Tanggal 4-11 Desember 2013 adalah jadwal libur dua bulanan
gue. Sesuai rencana, gue mau menjelajah kota Medan dan sekitarnya bareng 3
kawan dari Bogor. Tapi pesawat gue terbangnya dari Padang, boleh lah gue
bersilaturahmi dulu ke kota yang kaya wisata alam dan kulinernya ini. Dan pas
benjet (baca: banget) kawan dari sini mau ngetrek ke Padang pake RX king.
Mantabh!
Sebut saja namanya pak Budi. Duda yang selain jago berantem
(juara karate nasional lho) juga jago masak. Perpaduan yang aneh. Milik bapak
ini lah RX king yang akan kita bawa ke Padang, sekaligus membuang label duda nya
bapak itu di Padang juga.
Sebelum berangkat, menyempatkan lah dulu kami berkunjung ke
ibu angkatnya pak Budi yang kedua di Pulau temiang, Tebo, Jambi. Bapak ini
memang ibunya punya tiga bro. Atu di Lampung, atu lagi di Makassar. Kereenn.
Dan ibu kedua nya ini, pintar juga masak bro. Apalagi tempoyak nya itu,
maknyuss dah. Dan selayaknya seorang tamu, pujilah masakan si mpunya rumah
secara langsung. Senyum-senyum kegeeran dah sang ibu (catet nih etika makan di
rumah orang)
Jam 10 pagi, baru kami berangkat ngeRX king menuju Batusangkar
Padang. Rumah calon istri pak Budi disono soalnya. Ternyata perkiraan gue
bener. Ini RX king borosnya minta ampun. Sebentar-sebentar minta isi ulang.
Sekali isi bisa 7 ampe 8 liter. Busyyettt dah. Tapi yang penting happy men,
pertama kali gue ke Padang men, cihuyy men, Padang ternyata panas men.
Nyampe lah kami di sijunjung Padang. Jarum speedometer RX
king nya pak Budi gak bisa lagi dah bersua di angka 110. Nanjak berkelok-kelok eta jalannya. Tapi untungnya ada tukang
sate Padang. Nyate Padang dulu kita (apa hubungannya coba).
Setelah ngocol (ngobrol sambil nyocol) sama si pedagang yang
emang asli orang Pariaman, baru taulah gue kalo sate Padang itu ada dua jenis.
Ada sate Padang panjang, dan sate Padang pariaman. Bedanya, sate Padang panjang
memakai bumbu cabai merah keriting dan kunyit tua, sehingga kuah yang
dihasilkan berwarna kuning. Selain itu, kuah sate Padang panjang sangat kuat
rasa rempah-rempahnya. Sedangkan sate Padang pariaman, yaitu sate yang kita
makan sekarang, memakai bumbu lada sebagai rempah yang paling dominan, sehingga
membuat kuah berwarna merah. Dan berbicara mengenai rasa, pedes, pasti kuahnya.
Daging sapinya pun lembut. Pas lah buat isi tenaga. Murah pula. 18 ribu udah
dapet satu porsi sate Padang pariaman, teh manis anget sama kerupuk dua.
Perjalanan pun dilanjutkan, tapi eh tapi kite lupe mulut
belum di kasi pencuci. Karena sabun gosok abis, eh ada warga yang jual durian.
“penumpang melapor kepada supir RX king, ganti!”
“ya penumpang, ada apa? Ganti!”
“tolong pak, itu di arah jam 11 diharapkan berhenti sejenak,
untuk mencuci mulut, ganti!”
“86 pak”, (sssttttt,
jangan kasih tau sapah sapah ea, 86 adalah kode “oke” di perusahaan kami,
pokoknyah ssstttt)
Murah tenan iki
durian ne le, Cuma 15 rebu bisa dapet
durian segede kepala Ivan gunawan lho. Yang kecil segeda batok kelapa, 5
ribuan. Dan weleh-weleh, tebel nian dagingnya. Manis pulak. Durian yang jatuh
dari kebun warga kaya gini memang ajib dah. Mari kita lanjutkan perjalanan.
RX king dan tugu perbatasan jambi-padang
sate pariaman
makan durian kita
Kayaknya, pemandangan di Sijunjung kalau boleh gue bilang. Macam
di gambar-gambar yang sering gue bikin waktu di alam Rahim dah. Banyak
perbukitan, yang mengapit sawah-sawah di tengahnya. Plus aliran sungai, jalan
aspal, petani lagi nandur. Subhanalloh dah. Terus nanti bakal ada pertigaan.
