Biasanya setelah solat Iedil
Fitri, setiap orang akan berlalu lalang mengunjungi sanak sodara atau kerabat
dekat juga tetangga untuk saling bersilaturahmi. Tapi tidak dengan kampung
kami. Entah sejak kapan, ritual setiap keluarga setelah solat ied adalah
menunggu. Ya kah? ya,, menunggu di dalam rumah sudah menjadi kebiasaan saya dan
keluarga yang lainnya selepas melaksanakan solat ied. Apa yang ditunggu? Nasi tiwul
lebaran!.
Adalah bi Saesih, seorang janda
yang tidak mempunyai anak, tinggal sendirian di gubuk kayu dekat pemakaman
kampung. Setelah solat ied, ia akan berkeliling membawa boboko (bakul) berisi nasi tiwul lebaran dan membagikannya ke
setiap keluarga di kampung kami. Kenapa diberi nama nasi tiwul lebaran? karena
memang nasi tiwul ini sungguh sangat spesial dan hanya ada saat lebaran saja.
Menurut apa yang saya dan keluarga rasakan juga cerita-cerita keluarga lainnya,
nasi tiwul lebaran bi Saesih membawa keberkahan bagi yang memakannya. Tidak
sedikit juga yang kebetulan sedang sakit, bisa sembuh setelah memakan nasi
tiwul ini.
Sempat saya iseng bertanya saat
bertandang ke rumahnya tentang resep yang digunakan dalam membuat nasi tiwul
ini. Katanya nasi tiwul yang terbuat dari gaplek singkong ini menggunakan resep
keluarga yang turun temurun digunakan dari penjajahan Belanda dulu. Ia tidak
mau menggunakan beras, karena menurut ia dan keluarganya beras adalah makanan
bangsawan, tidak cocok dimakan rakyat sepertinya. Jelas ia tidak mau berbagi
resepnya, tapi karena menurutnya saya termasuk keluarga dekat, dan sering
membantunya malah, ia memberikan rahasia nasi tiwul lebaran nya.
“Ujang ulah beja-beja kabatur nyak, rahasiana aya dina cai nu dipake
ngarebus gaplek na. Cai na wadahan kana kendi, terus ti mulai taraweh kahiji,
eta kendi nu aya cai an, kudu dibawa ka masjid. Supaya caina jadi berkah. Pas
taraweh eta kendi dibuka tutupna, mun ek dibawa balik, kudu ditutup rapet deui
eta kendi, nah dina malem takbiran cai dina eta kendi dipake nyien tiwul.”
Ucapnya dengan logat sunda, Saya sebenarnya tidak mengerti, dan tidak berniat
juga mencobanya.
Translate
“Ujang jangan ngasih tau ke yang
lain ya, rahasianya ada di air yang digunakan merebus gaplek. Air nya dimasukan
ke dalam kendi, lalu dari mulai tarawih pertama, kendi yang berisi air tadi harus
dibawa ke masjid agar airnya menjadi berkah. Saat sedang tarawih kendi dibuka
tutupnya dan saat hendak dibawa pulang harus ditutup rapat lagi kendinya, nah
saat takbiran, air dalam kendi digunakan dalam pembuatan tiwul”.
Saat kami menunggu, Bi Saesih
akan berkeliling menyapa dan bercengkrama ke setiap rumah lalu memberikan 5 centong (sendok bakul) nasi tiwul
lebaran per kaluarga. Biasanya selain ucapan terima kasih, kami juga sering
menyelipkan uang saat berjabat tangan dengan nya. Ia tidak pernah minta
sebenarnya, toh keluarga yang tidak memberi uang pun tetap ia beri nasi tiwul
lebaran, itu hanya bentuk ungkapan terima kasih kami saja. Oya, bi Saesih tidak akan memberi nasi tiwul
lebaran, kalo di rumah sedang tidak ada orang. Meskipun nanti menyusul ke
rumahnya untuk minta jatah, tetap ia tidak akan memberi nasi tiwul lebarannya.
Jadi kalau mau dapat nasi tiwul lebarannya, ya harus nunggu giliran di rumah
masing-masing, barulah setelah semua mendapat nasi tiwul lebaran, kami saling
bersilaturahmi.
Sudah
hampir 2 jam lebih, bi Saesih tidak juga mengucap salam khasnya-tanda menyapa setiap
rumah yang ia kunjungi. Biasanya ia memerlukan waktu 2 jam untuk sampai di
rumah terakhir. Saya dan keluarga lainnya pun berhamburan ke jalan-saling
bertanya sana-sini. Sama!, mereka juga belum mendapat nasi tiwul lebaran bi
Saesih. Akhirnya dengan gelisah berbondong-bondong semua orang memutuskan untuk
datang ke rumah Bi Saesih, khawatir ia sakit atau mungkin malah meninggal.
Rumahnya teduh dibawah rindangnya
pohon meranti, pekarangan sayuran menghijau indah di depan rumah ditemani petok
ayam dalam kandang di samping kirinya. Sepi! ya memang sepi, kan bi Saesih
hidup sendiri. Sempat kami tawarkan ia untuk pindah ke rumah jompo di kota. Dengan
halus ia menolak. Katanya ia justru tidak merasa sendiri, ia ingin terus dekat
dan bersilaturahmi dengan kalian, dengan kita, dengan kami. Ya, silaturahmi.
Sepertinya saya baru sadar kenapa ia lebih senang setiap hari berjualan
gorengan dengan nyiru (nampan bambu) disanggulnya,
berkeliling setiap pagi dan sore. Padahal kalaupun ia membuka warung dirumahnya,
kami semua pasti menyerbu gorengan buatannya itu. Renyah, gurih, dan khas
sekali. Memang dengan berkeliling menjajakan gorengan, ia selalu dekat dengan
setiap orang di kampung kami.
Lalu
kemana bi Saesih?. Rumahnya kosong tapi bekas perapiannya masih belum padam sepenuhnya-tanda
ia belum lama ada di rumah. Apakah ia terjatuh disuatu tempat?, sungai,
pemandian umum, pasar, kebun singkong miliknya, tebing disamping jalan, masjid,
juga tempat-tempat lainnya tidak satu orang pun berhasil menemukannya. Akhirnya
semua orang memutuskan pulang, barangkali nanti sore bi Saesih akan kembali-pikir
kami.
“ada
nasi tiwul? Bukan kah rumah kita dikunci?”Tanya saya heran,
“ iya
bi, ada nasi tiwul di meja makan kita” ucap istri saya sambil membawa sepiring
nasi tiwul dari dapur. Kami langsung mencicipinya
“Benar mi,
ini nasi tiwul lebarannya bi Saesih, umi gak bohong kan? Ko bisa tiba-tiba ada
di meja makan kita?” Tanya saya mengerutkan dahi,
“ih abi
mah, iya tadi pas pulang, umi langsung ke dapur, eh lihat nasi tiwul, padahal sebelum kita keluar tadi kan gak
ada”jawab istri saya meyakinkan.
Rupanya
tidak hanya keluarga kami yang kebingungan dengan keanehan ini, semua keluarga
juga mendapatkan sepiring nasi tiwul lebaran bi Saesih. Dan lebih terkejut lagi
tidak seorang pun yang melihat bi Saesih. Padahal jarak kami keluar dan pulang
ke rumah hanya 1 jam. Jadi tidak mungkin tidak ada seorang pun yang berpapasan
dengan bi Saesih. Sebelum kekalutan makin menjadi akibat desas desus yang tidak
jelas, saya, pak RT dan beberapa orang langsung pergi lagi ke rumah bi Saesih-berharap
ia ada di rumah.
Sesampainya
di rumahnya, pintu yang tadinya kami tutup rapat, kini terbuka. Ayam-ayam yang
tadi berpencar tak tau arah, berkumpul melongok didepan pintu. Dan betapa
kagetnya saat kami masuk ke dalam rumah-di ruang tamu yang berlantai papan
kayu, terbujur kaku seorang nenek tua bermukena dengan wajah pucat pasi namun
berseri, lipatan kain putih seperti kain kaffan digunakannya sebagai bantal.
Saat kami raba pergelangan tangannya, tidak ada denyutan kehidupan disana. Saya
tidak kuasa menahan rembesan air mata, pak RT langsung sigap memerintahkan
beberapa orang untuk mencari pertolongan ke mantri terdekat.
Jadi ini adalah nasi tiwul
lebaran terakhir, semua tidak mengerti kapan dan bagaimana nasi tiwul lebaran bi
Saesih bisa ada di rumah kami. Desas desus pun berkicau, memang sudah sifat
manusia mengomentari suatu kejadian meski itu sebenarnya di luar nalar. Yang jelas,
adalah kebaikannya yang kami bincangkan. Semua orang di kampung merasa kehilangan,
karena bi Saesih dekat dengan semua orang. Ya ya, rajin bersilaturahmi. Itu yang
saya dan warga lainnya ingat dari seorang bi Saesih, bukankah Rasulullah juga senang
dengan orang yang memperpanjang silaturahmi?, semoga Rasulullah juga senang
terhadapmu bi Saesih. Aminn,
Kaki
gunung Cikurai Garut- 7 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar