Seharusnya aku senang menjadi seorang ayah,
seperti keluarga lain, saat pagi menyapa, sang bayi menangis minta diganti popoknya,
sekedar minta diberi air susu, atau minta digendong ayahnya ketika ibunya sibuk
memasak. Siang menjelang ia ditelepon ibunya, mendengar celoteh “ba, bi, bu”
dari sang bayi, sejenak melupakan kesibukan pekerjaan. Sore menjemput ia pulang
dengan wajah penuh kerinduan pada keluarga, saat pulang disambut teriakan kecil istrinya,
“hoyee, ayah sudah pulang” sambil menggerak-gerakkan lengan sang bayi. Malam
pun berisi canda tawa, tangisan bayi
atau apapun yang menyenangkan yang dialami keluarga baru.
Namun tidak dengan ku, saat pagi datang, aku yang pertama bangun, mana
istriku?, masih terlelap dengan selimut tebalnya, aku juga yang pagi-pagi
mengganti popok dan memasak juga membuat air susu dalam botol. Aku berangkat
kerja, kalau aku boleh menyebut memulung adalah sebuah pekerjaan, ketika istriku sudah bangun. Tentunya
agar aku bisa tenang meninggalkan bayiku. Siang menjelang, mana ada telepon-telepon,
lha teleponnya saja tidak ada, jadi
tetap dengan kesibukan memulung hingga sore menjemput. Biasanya aku pulang
sebelum magrib daan tak ada celoteh sambutan atau tawa candaan dalam rumah kami.
Hanya ada seorang istri yang
menggerutu karena bersuamikan pemulung. Begitulah hidupku, biasa saja, sederhana, dan tidak banyak
kebahagiaan di sini, hanya bayi
kecilku satu-satunya sumber harapan aku bisa bersabar dengan istri sepertinya.
Pagi
ini seperti
biasa aku bangun pagi, pergi ke dapur untuk memasak air hangat juga menyiapkan air susu botol.
Begitu ingin memberikan air susu
botol, baru tersadar kalau tidak ada bayi di samping
istriku, kucoba
mencari-cari
ke bawah ranjang barangkali terjatuh, ke seluruh penjuru rumah barangkali
merangkak, oh iya dia belum bisa merangkak, pintu pun di kunci, jadi tak mungkin dia bisa keluar, perlahan kubangunkan istriku,
“bu,bu, Dede bayi mana?” tangan ku mencoba
mendorong perlahan tubuhnya, tidak
ada respon
“bu, bu, Dede bayi ke mana?” dorongan tangan
ku mulai kasar
“lu ganggu tidur gue aja, gue
sewain tadi subuh ke pengemis, udah gue
tidur dulu, nanti gue jelasin”istriku
menjawab dan langsung melanjutkan tidurnya.
Sebenarnya ingin sekali mengganggu tidur istriku
dengan segudang pertanyaan, tapi pengalaman dulu, saat aku pernah mencoba
mengganggu tidur istriku, bukan
mengganggu sebenarnya, hanya ingin mengingatkan untuk cek kandungan sebelum aku
berangkat memulung, ia mendadak marah dan memutuskan tidak
bicara selama seminggu lebih, hanya karena itu??, entahlah, setelah menikah,
tabiat buruk istriku mulai terlihat, di cerai? Oh aku masih butuh sedikit kasih
sayangnya untuk bayiku, mungkin ketika
bayiku sudah besar, akan aku pikirkan hal itu.
Akhirnya aku memutuskan tidak memulung hari
ini, bagaimana bisa di saat ketidakjelasan seperti ini, aku nyaman memulung, walau
aku tahu sebenarnya memulung itu tidak nyaman
“kemarin saat ke rumah tetangga, gue ditawarin sewa bayi” istriku memulai percakapan setelah bangun, mandi dan berias.
“tega banget sih bu, nyewain anak
sendiri”ucapku ketus
“lu
mau bahas ini lagi?, lu yang gak bisa
nafkahin gue dan bayi lu, setidaknya uang pemasukan gue bisa bertambah, lumayan 25 ribu perhari, dikembaliin sebelum magrib, kalau telat ngembaliin di denda 5ribu, lumayan kan”
“ibu gak nyadar ya?, bayi kita kepanasan,
mungkin juga kehujanan, kalau sakit
gimana?”
“udah lu
gak usah takut, bayi lu aman, dan sekarang
bisa berguna buat gue, pergi mulung
sana, AWAS KALAU GAK ADA SETORAN HARI INI!”matanya mendelik tajam sesaat
sebelum bergegas meninggalkan rumah, entah ke mana ia pergi dengan dandanan
menor seperti itu, aku juga tidak tahu. Setidaknya dicoba dulu sehari ini pikirku,
semoga tidak terjadi apa-apa dengan bayiku.
Tuhan ternyata berkehendak lain. Di malam ke
25 bayiku dikembalikan,oh iya aku mulai sering menghitung malam semenjak bayiku
disewakan, ia pulang dalam keadaan batuk-batuk kecil, dan yang membuat ku
ganjil adalah bayiku sering tertidur dan bahkan jarang menangis.
“lihat bu, bayi kita demam dan batuk-batuk nih
gara-gara ibu sewakan”tangan ku
meraba keningnya sesaat sebelum ku ambil
dari pengemis rutinan kami. Malam ini telat dua jam,
istriku sekejap sudah menyabet uang dari tanganku, ucapku tidak dianggap.
“ah, besok juga sembuh, sudah tidurin saja di kasur, gue mau pergi lagi”ia langsung berlari
membuka pintu dan melesat pergi entah ke mana lagi dengan dandanan masih menor.
Semalaman aku menggantungkan pikiranku di langit-langit
kamar, bukan karena istriku mulai sering keluar malam dengan dandanan menor,
itu aku tidak peduli, walaupun terkadang terbersit pikiran negatif juga. Ini
tentang bayi kecilku, aku saja yang sering kepanasan dan kehujanan, satu ketika
pasti sakit, bagaimana dengan seorang bayi. Ah besok aku coba bawa ke puskesmas.
Semoga tidak terjadi apa-apa dengan bayiku.
“Bayi bapak sepertinya sudah lama
batuk-batuknya, ini resepnya, sering kepanasan ya pak?, tanya bu dokter sambil
menyerahkan resep obat.
“iya sih bu, anak saya sering dibawa ibunya
jalan-jalan”jawabku berbohong.
“oya pak, Hanya memberi informasi, sekarang
kan lagi marak penyewaan bayi Di Jakarta, kemarin ada pasien bayi yang sama
gejalanya dengan anak bapak, tapi ia terlambat membawa bayinya ke puskesmas,ia terlalu
banyak di beri obat CMT, hingga ginjal dan hatinya rusak, seminggu kemudian
anaknya meninggal. Saya tahu kalo bayi bapak disewakan,”
“tidak disewakan ko bu, hanya kepanasan biasa,
lagian,,, dan,, obat CMT itu obat apa?” ragu-ragu ku potong kalimat bu dokter.
Tidak terima dengan pernyataan terakhirnya
“saya ini dokter pak, saya tahu mana bayi yang
kepanasan biasa, dengan bayi yang terlalu lama kepanasan,saya tahu bayi bapak
sering tertidur dan jarang menangis kan?, sebelum semuanya terlambat, hentikan
persewaannya pak, CMT adalah obat alergi yang bisa menyebabkan kantuk, kalau bayi bapak
terlalu sering mendapatkan obat ini, ginjal dan hatinya akan rusak, dan jika ia
mempunyai alergi, ia akan kebal terhadap obat ini.jadi pikirkan baik-baik”
“baik bu, terima kasih banyak infonya,akan
saya pikirkan”. Sepanjang
perjalanan pikiranku terus melayang memikirkan ucapan bu dokter. Baik, aku putuskan gak akan nyewain bayi ku lagi, masalah
istri gak setuju nanti dibicarakan dirumah.
Dan benar saja,
istriku tidak setuju,
“bodo amat dengan
ucapan dokter, tau apa dia dengan bayi, dia tuh cuma tau resep doang gak ngerti cara ngerawat bayi”
“bu, bu dokter jelas
bilang bayi kita sering diberi obat CMT, jadi bayi kita sering tidur dan jarang
nangis, jadi mohon pengertian ibu demi kebaikan bayi kita, nanti masalah tambahan
pemasukan, saya coba nyari kerja tambahan“
“bisa apa lu, sd aja gak lulus, nyesel gue kawin sama lu,”
“saya masih bisa jadi
kuli bangunan bu, atau jadi buruh sapu,”
“alah, emang gampang
nyari kerja gitu,lu gak bakal bisa,
udah, lu mulung aja,bayi tetep gue sewain”
“POKOKNYA BAYI SAYA
GAK BOLEH DISEWAIN LAGI BU, TITIK”
“LU BERANI NGEBENTAK GUE,
SINI BAYI LU, GUE YANG NGELAHIRIN, GUE
YANG SUSAH, GUE YANG HARUS NENTUIN MAU DIAPAIN NI BAYI”tangannya mulai mendekat hendak mengambil bayi di gendonganku,
“enggak bu, BAYI INI
BUKAN BAYI SEWAAN.!”refleks tanganku menepis dan tak sengaja mendorong nya
hingga terjatuh..
“BERANI LU YE,”tanggannya menjangkau pisau
dimeja.
Tanpa pikir panjang,
aku berlari keluar rumah, masih menggendong bayiku, aku tau dari belakang istriku
mengejar, tujuanku hanya satu, lari secepat yang aku bisa walau penerangan
malam di gang kami redup. Sempat ku dengar, istriku berteriak-teriak “PENCULIK
BAYI !” . Beberapa derap langkah juga teriakan masa sepertinya juga mulai
mengejar, jika sampai tertangkap, tamatlah riwayatku dan bayiku, aku yang pasti
babakbelur, dan bayiku pasti disewakan lagi,
Tidak, jangan sampai
tertangkap, tapi suara mereka semakin mendekat,mungkin berjarak 10 meter. aku
takut, sejenak aku berhenti dan melihat wajah bayiku, memastikan ia baik-baik
saja, tiba-tiba saja teringat, di ujung gang ada tempat sampah besar,mungkin
aku bisa bersembunyi disana,
“KEJAR, BAKAR,,”,
suara mereka semakin mendekat,
“tadi liat laki-laki
gendong bayi tidak mas, dia penculik bayi,” Tanya salah satu pengejar pada
pejalan kaki samping wadah sampah,
Owh tidak, bayi ku mulai
bergerak-gerak,aku ingat ia belum di beri susu malam ini, tuhan, jangan sampai
bayiku bangun dan menangis saat ini, aku gak mau ia disewakan lagi, tuhan pun
masih berbaik hari pada kami, bayi ku mulai tertidur lagi, atau mungkin obat
CMT nya terlalu kuat, hingga lapar pun ia terus tertidur.
Baiklah, sepertinya
kondisi diluar sudah aman, perlahan kubuka penutup tempat sampah kuning
kebanggaan ibu kota ini, setelah keluar, aku berjalan cepat menuju stasiun
pasar minggu, tujuan ku satu, ke bogor, berharap kenalanku dulu masih tinggal
disana, hanya ia harapan ku, semoga tuhan juga masih berbaik hati pada kami
hinga nanti sampai di Bogor. Manusia hanya bisa berharap dan berikhtiar seperti
kata ceramah yang sering kudengar saat khutbah jum’at.
Waktu menunjukan pukul
22.15. Aku akhirnya sampai di desa Galuga kecamatan Cibungbulang kabupaten Bogor,
di rumah kenalan ku. Rupanya mereka masih ingat dengan ku, bagaimana tidak, aku
sempat menyelamatkan mereka saat penjambretan uang pensiunan ayah nya di Jakarta
tempo hari. Dengan sambutan hangat dan ceritaku mengenai bayiku aku bisa
tinggal sementara di rumah mereka. Pekerjaanku tetap memulung, dan Jika bayiku tidak
bisa dititipkan pada istri kenalanku, maka bayiku tetap setia menemani dengan payung
anti kehujanan dan kepanasan tentunya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan
tatapan aneh orang-orang, seorang pemulung dengan bayi di gendongan dengan
tangan kiri membawa karung dan tangan kanan membawa payung. Yang penting bayiku
sudah bukan lagi bayi sewaan dan aku sudah tidak dan tidak peduli dengan
istriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar