Cerita ini gw buat tahun 2008, saat gw baru masuk IPB dan
tinggal di asrama, awalnya tulisan ini tercecer di kertas map kuliah gw, sayang
banget kan kalo bukti pertumbuhan tulisan kita ilang, jadi gw ketik-tanpa di
edit, biar masih dapet rasa gw di umur segitu. Kalo menurut gw, focus cerita
nya masih kabur, maklum si ya baru belajar nulis,
Janji di hari lebaran
“Allohu
akbar, Allooooohu akbar” suara panggilan solat membahana di seluruh penjuru
langit, mengumandangkan kalimat-kalimat Tuhan yang dari zaman Rasululloh hingga
zaman sekarang ini tidak pernah berubah. Sayup-sayup sang raja siang
meninggalkan kekuasaannya untuk digantikan sang dewi malam.
“sungguh lukisan alam yang luar biasa, Alloh pasti
menyenangi keindahan, buktinya ciptaannya begitu indah dan luar biasa”, gumam Lindra
sambil memegang pundakku. Kami bergegas turun dari pohon mangga tempat biasa
melihat sunset kesukaan kami.
Lindra adalah teman yang sudah kuanggap sebagai saudara
sendiri. Wajah lugunya tidak mencerminkan pengetahuannya yang seluas galaksi
bimasakti. Orang tidak akan menyangka bahwa Lindra adalah juara umum di sekolah
kami dulu. Tapi karena masalah ekonomi, membuat kami tidak bisa melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi. Selama setahun, kami harus bekerja keras mencari
uang untuk mewujudkan cita-cita kami, harus menjadi mahasiswa perguruan tinggi
negeri terbaik tahun depan. Itulah janji kami sebagai pelajar Indonesia dibawah
rindangnya pohon mangga.
Kami pun berlarian sambil memegang nampan bekas wadah kolak
yang selalu kami jual keliling kampung selepas salat ashar, hanya itulah yang
dapat kami lakukan setelah seharian membantu ibu di pasar. Sepanjang perjalanan
kurasakan ada hal yang mengganjal, kulihat Lindra tersenyum-senyum memikirkan
keuntungan penjualan kolak kami yang selalu sukses tiap hari, seluruh kampung
tau kelezatan kolak ibuku. Bahkan pa Bupati terkesan dengan kolak ibu hingga
minta dibungkus untuk dibawa ke rumah saat ada acara di kecamatan.
Aku pun berbuka puasa di rumah Lindra yang sederhana. Walaupun
kami makan hanya dengan nasi ditemani ikan asin dan sambel, kami tidak pernah
merasa kekurangan. Karena nasehat orangtua nyalah yang mengajarkan kami bahwa
kenikmatan terletak bukan pada banyaknya makanan, tetapi pada bagaimana kita
mensyukuri apa yang ada pada diri kita, dan nasihat itulah yang sukses
menghipnotis kami hingga bisa menikmati makanan seadanya ini.
Selepas solat tarawih, aku langsung pulang ke rumah. Rasa
khawatir yang dari tadi menggangguku perlahan menghilang ketika aku sampai di
rumah dan melihat ibuku sedang membereskan meja makan. Sejenak beliau menatapku
dalam-dalam. Sorot matanya tajam penuh arti. Naluri seorang anak mengatakan
bahwa ibu ingin menyampaikan sesuatu yang penting, namun rasa lelah membuatku
ingin cepat-cepat masuk kamar dan merebahkan tubuhku.
Suasana hening perlahan menyelinap ke lubuk hatiku,
daun-daun yang berjatuhan mewarnai kejadian alam yang terlukis dalam kanvas
kehidupan. Matahari yang malu-malu beranjak ke peraduannya menyisakan sinar
merah yang menyorot di ufuk barat, dipadukan mozaik langit malam yang perlahan
mendominasi jagat raya. Burung-burung beterbangan riuh rendah ikut memberi
ekspektasi menarik pada lukisan alam ini.
“Assalamualaikum,” terdengar suara indah menyapaku dari
belakang. Aku langsung membalikkan badan sembari mengucap salam untuk melihat
siapa yang tadi menyapa. Muncul lah sesosok wanita muda berbalutkan jilbab
hijau yang membuat lelaki manapun tidak rela memejamkan matanya walau hanya
untuk berkedip. Ketika melihatnya, sinar matanya jernih menandakan ia selalu
menjaga kesucian pandangannya. Senyumannya tulus menghiasi wajah lesungnya.
“suamiku, engkau telah pulang, ciumlah keningku, aku sudah
lama menunggu kedatanganmu” katanya lembut mengagetkanku.
Siapa dia?, mengapa dia ada di hadapanku?, mengapa sorot
matanya membuat jiwa ingin terbang memegang tangan lembutnya melintasi angkasa
raya, apakah dia bidadari yang Alloh ciptakan untukku?. Tunggu, aku masih
kecil, umurku baru 19 tahun, belum saatnya bagiku memikirkan seorang pendamping
hidup.
Deg, deg,,suara detak jantungku jelas terdengar saat ia
perlahan mendekatiku. Langkah kakinya ringan seperti sedang berjalan di atas
awan. Jantungku berdegup semakin kencang bak seorang anak kecil baru belajar
memukul beduk. Tubuhnya yang setinggi pundakku terlihat begitu jelas,
senyumannya, pandangan matanya, wajah ayunya, membuat hatiku meleleh seperti
lilin terbakar.
Dibalik lengan jilbabnya yang panjang, ia mengeluarkan
sebuah cincin, kemudian menyerahkannya padaku. Rona merah terlihat di kedua
pipinya, tersipu malu saat melihatku. Ku ambil cincin itu. Hatiku protes saat
bibirku tak bisa bergerak untuk menanyakan kenapa cincin itu diberikan padaku.
Saat ku coba memakainya,
“KAKAAAAKKKK!” teriak adikku membangunkan tidurku,
“kak, bangun kak, ibu kenapa tidak bisa dibangunin, kita kan
mau sahur, ade pengen makan telur ceplok kak”
“ayo kita ke dapur, kita masak telurnya, mungkin ibu lagi
sakit, jadi biar kakak saja yang masak”
Setelah selesai masak, aku beranjak membangunkan ibu di
kamarnya. Ku lihat ibu berkeringat dingin dengan senyuman khas di wajahnya yang
memancarkan cahaya walaupun sinar lampu belum dinyalakan. Aura dingin yang
menyelimuti kamar sontak membuat hatiku berdebar. Tangannya yang kasar karena
selalu bekerja menghidupi keluarga setelah kematian ayah kami 3 tahun lalu
masih memegang tasbi. Balutan mukena yang masih beliau kenakan membuatku
bertanya-tanya, “tidak biasanya ibu tidur sebelum mengganti mukenannya”
“bu bangun bu, kita sahur sama2 ya, walau ibu sakit, ibu
harus makan sahur supaya kuat puasanya” bisikku sambil menggoyang-goyang lembut
tubuhnya. Bingung karena tidak ada respon, ku raba pergelangan tangannya tidak
ada denyutan. Rasa cemas menggelayuti tubuhku, ku coba tuk menguatkan pikiranku
dan secepat kilat pergi ke luar rumah untuk memanggil mantri yang tinggal tak
jauh dari rumahku. Sambil terengah-engah ku ketuk pintu rumahnya sembari
mengucap salam
“waalaikum salam, ada apa ya?” terdengar dari balik pintu
sembari membuka pintu,
“pak, tolongin ibu saya pa, denyut nadinya berhenti, apa
yang terjadi dengan beliau pak?”
Pak mantri langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil
peralatan medis, tanpa berkata apapun ia langsung memboncengku naik vespa tahun
70 an yang masih terawat. Secepat kilat kami sampai di rumah.
Sesampai dirumah, adikku ketiduran di meja makan. Telur
ceplok yang aku buatkan belum ia makan, mungkin kelamaan menunggu hingga
ketiduran. Pak mantri langsung aku ajak memeriksa ibu, mimik mukanya yang dari
tadi dingin tidak berubah, dengan parau ia menjelaskan kalau ibuku telah
meninggal. Hatiku pilu mendengarnya, bintang-bintang yang selalu aku dan Lindra
lihat seakan berjatuhan menimpa kepala ku, beribu pedang seolah ditusukan ke
ulu hatiku. Dunia seakan sepi sendiri. Matahari dan bulan yang selama ini
menjaga dan mendidikku kini telah lenyap. Ingin ku menjerit sejadi-jadinya.
Ingin ku menangis sekeras-kerasnya. Ku rasakan dekapan hangat dari pak mantri
seperti seorang ayah mendekap anaknya. Air mata yang sedari tadi bercucuran ia
hapuskan, pandanganku kabur, ku lihat remang-remang wajah pak mantri yang
seperti wajah ayahku perlahan menghilang, brukkk, aku sudah tak ingat lagi.
Saat ku coba membuka kedua mata, ku teringat wajah ibu.
Tanpa memerdulikan pusing di kepala, ku berlari ke ruang tamu dan melihat
banyak orang sudah berkumpul. Mereka menatap penuh iba. Adikku termenung
melihat foto ibu di dinding, terlihat jelas di kedua matanya bekas menangis
semalaman. Tatapan tertuju pada foto ibu, tak terasa air mata kembali mengalir
deras, lalu terdengar suara Lindra memanggil dari belakang. Aku gak peduli, toh
tuhan pun gak peduli akan kesedihanku. Aku ingin melampiaskan semua kesedihanku dengan berlari
dan berlari. Beban berat seakan menghantam kepalaku, pusing yang tak tertahankan
dan mual membuat ku terjatuh tak sadarkan diri.
Semilir angin membelai rambutku, daun-daun berjatuhan dari
pohonnya, matahari perlahan tenggelam membuatku teringat akan mimpiku dulu.
Jangan-jangan perempuan yang dulu juga ,,tanpa sempat melanjutkan kata-kata, ku
lihat ibuku yang perlahan mendekatiku, laki-laki yang disampingnya pasti
ayahku. Senyuman khasnya tak pernah ku lupakan, suara takbir menggema di
seluruh tanah ini, mereka memelukku dengan penuh kasih sayang sambil mengajak
ku bertakbir bersama. Ku cium kedua tangannya yang halus, jantungku bergetar
saat melihat perempuan berjilbab hijau itu datang lagi dan mencium kedua tangan
orang tua ku.
“dia adalah tanggung jawabmu kelak, dan cincin itu sebagai
buktinya” ayahku yang tau isi hatiku berkata lirih menatap kami berdua, gugup
bercampur bingung menyelimuti hatiku. Cincin yang dulu perempuan berjilbab
hijau itu berikan, kini terpasang di jemariku, kulihat cincin yang sama juga
terpasang di jemarinya.
“sekarang kami harus pergi, jagalah adikmu dan jangan pernah
tergoda oleh setan yang terkutuk”.
Takbir yang membahana, di seantero langit membuatku
terbangun, ku lihat diriku terbaring di atas kasur berbau obat, adikku, Lindra tertidur
pulas di sofa rumah sakit. Setelah subuh, aku langsung bisa pulang setelah
dokter memeriksa ku kembali, biaya perawatanku di tanggung keluarga jauh,
sesampai dirumah, saat aku membuka pintu, takbir dari sahabatku, warga desa dan
keluargaku menyambut kepulanganku, ku lihat Lindra tersenyum kecil padaku,
Di hari lebaran ini semua berbahagia merayakan kemenangan
orang islam, setelah berjamaah solat idul fitri, di mesjid kebanggaan kampung
kami, aku Lindra dan adikku pergi ke makam orangtuaku, ayah ibu, aku akan menjaga anakmu dengan seluruh
tenagaku, inilah janjiku di hari lebaran,
Asrama putra, 2
september 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar