Ini juga cerita dibuat tahun 2009, mungkin udah satu semester di asrama TPB IPB,
tulisan ini tercecer di kertas map kuliah gw, dari pada nanti ilang, mending gw
ketik-tanpa edit, jadi punya bukti bahwa tulisan kita bertumbuh ya da?, setelah
gw baca, kayanya ini kenangan masa kecil gw dah, jadi fakta dong ya. Mungkin.
Yang jelas gw perlu dua kali baca cerita ini ampe mengerti maksudna, hahaha,
KEDEWASAAN,
Semilir angin dengan lembutnya menyisir rambutku yang belum
kurapikan, burung-burung memanjakan telingaku dengan kicauan suaranya yang
merdu. Pohon-pohon dengan gemulainya menari melawan belaian angin sepoi-sepoi,
menerbangkan serangga-serangga yang dari tadi mencoba untuk hinggap di dahan
kekarnya. Langit yang begitu cerahnya ikut memberikan sentuhan eksotis dalam
kanvas alam ini. Tak luput juga bau dedaunan yang diterbangkan angin membuat
hatiku damai dan tentram. Kata teman-temanku melihat pemandangan dari dalam
jendela kamar asrama adalah hal membosankan. Bagiku, pemandangan itu merupakan
potret kehidupan masa kecilku, dimana aku tumbuh menjadi anak yang harus kuat
dan menyatu dengan alam.
Desa kecilku terletak di kabupaten Garut Jawa barat.
Walaupun tidak seterkenal Bandung dan Jakarta, Garut adalah kebanggaan terbesar
keluarga kami. Ayahku adalah orang banten. Kata orang, banten adalah tempatnya
ilmu hitam, tapi menurutku, Banten adalah kota dimana aku mendapat identitas
sebagai keturunan orang besar. Semua kakek buyutku adalah orang hebat. Ayahku sering
bercerita tentang kelihaian kakekku yang bergelut dengan 9 harimau
memperebutkan sebuah cincin mustika, dan kakekku adalah pemenangnya hingga ke 9
harimau tadi takluk. Karena itu, Ayahku selalu mengajariku tentang pentingnya
beladiri dan kemampuan memanfaatkan alam.
Sejak kecil, aku selalu diajaknya untuk ikut pergi ke hutan,
sekedar mencari kayu bakar atau memancing sambil berenang di sungai deras. Tapi
sekarang sepertinya hal itu tidak pernah terjadi dengan adik-adikku. Peralatan
serba otomatis menggeser kegiatan masa kecilku.
Ketika libur sekolah, aku selalu menyempatkan diri untuk
bisa berpetualang menyusuri perkebunan dan hutan di desaku, tepatnya di bawah
kaki gunung Cikuray. Disana ada jembatan yang menurut kakekku dibuat oleh orang
belanda, hingga sekarang jembatan itu disebut sasak walana (jembatan belanda). Di jembatan inilah tempat aku
selalu berteriak sekencang-kencangnya untuk menghilangkan penat setelah ujian
sekolah.
Waktu itu seperti biasa, ketika libur sekolah dasar, aku dan
teman-temanku merencanakan bermain ke sasak
walana. Semua barang-barang dari mulai nasi timbel, pisau, bahan2 untuk
membuat rujak dan sebagainya sudah tersedia di tas kami. Orang tua juga sudah
merestui kami yang haus akan petualangan. Dan seperti biasa pula, ketika pulang
kami selalu kompak untuk berenang di kolam ikan yang ada di kampung sebelah.
Tanpa lepas baju, tanpa lepas celana, kami langsung melompat tak ada beban. Setelah
air kolam menjadi keruh barulah kami berhenti, itu juga kalau tidak ada pemilik
kolam yang selalu sedia dengan lidinya memukul-mukul kami ketika bermain riang
di kolam. Kami pun pulang ke rumah masing-masing dengan keadaan sungguh
mengenaskan, baju super kotor, badan super bau, dan pengalaman super seru.
Hanya itu kegiatan weekend kami para
petualang cilik desa.
Waktu pun telah berlalu, kini aku menjadi sosok yang tak
pernah ku bayangkan, sosok yang dulu kuanggap sangat menjengkelkan karena
sering memarahi anak kecil, sosok yang tak mau menganggap anak sebagai orang
yang sederajat, inilah aku. Pemuda yang merindukan cinta, kasih sayang dan
petualangan. Sering kali ku pikir, apakah aku siap menjadi dewasa, apakah aku
siap dengan keseimbangan fisik, mental dan ilmu yang ku raih. Hanya satu
jawaban yang selalu memenuhi isi kepalaku, aku harus siap dengan segala yang
akan terjadi dengan kedewasaanku. Karena itu akan mengantarkanku menuju sebuah
asa yang selalu ku kejar, asa yang selalu terbang dari pohon keberhasilan ke
pohon keberhasilan yang lain.
Masa kanak-kanak menuju dewasa adalah proses alamiah
manusia, siapapun itu akan mengalaminya. Tapi sering kali dalam tahap-tahap
perubahan masa itu selalu dibarengi dengan gejolak jiwa, gejolak ingin dianggap
sebagai seorang pemuda yang sudah siap dengan amunisinya. Dan ini tidak
terlepas dari dukungan orangtua yang mengajariku berdiri.
Angin, burung, daun, pohon dan langit yang berawan putih
adalah jembatan bagi pikiranku untuk menerawang hal yang telah terjadi, baik
itu perubahan kedewasaan atau petualangan hidupku. Karena keadaan ini bisa
menghadirkan memori yang telah lama ku pendam yang bisa menguatkan jiwaku.
Walaupun dulu aku tak mengerti apa yang terjadi di relung hatiku, kini sedikit
demi sedikit ku kumpulkan kunci-kunci yang salah satunya akan mengantarkanku
menuju masa depan. Mungkin orang lain tak akan mengerti. Tapi buatku, semua
yang terjadi adalah air yang mengalir yang arah dari air itu kita yang
mengatur. Seperti system irigasi yang apabila kita mengalirkan airnya ke arah
yang benar, yaitu ke sawah, maka air itu menjadi berkah bagi kita dan orang
lain. Jadi apa yang terjadi buatlah seperti saluran air, dimana itu semua
menjadi berkah bagi kita dan orang di sekeliling kita.
Perlahan burung menghilang dari pandangan mata, menandakan
aku harus pergi mencari kepingan masa depan yang harus kususun. Read Kuliah.
Asrama putra TPB IPB, 5
Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar