Surat dari ibu.
“Asslamualaikumm,,”
“Ibu, ibu”
“waalaikum salam, ada apa Rifa,? Rifa sehat?”
“ibuuu, Rifa gak betah disini, Rifa ingin pulang, Rifa
kangen sama ibu”
“iya ibu juga kangen sama Rifa, tapi Rifa tidak boleh
pulang, kan Rifa mau jadi sarjana”
“Rifa gak mau jadi sarjana, Rifa mau ibu, Rifa takut
sekali disini, semuanya serba baru, Rifa sendirian disini,”tidak terasa air mata sudah menetes.
“Rifa gak sendiri, coba Rifa lihat ke
sekeliling, ibu percaya pasti banyak orang baik yang akan menjadi teman Rifa,
karena Rifa juga orang baik, Rifa hanya perlu tersenyum, dan cobalah untuk
berkenalan”
“Rifa takut tidak diterima bu, Rifa kan miskin, Rifa juga
tidak pinter”
“Kata siapa Rifa miskin, Rifa masih punya kekayaan hati
yang lebih penting daripada kekayaan harta. Rifa nelpon dari mana?“
“dari wartel bu,”
“kita nanti berkirim kabar lewat surat saja ya Rifa,
nelpon ke Belitung pasti mahal, dan juga gak enak ke pak Lurah kalo telponnya
sering kita pakai”
“Tapi bu, Rifa pulang saja ya, Rifa janji akan bekerja
keras disana, Rifa bisa jadi nelayan, Rifa bisa ja…”
“ssssttttt,, coba dulu satu semester, kalo nanti tetap
tidak betah, baru nanti kita pikirkan jalan keluarnya, sekarang ibu tidak punya
uang untuk ongkos Rifa pulang”
Seketika aku
ingat wajah peluh ibu saat pulang minjam uang dari tetangga..
“iya ibu, Rifa coba dulu deh satu semester,”
“ya udah, hemat uang bekalmu , banyak-banyaklah berteman
dengan orang baik. hanya satu pesan ibu, cita-cita Rifa adalah cita-cita ibu
juga, ibu akan selalu berdoa untuk Rifa agar selalu diberikan yang terbaik.
Mungkin dengan kuliah ini, bisa membuka jalan kesuksesan Rifa. Perbanyak
beribadah ya Rifa, jangan lupa sholat duha. wasslamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh”
“iya bu, terima kasih bu, wasslamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh”
Mahal sekali
nelpon ke Belitung, jatah makanku hilang sudah selama seminggu. Tapi tidak apa-apa,
demi mendengar suara ibuku, aku rela berhemat dan pasti bisa bertahan di kampus
ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan lagi perjuangan ibu mencari pinjaman
sana-sini demi kuliahku. Mulai detik ini, aku akan selalu jadi kebanggaan ibu,
akan ku raih gelar sarjana ku di kampus hijau ini dengan IPK sempurna. PASTI
BISA.
Dua minggu
sekali aku rutin mengirim surat ke ibuku di rumah, menceritakan semua hal yang
terjadi, menceritakan teman seasrama ku yang ternyata banyak yang anak orang
kaya, menceritakan tentang dosen matematika ku yang mudah sekali aku cerna
pelajaranya, walaupun kata teman sekelasku, dosen itu gak layak mengajar karena
tak pernah sekalipun melihat mahasiswanya. Konsentrasinya hanya pada papan
tulis saja. Aku juga pernah bercerita tentang gadis berkerudung biru yang
sedikit banyak mengganggu konsentrasi belajar ku, dan aku ingat, ibu minta
dikirimkan foto gadis itu disurat balasan ibu. Ah, malu sekali aku minta
fotonya, akhirnya aku kirim saja coretan lukisan tanganku di kertas saat
kuliah. Dan ibu bilang cantik, padahal teman-teman sekamarku bilang lebih mirip
mpok Ati daripada gadis berkerudung biru itu.
Surat-menyurat
dengan ibu menjadi kebiasaan yang menyenangkan selama tingkat satu di kampus
ini. Memasuki tingkat dua, kesibukan ku mulai meningkat karena sudah mulai
masuk ke jurusan. Laporan dan tugas lebih banyak lagi, mata kuliahnya bukan
lagi mata kuliah SMA seperti ditingkat satu. Daya hafal ku yang kuat membantu
sekali mendapatkan nilai dimata kuliah jurusan. Karena memang jurusan ini
banyak menuntut daya hafal yang tinggi. Harus menghafal nama serangga lah, nama
penyakit tanaman, nama hamanya juga hingga ke tingkat spesies. Akibat banyak
nya nama-nama yang harus dihafal, kadang suka lupa dengan nama teman sendiri.
Sepeti kata dosen, “satu nama serangga dihafal dan masuk kedalam otakmu, maka satu
nama temanmu hilang”. Percaya atau tidak, tapi kadang itu sering terjadi
Kesibukan ini
membuat jadwal surat-menyurat dengan ibu berubah menjadi sebulan sekali. Surat
dari ibu selalu menjadi penyemangat ketika lelah belajar. Aku bisa tahu kabar
terbaru dirumah seakan aku selalu berada disana. Ibu juga bisa tahu kabarku
seakan ibu ada disini. Aku semakin betah dengan kehidupan kampus ini. Aku sudah
bisa mandiri dan tidak berharap lagi pada uang kiriman dari rumah. Aku bisa
mengajar privat, aku bisa berjualan apa saja yang aku bisa. Semua hasil jerih
payahku terus kutabung demi membiayai perjalanan keluargaku nanti saat wisuda.
Siapa yang tidak ingin keluarganya datang saat detik-detik nama kita disebut
dengan IPK sempurna. Mereka pasti bangga sekali. Itu juga yang menguatkan ku
untuk tidak pulang saat musim libur tiba, uang pulang nya lebih baik aku
tabung. Bukannya tidak kangen dengan rumah, tapi aku hanya akan menjadi beban
jika pulang.
Ditingkat tiga
kampus ini surat untuk ibu lebih banyak bercerita mengenai kesibukan
diorganisasi, aku dipercaya menjadi kepala departemen organisasi mahasiswa di
tingkat fakultas. Bercerita mengenai Teman-teman baru, mengenai masalah baru,
juga mengenai gadis berkerudung biru itu. Ah, tetap saja ibu minta dikirimkan
fotonya. Dan aku tetap saja tidak berani meminta foto gadis itu. Sebagai
gantinya, aku ceritakan saja semua tentang gadis itu yang aku ketahui. Dan ibu
menjawab disurat balasannya, “kapan mau dilamar?,,”, dengan rona muka memerah,
aku jawab saja, insya Allah, nanti diumur 25 bu, doakan saja semoga namanya
yang tertulis dilauh mahfudz sebagai penyempurna imanku.
Ditingkat
empat, aku semakin percaya diri, bukan Rifa yang dulu penakut dengan hal yang
baru, bukan Rifa yang dulu sering menangis malam hari di bawah selimut. Kini Rifa
sudah punya banyak teman baik bu, teman yang seperti kata ibu, selalu
mengingatkan untuk berbuat baik, teman yang ada ketika susah dan senang. Di salah satu surat, aku pernah bercerita
mengenai dosen skripsiku yang juga sangat baik. Aku terbantu sekali melakukan
penelitian tingkat akhirku. Dan rupanya ibu mengirimkan oleh-oleh khas Belitung
disurat balasan ibu. Senang sekali dosen skripsiku menerima oleh-oleh ibu.
Ibu, kini
anakmu telah menyelesaikan kuliahnya. Ijinkah lah anakmu mendengar suaramu ibu,
ijinkanlah anakmu berjumpa dengan mu ibu. Maka di surat terkakhirku, ku kirim surat
beserta tiket pesawat untuk 4 orang, untuk ibu, untuk ayah, untuk kakak Devi,
dan untuk adikku Adji. Tak sabar sekali menunggu kedatangan kalian dikampus
hijau ini. Nanti akan ku ajak kalian ke taman safari, akan ku ajak makan di
restoran, jalan-jalan ke Dufan, ah, banyak sekali rencana yang ingin kulakukan
bersama ibu dan keluargaku.
“sudah sampai
mana?” pesan singkat yang ku kirim pada hape kakak Devi. Hape yang aku kirimkan
bersama surat dan tiket pesawat kemaren.
“bentar lagi
katanya sampai di Banarang siang?”,, pesan singkat masuk ke hape ku,aku
tersenyum sedikit membaca kata banarang siang, mungkin barangan siang
maksudnya.
Sip, dari jam 4
sore aku sudah berada di parkiran mobil damri di Baranang Siang. Sebentar lagi
aku bisa mendengar suara ibu, aku bisa memeluk dan melihat wajahnya. Seperti
apa wajah kakak Devi sekarang ya, dan pasti adikku Adji sudah tinggi sekarang.
Ayahku, ya, ia pasti semakin beruban seperti yang Ibu ceritakan
disurat-suratnya. Nah itu dia mereka.
Aku Kaget
melihat ibu tidak ada, sosok yang sangat aku rindukan selama 4 tahun, sosok
yang begitu memotivasi dengan kata-kata indah dari surat-suratnya,
“Ibu kemana?”tanyaku
pada ayah setelah saling berpelukan.
“ka Rifa, ibu
kan sudah ke surga duluan waktu dede kelas 3 sd ka Rifa lupa ya?” dengan
polosnya adik ku Adji berucap.
Kata-kata itu
menusuk sekali hingga terasa ke ubun-ubunku. Aku tatap mata ayahku meminta
penjelasan. Wajah kerasnya terlihat meluntur menahan tangis yang sebentar lagi
pecah. Ya, ayah ku ta kuasa menahan tangis dan memeluk ku erat, erat sekali.
“maaf kan
ayahmu ini yang baru bisa mengabari mu hari ini,Rifa, ibumu sudah meninggal
empat tahun lalu, sebulan setelah Rifa merantau ke Bogor,”
“Jadi, selama
ini?, surat yang sering aku terima, dari siapa?, kenapa baru sekarang aku
diberi tahu,?“
ingin sekali
berteriak sekencang-kencangnya, berlari sejauh-jauhnya, bahkan jika bisa ingin
terbang setinggi-tingginya, apapun akan aku lakukan untuk melupakan apa yang
baru saja ku dengar. Tapi otak rasional ku bilang, lihat keluargamu datang
jauh-jauh dari Belitung, bukan untuk kau tinggalkan,
Ayah memberi ku
sepucuk surat. Dari tulisannya, sama seperti tulisan dari surat yang sering aku
terima dari ibu. Kulayangkan pandang ke arah kakak devi, ia mengangguk memahami
isi pikiranku, ia yang menulis surat selama ini.
Untuk anak ku Rifa rusiva
di Bogor
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Duhai anak ku, apa kabar ? semoga selalu ada dalam
lindungan Allah Subhanahu Wa Taala. Kabar disini Alhamdulillah sehat semua,
terutama ibumu ini Rifa, sangat sehat sekali, seperti biasa pekerjaan ibu
sehari-hari ya menjahitkan baju untuk adikmu, mengajari kakakmu membuat
masakan, atau menemani ayahmu pergi ke ladang. Rifa bagaimana pekerjaan
sehari-harinya? Semoga selalu melakukan hal yang berguna ya Rifa. Terutama
berguna untuk orang lain. Ingat, apa yang dulu pernah Rifa katakan saat pulang
dari sekolah dulu?. Rifa pernah bilang, “ibu, ingin jadi manusia terbaik di
muka bumi gak bu?, mau Rifa ceritakan caranya gak bu?, baru dikasih tau sama
guru baru di sekolah lho bu”, kalau tidak salah ibu jawabnya, “mau sekali Rifa,
ayo ceritakan bagaimana caranya?” lalu Rifa dengan riang menjawab,,”kata guru
baru Rifa, caranya adalah dengan selalu menjadi orang yang bermanfaat bagi
orang lain”. Semenjak itu, ibu selalu memegang teguh apa yang Rifa ucapkan, ibu
harap Rifa juga memegang teguh kata-kata Rifa dulu itu ya,,
Mata ku tak
kuasa menahan tangis yang terus membuncah. Ingatan-ingatan waktu dulu seakan
berlarian menjumpai memori otak untuk segera dikenang.
Rifa, ibu sangat rindu sekali dengan Rifa, setiap selesai
solat, tak lupa ibu selalu mendoakan Rifa dan keluarga, semoga selalu diberikan
yang terbaik. Dan sepertinya waktu ibu sudah tidak banyak lagi Rifa, ingin
sekali ibu memeluk Rifa saat ini, masak sayur asem lagi untuk Rifa. Tapi,
penyakit ini menurut dokter semakin parah, maaf ibu dan keluarga tidak memberi
tahu perihal ini. Ibu tak mau Rifa mengkhawatirkan ibu, ibu takut Rifa malah
tidak mau kuliah lagi. Jadi ibu berpesan kepada kakak mu,jika ibu nanti sudah
tiada, selalu balas surat dari Rifa, ibu juga berpesan kepada ayahmu, untuk
memberikan surat ini kepada Rifa saat kuliah Rifa sudah selesai.
Rifa, doakan juga ibu dan keluarga disini ya, walaupun
mungkin nanti ibu sudah tiada, tapi ibu akan selalu ada di hati Rifa, jangan
salahkan ayahmu kalau nanti ternyata telat memberi tahu Rifa tentang ibu.
Jadikan selalu Ayahmu sebagai panutan. Hormati kakakmu, dan bimbinglah adikmu.
Selamat wisuda anak ku, selamat berbakti untuk keluarga dan bangsamu.
Wasslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,,
Yang selalu menyayangi mu,
ibumu
….
RIFA RUSIFA,
DARI KELUARGA BAPAK MANSYUR DAN IBU AMINAH, LULUS DENGAN IPK 4.00. PREDIKAT CUM
LAUDE………gemuruh tepuk tangan membahan di gedung Wisuda Kampus.
Ibu, anak mu
kini telah bergelar sarjana. Ibu selalu ada di hati Rifa. Dan Rifa selalu ada
di hati Rifa. Aku janji akan berbakti pada keluarga dan bangsaku. Seperti kata
ibu.
semangat berkarya ka :)
BalasHapusmakasih wahyu,,
BalasHapusawalnya masih ngerasa datar dengan alurnya... tapi jadi nangis juga pas baca surat ibu rifa :'(
BalasHapusok,nanti bkin cerpen lg yg gx datar,nanjaakk poko nya,
BalasHapus