Kalau belok kiri, ke arah Batusangkar, lurus ke arah Padang kota. Dan kemana
kita? Woi Dora, peta gue balikin. Okeh, belok kiri kita pak Budi.
Nyampelah kami di hotel Pagaruyung Batusangkar jam 16.30.
Cuma itu hotel termurah yang kami tahu di Batusangkar. Bayar 110ribu untuk
kelas dibawah menengah. Kamar mandi di dalam, dua dipan dan satu meja rias. Mayaann. Di bagi dua, Cuma 55rebuan kan
yak. Mandi, solat, terus ngecengin si uni
resepsionis. Eh salah. Masang kembali tulang-tulang yang pada lepas gara-gara
ngeRX king seharian.
Saat magrib, Kami pun solat di masjid depan hotel, lalu
berkeliling Batusangkar untuk nyari makan. Dan apa coba yang kami makan? Nasi
uduk. Koplak, jauh-jauh ke Padang makannya nasi uduk. Wong Jowo pulak si
mas-masnya. Halah. Merasa terkecewakan, gue beli aja martabak kubang dan roti
cane. Tau gak lu apaan itu?
Okeh karena maksa, gue jelasin dah. Cek aja deh
disini http://rheezid.tumblr.com/post/25625991382/martabak-kubang-dulu-kini-dan-mungkin-bila-nanti hahha,
cape nulis lagi mah.
Intinya,
martabak kubang itu mirip martabak telur. Hanya bedanya entah gue gak tau
bedanya, haha. Dan roti cane itu, adalah roti hambar yang dikasi keju atau
coklat atau susu. Udah. Tapi enak ko. Gue jadi ingat kawan seKaKaPe gue dah pas
di Banyuresmi Garut dulu. Junda namanya, dia bela-belain bikinin kita roti cane
lho. Makasi junda. Dimana lu sekarang yak, sehat? Halah.
hotel pagaruyung
tebing dari jendela kamar hotel
roti cane
martabak kubang
Pagi-pagi,
destinasi paling yahut yang ada di Batusangkar yang wajib bin kudu dikunjungi
adalah Istano Basa Pagaruyung. Tapi karena bukanya jam 9-10. Maka kami pun
kongkow dulu di warung sony yang berada tepat di depan istano. Warkop yang semalam
itu lho.
Dari
warung inilah gue kenal dengan makanan khas Padang yang biasa di panggil salalauak. Atau salai ikan. Bentuknya bulat
segede telur puyuh dengan kulit luar agak krispi dan didalamnya berisi ikan
peda atau orang sini bilang maco kukai
yang dihaluskan. Rasanya ya renyah gurih ikan lah. Belinya 5ribu sakambuik, atau segenggam tangan besar.
Pas gue hitung sih ada 20an. Cucok lah
dimakan bareng lontong sayur.
salalauak
salalauak with lontong sayur
sawah di batusangkar
jalan batusangkar
Rumah gadang
Di Batusangkar, juga masih banyak rumah gadang. Tapi rumah
gadang jaman sekarang, sudah terbuat dari tembok. Itupun diperuntukkan bagi kepentingan
wisata. Sedangkan, rumah gadang yang sudah berumur puluhan hingga ratusan
tahun, rata-rata sudah termakan usia dan malah ada yang dibiarkan rapuh tidak
berpenghuni. Rumah gadang yang sudah rusak, tidak diperbaiki Karena telalu
mahal biaya perbaikannya, bisa mencapai 1 milyar. Apalagi kalau hendak
membangun rumah gadang baru, sulit mencari kayu. Sayang banget karena
keterbatasan waktu, gue belum bisa grasak grusuk ke nagari-nagarinya
(Desa-desanya).
Seperti kita tahu, rumah gadang atau rumah godang, adalah
rumah tradisional suku Minangkabau. Orang sini juga sering bilang rumah
bagonjong. Dan menurut tanya-tanya sama warga sekitar (baca mertuanya pak Budi)
rumah gadang itu rumah adat bagi perempuan (paham matrilineal atau garis
keturunan ibu). Maksudnya, anak laki-laki diharuskan tinggal di surau atau
masjid untuk mengaji dan mandiri. Baru setelah dewasa mereka diwajibkan untuk
merantau ke tanah orang. Laki-laki dianggap tidak berguna kalau tidak merantau
dan belajar di tanah orang. Pantas, banyak warung Padang dimana-mana, eh orang Padang.
Di samping rumah gadang, biasanya juga terdapat rangkiang atau lumbung padi. Mirip leuit di Baduy. Hanya kalau di baduy, di kaki lumbung padinya ada
semacam kayu melingkar yang berfungsi mencegah tikus naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar