Maafkan aku paman!,
kisah si Pencuri cilik.
Ya Tuhan,!! Tidak terlambat kah aku meminta maaf. Kini
tangan yang sering aku kecup saat akan pergi jauh, semakin keriput. Langkahnya
semakin terbatas daya ayunnya. Mulutnya semakin susah berucap, Apalagi daya
pandang juga daya ingatnya, sudah pasti semakin kabur.
Maaf kan aku paman,! Maafkan kesalahan masa kecilku.
Halaman rumahnya tetap sama, pohon mangga dekat pintu pagar,
meneduhi lapangan kecil tempat biasa kami belajar sepeda dulu. Pohon belimbing
yang dulu pendek, kini sudah menjulang tinggi dan sering menimpuki orang yang
lalu lalang di jalan dengan buahnya-dahannya merindangi jalanan depan rumah
soalnya. Hanya cat rumahnya yang aku lihat berubah. Dulu orange jeruk, sekarang
orange kesemek membusuk, kusam kecoklatan, entah apa warna asalnya. Setelah
memasuki rumah, perabotannya tetap sama, lemari sepinggang yang diatasnya
tertata tivi 21 inch, sofa santai yang sering aku gunakan menonton tivi juga
masih terdiam merapat ke tembok membentuk sudut siku-siku dengan lemari. Dan
lihat, rupanya gantungan baju itu masih ada di atas sofa. Seketika ingatanku
melesat melompati ruang dan waktu, mengenang sebuah titik balik hilangnya
sebuah candu di masa kecil dulu.
Bagiku, mencuri adalah candu. Mungkin sudah selevel candu
merokok. Orang tua dengan pamanku memang sangat dekat. Saking dekatnya, aku
sudah berani mencuri uang di rumah pamanku. Sering aku menunggu rumah hingga sepi,
mengendap-ngendap kamar, meraba-raba saku baju celana ayah atau paman yang
tergantung, melesakan tangan ke dalam tas ibu atau bibi, atau mengintip dibalik
baju yang terlipat dalam lemari. Semua aku lakukan demi mendapat jatah uang
jajan berlebih. Tidak pernah kah ketahuan?, owh tidak, ada trik-trik tertentu
lah. Rumah harus selalu dalam keadaan sepi, ambil uang yang kecil aja (2 ribu,
5 ribu, paling gede 10 ribu, jangan lebih dari itu-nanti curiga).
Hari itu, candu mencuri ku sedang kambuh. Eskrim, ingin
sekali aku membeli eskrim yang ada di iklan hari minggu pagi di indosiar.
Aiihh,, detik berlalu begitu lambat rasanya, menunggu rumah yang tak kunjung
sepi. Jelaslah ini hari minggu, semua pada rehat di rumah. Agak siang, karena
tak tahan lagi aku memutuskan pergi ke rumah paman, barangkali disana sepi.
Saat ku buka rumah paman, tidak ada orang. Pergi ke dapur, kamar mandi, ruang
tamu, ketuk2 kamar, juga tidak ada orang. Senyum pun melebar sinis saat ku
pandang celana bahan tergantung di atas sofa santai depan tivi. Lalu sambil
berdiri di atas sofa, aku mulai menggerayangi setiap saku celana-berharap ada
beberapa lembar uang ribuan disana.
“nyari apa mam?”suara berat mengagetkanku dari belakang, wajahku
langsung terasa panas.
“aaa, nyari ,, euuhhh, gunting kuku pa”, jawabku gelagapan,
kaget menatap mata paman yang sering aku panggil Apa’, panggilan yang sama
untuk ayahku-saking dekatnya. ‘Bodoh,! Mana ada gunting kuku di saku celana,’ sesal
ku dalam hati
“nih gunting kuku mah”
ia menyodorkan gunting kuku dari atas meja, aku menerima sambil tangan
gemetaran. Beginikah rasanya tertangkap basah, begitu susah menyembunyikan
ekspresi bersalah.
Ku dengar paman mengehela nafas, lalu sambil duduk dia
berkata lembut. “gak baik hen mencuri itu,”
belum selesaikan ia menasihatiku, aku sudah berlari keluar dari rumah paman,
pulang, eh bukan, saat itu aku takut paman mengejar ke rumah, jadi aku pergi ke
rumah teman, bahkan sampai menginap semalam disana.
Bagiku hari-hari setelah itu begitu merana, keluarga kami sudah
sangat dekat, jadi yang namanya saling bersilaturahmi telah menjadi sebuah
kebiasaan. Aku selalu menghindar saat paman maupun bibi sedang bertandang ke
rumah, sebisa mungkin ngumpet malah, atau pergi ke luar rumah -entah kemana-
yang penting gak ketemu paman. Baru saat malam-itupun kalo paman sudah tidak
ada, aku berani pulang. Begitupun saat di ajak bertandang ke rumah paman, pasti
aku menolak dengan alasan sakit perut lah, mau ngerjain PR lah dan alasan
lainnya yang biasa dipikirkan anak berumur 10 tahun. Aku begitu tertekan,
serasa menjadi buronan. Benar kata orang, punya kawan seribu masih sedikit dari
pada punya musuh satu. Hampir dua bulan aku dan paman tak pernah secara
langsung bertatap muka.
Perlahan aku mulai terbiasa menghindar, tapi masih selalu
ngerasa bersalah. Jangan tanyakan tentang candu mencuriku lagi, pyuurr hilang
sudah, tak berani lagi aku mencuri. Selepas pulang sekolah, seperti biasa aku
langsung mengucap salam, lalu masuk ke ruang tamu-untuk menuju kamarku memang
harus melewati ruang tamu. Tatapan itu, ya Tuhan, kenapa aku gak curiga tadi saat
melihat sandal carvil kulit di teras rumah, itu kan sandal paman, dan kini
paman menatapku sambil tersenyum, tersenyum?, masihkah paman mau tersenyum
setelah sering kucuri uangnya?, ada ayah ibu disana, ya, pasti paman sudah
cerita tentang kejadian itu pada mereka,
‘Hendi, sini kamu nak”ucap ibu memecah lamunan, sebenarnya
ingin sekali berlari ke luar rumah, tapi badan dan pikiranku sudah lelah
menghindar, lebih baik aku berterus terang dan meminta maaf, aku langsung
mendekat dan duduk di samping ibu, masih tertunduk malu. Ayah bertanya padaku
kenapa tidak mau ketemu paman lagi. Aku hanya bisa menjawab dengan mata berair
dan gigi gemeretuk, tidak ada kata sikit
pun yang keluar.
“Hendi, paman mau minta maaf telah ngebentak dan marahin Hendi,
kacanya udah paman ganti, jadi udah gak apa-apa sekarang”, ucap paman memulai
percakapan, aku bingung, ngebentak?, kaca?, apa yang paman maksudkan, mulut ku
masih kelu bertanya.
“jadi kang Gufron, Hendi ini 2 bulan yang lalu mecahin kaca
lemari di rumah, terus paman marahin dia, ngebentak dia, akhirnya Hendi ngerasa
bersalah dan gak berani main ke rumah lagi, bahkan gak pernah mau bertemu
paman”, ucapnya lagi, menjelaskan pada ayahku yang masih tidak ku mengerti.
“tuh Hendi, paman udah minta maaf, sekarang kamu yang minta
maaf sana”ucap ibu sambil mengangkat daguku dengan tangannya, membuat ku lepas
menatap paman beruban didepanku. Apa yang terjadi?, aku ingin menangis-tapi
tidak keluar air mata, lalu dari mulutku gelagapan keluar kata permohonan maaf karena
telah mecahin kaca-yang sebenarnya tidak pernah aku lakukan. Setelah itu buru-buru aku masuk kamar, lalu
tidur, berharap mimpi akan menghilangkan bebanku.
Seminggu setelah drama minta maaf paman, aku mulai berani
mau diajak ke rumah paman, tentu masih harus bareng keluarga lah, tapi itu
sudah menjadi kemajuan hubunganku. Aku juga tidak perlu lagi menghindar saat
paman bertandang ke rumah. Lama-lama, kami pun sudah seperti biasa lagi, malah
semakin dekat, semakin aku menganggapnya orang yang pantas aku hormati setelah
ayah dan ibu. Paman pun selalu membantu keluarga kami, membantu aku masuk
perguruan tinggi di Bogor malah dengan menyumbangkan uang tabungannya untuk
biaya pendaftaran. Tak luput juga pernikahanku, ia begitu semangat mencari kan
mobil pinjaman untuk arak-arakan ke tempat sang mempelai wanita. Semakin
banyaklah jasanya yang tak mungkin bisa aku balas.
Sekarang, saat aku telah dianugrahi label seorang Ayah oleh Tuhan,
aku berpikir bahwa kepergoknya mencuri masa kecil dulu oleh paman, adalah
sebuah momen titik balik. Aku gak tau apa yang akan terjadi sekarang kalau Tuhan
tidak menakdirkan aku kepergok nyuri, seperti yang aku bilang, saat itu bagiku
nyuri sudah menjadi sebuah candu, pusing kalo sehari gak nyuri. Aku bersyukur
Alloh memberi kesempatan sedari kecil menghapus kebiasaan burukku.
Oya, belakangan aku tahu, bahwa saat aku ditanya ayah kenapa
menghindar dari paman, ayah dan ibu sudah tahu kalau aku mencuri di rumah
paman. Mereka ingin aku sendiri mengakui kesalahan ku di depan ayah, ibu dan
paman. Tapi sepertinya paman tidak tega melihat air muka ku yang berubah
menjadi seperti kepiting rebus dan hampir mau nangis, ia rela berbohong demi
aku, bocah yang tidak tahu diri.
Kini, diusianya yang ke 60, aku membisikan kata maaf itu,
takut semuanya menjadi terlambat,
“apa’, maafkan Hendi
apa’, suka mencuri uang apa’, maaf Hendi baru berani mengakui
sekarang”, aku langsung memeluknya, buncah tangis tak tertahankan lagi
mengalir. Ia tidak berkata apa-apa, karena kata sudah begitu mahal untuk di
ucap. Hanya tangisan serta balasan pelukan kerinduan yang ia lakukan, bak seorang
ayah memeluk anaknya.
Mess putra no 4, LAJ
JAMBI, 21 Agustus 2013