dan Samosir
Meskipun tidur beralas karpet di masjid, mungkin karena capek kali yak seharian kemarin naik gunung, terus berkeliling di Alam lumbini, nekad turun naik hampir 1000 anak tangga di Sipiso-piso, tetap terasa nyenyak tidurnya. Dan Alhamdulillah nya, Alloh masih berkenan membangunkan gue sehingga tidak kebablasan tidurnya. Masih bisa lah solat magrib sama isya sekalian qiyamulail di sepertiga malam.

Saat mentari menyapa bumi dengan sinarnya, sebentar sekali sebelum akhirnya mendung bergantung menutupi langit. Tapi itu tidak mengurangi rasa kagum gue sama Sang Maha Pencipta yang telah menciptakan danau yang katanya terbesar seAsia tenggara ini. Air nya jernih, memantulkan wajah-wajah penikmat pemandangan keren yang sedang berjejer di pinggiran danau. Jadi ini tho danau yang gue tau pertama kali saat kelas 4 SD itu. Okeh kawan, mari kita abadikan momen bersejarah ini.

danau toba pagi-pagi, dari pangururan

entah ini bangunan apa

paling suka kalo difoto lagi kaya gini, 

masjid al hasanah, mesjid kita nginap semalam.

Danau Toba, terletak di ketinggian 1995 mdpl dengan panjang 100 km dan lebar 30 km. Menurut tim peneliti dari Michigan Technological university, yaitu Bill Rose dan Craig Chesner, menyampaikan bahwa sekitar 74.000 tahun lalu di daerah Sumatera utara ini terjadi letusan supervolcano (gunung berapi super) yang memuntahkan ribuan kubik bebatuan dan abu vulcanik hingga bekas letusannya membentuk kaldera atau lubang kawah menganga. Kaldera itu kemudian terisi air dan menyisakan satu daratan tepat di tengahnya akibat tekanan ke atas oleh magma. Kaldera berisi air itu adalah danau Toba, sedangkan daratan di tengah danau disebut pulau Samosir. Diperkirakan, abu vulkanik yang termuntahkan terbawa angin selama 2 minggu hingga sampai ke daratan Afrika bahkan terekam sampai ke wilayah Kutub utara (http://blog-Samosir.blogspot.com/2011/08/sejarah-terbentuknya-Samosir.html)

Terlepas dari penelitian ilmiah mengenai terbentuknya danau Toba dan pulau Samosir, berkembang juga cerita rakyat mengenai danau kebanggaan orang Sumatera Utara ini. Berawal dari laki-laki bernama Toba, yang menikahi perempuan jelmaan dari ikan. Mereka melahirkan anak bernama Samosir. Sebelum menikah, si Toba bersumpah tidak akan mencaci anak nya kelak dengan sebutan anak ikan. Lalu saat anaknya lahir, karena Samosir sangat bandel, tak sengaja si Toba memaki Samosir dengan sebutan anak ikan. Sang perempuan jelmaan ikan tadi marah dan memanggil hujan badai petir hingga terisi lah perkampungan si Toba oleh air. lama kelamaan genangan air terus meluas yang membentuk danau. Sementara Samosir berlindung disebuah bukit. Dinamakan lah danau tersebut sebagai danau Toba, dan bukit tempat Samosir berlindung ditengahnya dinamakan juga Samosir.

Berbicara mengenai danau Toba dan Samosir, erat kaitannya dengan orang-orang batak. Ada juga penelitian menarik yang dilakukan oleh Dr Bungaran Antonius simanjuntak, guru besar sosio-antropologi Unimed. Dalam makalahnya ia mengatakan bahwa nenek moyang orang batak berasal dari ras Mongolia, suku mansyuria (Manchuria) yang hidup di daerah utara Tibet. Sekitar 7000 tahun lalu, mereka diusir oleh kaum Barbar Tarta, hingga bermigrasi ke pegenungan Tibet melalui Cina. Mereka kemudian turun ke utara Burma yang berbatasan dengan Thailand, lalu berjalan ke Kamboja. Karena masih terus di kejar, perjalanan dilanjutkan ke Indocina, Philiphina, lalu ke Sulawesi utara, atau Toraja. Dari sini, mereka berlayar ke arah Lampung, dan akhirnya ke Pusuk buhit, danau Toba. Lengkapnya bisa di lihat di http://m.kompasiana.com/post/read/550531/3/nenek-moyang-bangso-batak-dari-suku-mansyuria-manchuria

Jembatan Tano ponggol
Ba’da bermeditasi sejenak tadi di pinggiran danau Toba, kami siap berpetualang di pulau Samosir ini, meski sekarang gerimis mulai turun. Di sekitar masjid, kehidupan pagi warga pulau Samosir mulai menggeliat. Karena kecamatan Pangururan adalah kotanya pulau Samosir, banyak Betor-betor berpenumpang orang batak berlalu lalang di jalan-jalan. Gue perhatikan, kalau wajah orang batak asli, sepertinya punya dasar cetakan yang sama. Mudah banget dikenali dan hampir sama wajahnya. Lu juga kalau udah sering lihat wajah orang batak, tiba-tiba saja bisa ahli menebak kalau dia itu orang batak, dimanapun mereka berada. Karena sangat khas sekali wajah mereka. Bingung gue bagaimana cara mendeskripsikan wajah mereka. Pokoknya gitu lah. haha

Baiklah, setelah sarapan nasi uduk (ada pula di Samosir nasi uduk) tujuan pertama kita adalah jembatan Tano ponggol. Kesan pertama saat gue berdiri di Jembatan yang dibangun secara kerja paksa ketika nenek-nenek kita masih di jajah Belanda, sekitar tahun 1900, rasanya biasa aja. Nothing special. Hanya ada jembatan beraspal sepanjang 20an meter dengan pagar besi bercat kuning dipinggirannya. Pun tidak ada plang atau papan penunjuk yang bertuliskan bahwa ini adalah jembatan bersejarah itu.

Tahukan kalian bahwa dahulu, pulau Samosir dan pulau Sumatera masih menyambung. Dan oleh perintah ratu Willhelmina, digali lah tanah yang menyambung kan kedua pulau tadi sepanjang 1,5 km dari ujung lokasi tahur sampai sitanggang bau. Pada tahun 1913, diresmikanlah jembatan Tano ponggol oleh ratu Willhelmina. Resmi pula pulau Samosir di talak tiga oleh pulau sumatera.
di jembatan tano ponggol

tunggu saya ibu, di kanal jembatan tano ponggol. 

Dari jembatan Tano ponggol, kami melaju memasuki perbukitan kapur di pulau Sumatera untuk melihat danau Toba dari ketinggian. Jadi sebenarnya, untuk masuk ke pulau Samosir ada tiga jalur. Bisa melewati Parapat dan menyeberang menggunakan kapal ferry besar dari dermaga Ajibata ke Tomok. Atau juga dari Tigaras Parapat menggunakan kapal ferri kecil ke dermaga Simanindo. Tapi kalau ndak mau menyeberangi danau Toba menggunakan kapal ferry, bisa memutari danau Toba dari Parapat ke Sidikalang, lalu ke Hariantoho dan menyebrangi jembatan Tano ponggol.

perbukitan kapur, ini fotonya lagi pada musuhan yak? jauh-jauh gitu

danau toba dan tambak ikan nelayan

perbukitan mirip di semeru dulu

Kemewahan makam batak dan mata pencahariannya
Ada satu kekontrasan yang gue lihat dari sepanjang berkendara dari Tano ponggol ke arah Simanindo. Yaitu kemewahan makam-makam batak dan sawah yang terhampar di sekelilingnya. Biasanya, makam orang batak dibuat ada yang berbentuk persegi panjang setinggi lebih dari 3 meter, dengan salib besar berdiri diatasnya. Atau juga dibuat membentuk tugu menjulang lebih dari 10 meter. Semakin mewah suatu makam, semakin bangga orang yang bermarga sama dengan orang yang meninggal dalam makam tersebut. Karena biasanya orang yang dibuatkan makam atau tugu tinggi-tinggi seperti itu, adalah orang yang dikenal sukses dan berwatak baik.

Seperti tugu yang kami lihat di kanan jalan menuju Simanindo milik keluarga bermarga Manihuruk. Orang yang dimakamkan disitu adalah letjen (pur) Arsinius Elias Manihuruk. Ia adalah seorang batak rantau yang tinggal di Jakarta dan terkenal bersosok pekerja keras tanpa pamrih, suka menolong dalam batas kemampuannya dan menguasai bidang administrasi dan perencanaan strategi. Meski meninggal di Jakarta, orang batak juga terkenal tidak pernah melupakan kampung halaman. Argado bona ni pinasa, betapa pentingnya kampung halaman. Orang sukses tidak pernah melupakan bona pasogit atau kampung halamannya.
makam batak

tugu plus makam AE Manihuruk

Makam Hutabolon di depan museum Simanindo

Kalau biasanya yang membangun makam atau tugu mewah adalah batak rantau yang sukses, lalu bagaimana dengan batak yang tinggal di bona pasogit? Yang gue amati, rata-rata di pulau Samosir ini adalah para petani mata pencaharian penduduknya. Seperti di daerah lain, disini juga para pemudanya lebih tertarik merantau dan memperbaiki nasib ke tanah orang daripada melanjutkan pekerjaan orang tua sebagai petani.
Jadi memang, potensi pertanian, maupun wisata di pulau Samosir ini belum terlalu maksimal di manfaatkan. 

persawahan milik petani samosir

Contoh, kalau kalian lihat ada bukit di sebelah kanan jalan dari Simanindo ke Tomok, ada satu air terjun tinggi yang mengalir diantara tebing-tebing bukit itu. Nah, tepat dibelakang bukit itu, ada perkampungan yang jarang terjamah dan belum ada listrik bernama desa Partungkoan (tidak ada listrik adalah bukti belum ada perhatian pemerintah). Katanya Samosir yang benar-benar Samosir ya di desa itulah. View disana banyak yang keren-keren. Treknya jelas pasti susah dan harus jalan kaki. Kapan ya gue bisa kesini?

diantara tebing perbukitan itu, ada air terjun dan belakangnya ada desa Partungkoan

Di sepanjang perjalanan juga, banyak rumah-rumah Bolon atau rumah adat orang batak Toba. Kalau di Karo, ada namanya rumah batak Si Waluh Jabu, yang artinya rumah untuk delapan keluarga. Gue perhatikan sih atapnya mirip bagonjong rumah adat Minangkabau. Tapi kalau rumah adat Minangkabau, di ujung bagonjongnya lebih runcing dan dipasangi besi. Sedangkan atap rumah Bolon lebih lebar.  

Okelah, terlepas dari semua kekontrasan yang ada, mari kita menikmati desir angin danau Toba di dermaga Simanindo. Kamera keluarkan cuy!

rumah bolon yang masih di huni warga, di sepanjang perjalanan banyak


kafal ferrry di dermaga Simanindo,

we are! di dermaga Simanindo

bang yudi sama Ahaddin lagi main loncat-loncatan

sarung men!

Boneka Sigale-gale dan makam raja Sidabutar
50 meter sebelum masuk ke dermaga Simanindo, ada museum Hutabolon. Terdapat di dusun Hutabolon kecamatan Simanindo. Katanya ada bermacam-macam benda kuno, rumah adat batak bolon serta makam Hutabolon di areal musem ini. Tapi sayangnya, kita tidak jadi masuk ke museum yang ini. Entah kemaren alasannya apa, lupa. Jadi kemana kita selanjutnya? Ke objek wisata makam raja Sidabutar di Tomok, sekitar 20 km dari Simanindo.

Terlebih dahulu, kita harus memasuki pusat souvenir di kiri kanan jalan sebelum akhirnya masuk ke areal objek wisata makam Sidabutar Tomok. Mau nyari oleh-oleh, tapi nanti ajalah pas pulangnya. Eh, si bang Ugie udah belanja aja ngeborong pulpen murah dari bambu. Si abang ini memang doyan banget belanja, apalagi kalau berbau souvenir, murah dan berdiskon. So pasti kaya anak hilang dah keluyuran sendirian. Minta gue pulpennya satu bang. Deuh!

pusat souvenir di Tomok

Plang objek wisata Tomok

Makam, seharusnya berkonotasi dengan sesuatu yang menyeramkan. Tapi makam disini kan beda sama makam dijawa sana. Gundukan Tanah merah dengan nisan kayu menyembul diatasnya. Lha makam yang sudah berusia 200 tahun ini mah terbuat dari batu utuh tanpa persambungan yang kemudian di pahat membentuk persegi panjang. Malah bikin gue pengen numpak di atas batunya. Hehe. Oya Sidabutar, adalah orang pertama yang menginjakan pulau Samosir. Hemz!

Di areal ini juga ada 1 rumah Bolon beratap ijuk milik T. Sidabutar, dan 3 rumah bolon beratap seng milik Drs Sidjabat. Baru tahu saya kalau yang mengelola objek budaya di Samosir bukan lah Pemda, tapi keturunan keluarga marga yang menjadi warisan turun temurun.

Di depan rumah bolon ijuk milik T. Sidabutar, terdapat satu boneka dari kayu nangka berpakaian hitam lengkap dengan ikat kepala dan selembar ulos terpasang di pundaknya. Saat gondang (gendang batak) bertabuh mengalun dari kaset tape, saat itu pula si boneka bergerak sendiri menari tor-tor. Terkenal lah nama boneka itu dengan sebutan boneka Sigale-gale atau dalam bahasa batak berarti “silemas-lemas”.

 rumah bolon

Ayu dan sigale-gale, semoga jadi keluarga Samara yak? eh

 we are, di depan rumah bolon objek wisata Tomok

depan losung (lesung) bukan ini sih?

ujan boo! dipakein dulu jas ujannya yak sigale-galenya

Banyak cerita misits mengiringi boneka yang katanya sudah 350 tahun kisahnya berkembang di benak masyarakat ini. Sama kaya lama waktu kita di jajah Belanda yak. Dulu, hidup raja bernama Si Raja Rahat, punya anak tunggal bernama Si Raja Manggale. Ada yang bilang, Si Raja Manggale ikut berperang bersama ayahnya dan tewas dibunuh musuh. Ada juga yang bilang Si Raja Manggale tiba-tiba sakit keras hingga menyebabkan kematian. Si Raja Rahat sedih akibat kematian anak semata wayangnya hingga menyebabkan sang raja jatuh sakit. 

Untuk mengobati sang raja, dibuat lah satu boneka yang menyerupai wajah Si Raja Manggale, terbuat dari kayu nangka dan ingul hutan. Dipanggil juga dukun yang dapat memanggil arwah Si Raja Manggale dan memasukannya ke dalam boneka. Saat gondang bertabuh, dengan mantra-mantra dan sesaji ritual yang dipimpin oleh dukun tadi, tiba-tiba saja si boneka bergerak menari-nari sendiri. Sang raja yang melihat senang bukan kepalang. Kesehatannya berangsur pulih. Lengkapnya cek disini aja http://www.lenteratimur.com/teka-teki-sigale-gale/

Tapi sayangnya, kita tidak bisa melihat pertunjukan sang boneka menari-nari. Selain hujan yang menderas, agak malas kami bayar 80 ribu hanya untuk menonton boneka kayu bergerak sendiri, hemat, liat di youtube aja dah. Hehe. Sip, time to hunting souvenir. Gue Cuma beli baju kemeja kaos bertuliskan danau Toba seharga 35ribu, yang lain entah beli apa aja.

nonstop belanja ya bang Ugie, mumpung masih di Samosir

Lagu Fatin, lagu pengiring pulang, penyimpan kenangan
selalu kupikir bahwa aku tegar
aku tak pernah menyangka kan begini
dan saat engkau tak di sisiku lagi
baru kurasakan arti kehilangan

ingin kubicara, hasrat mengungkapkan
masih pantaskah ku bersamamu
tuk lalui hitam putih hidup ini

saat engkau pergi, tak kau bawa hati
dan tak ada lagi yang tersisa …
dia … dia … dia … tlah mencuri hatiku …

Dari awal kunci mobil dicolokin di kota Medan kemarin, sampai sekarang di hari ketiga, lagu nya Fatin yang judulnya “dia dia dia” selalu mengalir deras dari audionya mobil carteran kita. Kadang silih berganti juga dengan yang judulnya “jangan kau bohong”. Saking seringnya gue denger itu dua lagu, gue ampe hapal beberapa potongan liriknya. Gara-gara Ali sama Ahaddin nih. Tapi yang jelas, saat gue kembali mendengar dua lagu itu, secara otomatis rasa suasana bareng bocah-bocah dalam mobil langsung meledak memenuhi ruang pikiran, bahkan bisa kembali dirasa oleh panca indra. Halah ini kenapa jadi Kangen kalian.

Jam 1 siang, kapal ferry mulai menyebrangi danau Toba dari Tomok ke Ajibata Parapat. Ditemani anak-anak yang demi uang seribuan rela bertelanjang dan loncat ke danau dari dek kapal ferry, kami lalu melajukan mobil ke arah Pematang siantar untuk pulang kembali ke kota Medan. Belum cukup sebenarnya sehari menjelajahi pulau Samosir kalau mau sampai ke pedalaman-pedalamannya. Tapi apa daya waktu membatasi. Mari kita pulang kawan.

sambil dengerin lagunya Fatin di dalam mobil.

suasana kapal ferry, lantai nya terbuat dari kayu, mungkin udah lama belum diganti, banyak bolong-bolongnya.

demi uang ribuan, loncaaat!

Nyampe di secret PII malem-malem. Lupa jam berapa nyampenya. Setelah solat, makan, istirahat, nyok kembali mencharge semangat dan tenaga untuk menjelajah kota Medan esok lusa. Masih ada 3 hari lagi jatah jalan-jalan gue.

Fiuuhh, mau tau wajah kota Medan yang sebenarnya kaya gimana? simak terus cerita perjalanannya yak kakaks.
Wassalam,

Mess putra LAJ JAMBI 12 Januari 2014

1 komentar: