Suatu ketika, saya beranikan untuk bertanya. Bapak dengan peci putih melingkar, dagu brewok, dan baju koko putih kusamnya menjawab dengan penuh santun, khas jawaban orang sunda periangan. Berbeda dengan orang Bogor sini yang memang logat sunda nya sedikit kasar dan mempunyai cengkok sendiri.
“iya dek, bapak sering solat di musola ini”begitu jawabnya saat saya tanya apakah sering solat disini?.
“adek juga sering solat disini kan?”ia menatap saya sambil berjalan keluar dari musola
“iya pak, bapak kenapa liatin saya sebelum dan setelah solat? Tanya saya tanpa menatap wajahnya
“saya pulang duluan ya dek, ada urusan di rumah”jawab bapak itu setelah beberapa detik tertegun menatap wajah saya.
“iya pak”
Lalu bapak itu yang entah siapa namanya karena tadi belum sempat kenalan bergegas pergi meninggalkan saya dan musola ini. “kenapa bapak itu tidak menjawab pertanyaan saya ya? malah tertegun gitu liatin saya, ya sudahlah, besok saat jamaah solat subuh saya tanya lagi” begitu pikirku
Akhirnya saya tahu nama bapak itu. Maman Suparman, khas nama orang sunda. Kadang seirng bingung juga, nama-nama orang sunda memang terkenal mempunya dialek yang wajib sama antara nama depan dan belakang. Seperti maman suparman, yana suryana dan nama sunda lainnya. Mungkin sebagai ciri khas atau memudahkan dalam memanggilnya. Pa Maman ini tinggal di rumah sederhana sebrang pemakaman kampung yang tak jauh dari musola. Orang-orang disini mengenal ia sebagai penjaga kuburan. Walau katanya ia sendiri yang mengajukan diri untuk jadi penjaga kuburan. Tidak ada uang pemasukan dari aparat desa untuk jasa bersih2 kuburan ini, apalagi THR. Hanya kedermawanan pengunjung kuburan saja yang berhasil membuat perutnya berhenti bergema. Itupun biasanya pengunjung hanya datang di hari jumat. Mending kalo pengunjungnya dermawan, kadang ada juga pengunjung yang bilang “saya gak nyuruh bapak untuk bersih-bersih kuburan”. Walau seperti itu, pa Maman tetap membersihkan kuburan di pemakaman ini. “sebenarnya bukan uang tujuan saya teh membersihkan kuburan inih, saya mah hanya ingin suasana kuburan menjadi rapi, kan kalo udah rapi mah, orang yang datang merasa nyaman dan tentrem, nanti jadi banyak orang berziarah dan mengingat mati.” Begitu ucapnya saat ada kesempatan mengobrol setelah solat berjamaah di musola.
Pa Maman juga mempunyai pekerjaan lain selain menjadi penjaga kuburan. Ia sering dimintai tolong untuk mengurusi jenazah dari memandikan, mengkafani, hingga menggali kuburan. Dulu ia pernah belajar di sebuah pesantren katanya, sehingga sedikit banyak tau mengenai ilmu tentang pengurusan jenazah. Dalam mengurus orang yang meninggal, banyak suka dukanya. Ia pasti antusias kalau sudah bercerita. “Kadang bapak ngerasa kasian kalo ngurus jenazah yang su’ul khotimah atau buruk akhir hidupnya. Matanya teu bisa ditutup sehingga terpaksa ditempelin ku selotif, atau pernah juga bapak ngurus jenazah yang kotoran dari tubuhnya teh terus-terusan keluar, terpaksa juga bapak jejali dengan kapas banyak-banyak hingga bau busuk menyengat, saat itu bapak benar-benar takut kalau nanti meninggal seperti ini sekaligus sedih dengan keluarga jenazah yang ditinggalkan. Tapi bapak juga kadang iri atau lebih tepatnya berharap saat mengurusi jenazah yang husnulkhotimah. Ia bagus diakhir hidupnya. Mukanya terlihat cerah kekuningan, baunya wangi, atau ada keringat yang seperti minyak wangi di dahinya.” Setelah selesai mengurusi jenazah bapak pasti memperbanyak ibadahnya, ia takut jika akhir hidupnya buruk, dan berharap dengan ibadahnya yang belum tentu ikhlas bisa mendapat kematian yang baik.
Saya pasti terenyuk mendengar cerita bapak. Ia selalu tepat waktu dalam solat, ia sering juga menanyakan,”kemaren solat subuh ko gak di musola”, telat bangun jawabku malu-malu. Ia juga sering berpesan, ada sembilan kemulian yang akan didapatkan orang yang selalu solat tepat waktu, yaitu dicintai Allah, badannya selalu sehat, keberadaannya selalu dijaga malaikat, rumahna diberkahi, Wajahna mencirikan jati diri orang shalih, hatina dilunakkan oleh Allah, dia akan menyeberang Shirath (jembatan di atas neraka) seperti kilat, dia akan diselamatkan Allah dari api neraka, dan Allah akan menempatkannya di surga kelak bertetangga dengan orang-orang yang tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula bersedih hati. Ceramah ini sering saya dengar, tapi baru dari bapak Maman ceramah ini menyerap kedalam hati. Mungkin ia mengatakannya dari hati dan ia juga sudah melakukan apa yang ia katakan.
Pernah saya berkunjung ke rumah pa Maman suatu waktu. Rumahnya sederhana, bilik bambu dengan halaman pertanaman sayuran. Di dalamnya tidak terlalu luas, hanya ada ruang tamu dengan kursi meja kayu, 2 kamar tidur dan dapur, kamar mandi terpisah diluar rumah. Lantai pun beralaskan ubin, namun kesemuanya tertata rapi dan membuat siapapun yang datang akan merasa nyaman. Oya, pa suparman memiliki istri bernama ibu Sutirah, pertama kali bertemu dengan ibu ini saat ia membawakan nampan berisi air minum. Terlihat wajah keibuan dengan gurat-gurat wajah yang timbul disana sini. Tangannya kasar terasa saat saya berjabat tangan, mungkin ia adalah kuli panen. Setelah bapak bercerita tahulah saya bahwa istrinya sangat berbakti padanya. Ia menemani hidupnya dikala suka maupun duka, satu tips yang ia berikan pada saya supaya kehidupan rumah tangga langgeng adalah jangan pernah selingkuh, gerai tawa menyela disetiap obrolan. Hingga mata saya tertuju pada lukisan kaligrafi yang terpampang di dinding ruang tamu.
“bapak yang buat kaligrafi itu pak?” tanya saya penasaran
“ya iseng-iseng waktu dulu ada uang untuk beli cat.”jawabnya dengan akrab
“bagus ini pak, ko tidak mulai bisnis buat kaligrafi aja pak”
“modal dari mana dek, ini aja bikin kaligrafi katanya supaya rumah aman dari gangguan jin, jadi bapak maksain buat untuk di rumah, terus juga bapak gak sempat jual-jual, kan bapak jadi penjaga kuburan”
“gimana kalo kaligrafi ini saya coba tawarkan ke kenalan saya pak, kan lumayan buat modal, kalo yang jualin baru nanti nyari pekerja, Indonesia kan banyak pengangguran pak, hehe”
“yasudah, terserah adek saja, bapak mah teu ngarti jualan,”
“saya ambil fotonya dulu ya pak”
Alhamdulillah, mungkin jalan ini bisa membantu bapak pikir saya. Satu hal yang masih membuat saya penasaran, mengenai tatapan mata pa Maman sebelum dan setelah solat, serta mengapa ia tak berani bercerita. Akhirnya saya coba beranikan bertanya mengenai bapak tentu pada istrinya,dan di saat bapak tidak ada.
Saya dan bu sutirah memang sudah akrab, karena seringnya saya bertandang ke rumah mereka. Begitu pun ketika saya datang tetap disambut dengan hangat walaupun bapak sedang dikuburan.
“bu, ko bapak sering natap saya ya bu, sebelum dan setelah solat berjamaah, kaya saya mau kabur aja bu, hehe”tanya ku diselingi tawa renyah
Ibu belum menjawab, malah mengambil sesuatu ke kamarnya. Ia lalu menyodorkan selembar foto hitam putih yang sudah kusam.
“ini pasti bapak, ini ibu kan, waw, masih muda, lalu ini siapa bu?” ku tunjukan foto sambil menunjuk pemuda berpeci hitam di foto.
“ini anak ibu sama bapak, meninggal 20 tahun yang lalu” jawab ibu sendu, ingatannya dipaksa keluar dari kepalanya.
“ia meninggal di hajar preman musuh na bapak waktu muda”
“lha, ko orang baik seperti bapak punya musuh preman bu”
“soalnya bapak teh dulu juga preman, warga sekampung takut dan benci sama bapak”
“saat anak kami meninggal, gak ada warga yang berani mengurus jenajahnya, karena mereka takut ancaman dari preman lain kalo ada yang membantu bapak ngurus jenazah nya”mata ibu mulai basah oleh air mata,
Sebenarnya saya tak berani bertanya lebih jauh, tapi
ibu melanjutkan ceritanya samnil masih terisak.
“bapak mengurus jenazah sendirian, saat itu ibu sedang kabur ke rumah orang tua karena tidak tahan dengan kelakukan bapak, ia hanya mengandalkan baca buku tuntunan pengurusan jenazah yang dikasih salah satu warga, itu pun sembunyi-sembunyi”
“bapak mandiin sendiri, ngapanin sendiri, yang paling membuat ibu ingin nangis dan balik lagi ke bapak adalah saat itu bapak mensolati jenazah, ibu baru datang karena baru dikabari, kata salah satu warga, bapak sendirian sedang mensolati jenazah. baik hatinya Gusti Alloh disini, dari dalam masjid terdengar suara takbir membahana, padahal di dalam hanya ada bapak sendirian, seperti banyak jemaah yang ikut mensolati, mungkin karena berbaktinya seorang anak terhadap orang tuanya, semasa hidupnya anak kami sangat berbakti” ia berhenti sejenak untuk mengusap air matanya menggunakan ujung kerudungnya, saya hanya tertunduk menatap foto itu tidak berani menatap matanya.
“Semenjak kejadian itu, bapak masih sering diusik oleh preman-preman musuhnya, bukan tidak berani melawan, tapi takut orang yang ia kasihi pergi lagi, akhirnya bapak dan ibu pindah dan tinggal sampai sekarang di Bogor, bapak juga sempat belajar pengurusan jenazah di pesantren saat tinggal di Bogor, untuk membalas kebaikan anaknya katanya.” Ia sudah tidak terisak lagi.
“sebenarnya bapak teh ingat anak bapak saat lihat kamu dek,” bapak masuk ke rumah lalu duduk di bangku kosong. Sepertinya bapak dari tadi berdiam diri di luar pintu.
“dulu saat anak bapak meninggal, dia pergi setelah salat berjamaah, sebelum solat sempat bapak liat dari luar mesjid, karena perasaan bapak tidak enak, setelah itu bapak tidur di poskamling, padahal jika saja setelah solat berjamaah selesai bapak melihat anak bapak lagi ke mesjid, mungkin ia tidak akan pergi” mata bapak juga mulai basah
“jadi bapak sering liat kamu sebelum dan setelah solat, itu membuat bapak tenang jika setelah solat kamu tetap ada.“
Suara adzan ashar terdengar di mushola biasa kami solat berjamaah, tanpa disuruh, saya dan bapak mulai bersiap-siap untuk menjawab seruan adzan dan bergegas mengambil wudhu.
“abis berjamaah adek bareng bapak kesini ya, kita makan bersama”ucap ibu melepas kami berdua ke mushola, hanya senyuman yang saya berikan untuk menjawab pertanyaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar