Cerita ini gw buat awal tahun 2012, saat gw sama sekali
belum pernah ke semeru dan ke rinjani. Tulisannya sih masih kacau-baru belajar nulis, yang jelas
saat itu kayanya gw pengen ngebuat cerpen ala traveler dah. Dan satu lagi, gw
seneng ngelihat tulisannya bertumbuh dari tahun ke tahun,
Gw, lu, dan kholif
Terdengar suara indah menyapa telingaku, sayup-sayup tapi
jelas kata-kata yang terucap. Melukis sejuta warna dalam otak kananku,
menginterpretasikan makna dibalik momen ini. Sepanjang jalan kenangan dari Glenn
fredly bersuara dari mp3 playerku.
Oke, aku akui, aku kangen padamu saat ini. Entah seberapa
besar batinku merasa tersiksa sejak kejadian itu. Kejadian yang menjadi awal
dari perpisahan kita. Sejenak aku merenung, membayangkan wajahmu saat menjitak kepalaku
di jalan itu. Tidak sakit, memang jitakkanmu adalah manipulasi dari tanganmu
yang ingin membelai rambutku. Dan aku tertawa. Pura-pura tidak mengerti.
Perlahan kabut mulai turun. Bebas ku lukis wajahmu dengan
tinta awan putih diatas kanvas langit biru. Cahaya mentari menghangatkan
wajahku yang merona merah saat ingat kau pernah jatuh gara-gara kutinggalkan
motor tanpa kuturunkan standar. Dan kau tersenyum manja menyalahkan aku yang
seharian memboncengmu keliling pasar. Aku hanya bisa minta maaf sambil ngeles
gak merasa bersalah. Berharap kau terus tersenyum manja. Biasa tapi lucu.
“yok zen, kita turun sekarang. Semua uda beres dikemas” ucap
teman naik di gunung Guntur ini.
“sip,lewat jalur kita naik kan turunnya?” tanyaku sambil
berdiri dan mengangkat ransel.
“yoi, eh lu dari tadi
gw perhatiin senyum-senyum sendiri, inget cewe ya?
“entahlah, setiap gw naik gunung, gw inget seseorang mulu,
seseorang yang selalu semangat jika gw ajak naik gunung, dan gak pernah ngeluh
saat ia kecapean ato manja saat ia kedinginan”
“hebat banget tuh cewe, cocok tuh lu jadiin pacar”
“sekarang dia uda gak ada boy, gw nyelakain dia”
“maksud lu?”
“dia meninggal karena kecapean saat pulang dari semeru dulu,
dia gak bilang kalo dia lagi sakit saat gw ajak ke semeru. Dia juga biasa aja
saat naik, begitu perjalanan pulang dia pingsan dan jatuh dengan kepala membentur
batu”
“astajim, sory ya boy, pasti tuh cewe sayang banget ama lu,
sampai demi deket ama lu, dia rela sakit-sakitan nemenin lu naik gunung”
“entahlah, yang jelas, gw selalu ngerasa bersalah, makanya
gw selalu naik gunung untuk ngelepas rindu gw”
“sip lah, lu pasti nemu lagi yang terbaik, yok turun
sekarang”
Bertiga kami menuruni gunung Guntur yang terkenal tandus ini
pas sore hari. Kenapa sore hari?, karena sepanjang perjalanan setelah curug
citiis jarang sekali ditemukan pohon. Jalan berkerikil, tumbuhan alang-alang
yang menyemak, pohon pinus yang jarang-jarang, dan puncak yang semakin tinggi
didaki semakin banyak berbohong. Dikira sudah dekat, ternyata ada puncak lain
lagi. Membuat para pendaki tidak sabaran mencapai puncak.
Diperjalanan kami juga bertemu dengan pendaki lain baik yang
sedang beristirahat sebelum turun gunung, atau berpapasan ketika pendaki lain
baru naik gunung. Semua saling menyapa seakan sudah pernah bertemu. Bukan sok
kenal, tapi alam yang menyatukan kami. Menyamakan kondisi kami dan membuat kami
saling mengerti. Begitu juga dengan rombongan yang baru naik ini. Sambil
beristirahat, kami berkenalan dengan pendaki yang ternyata berasal dari Jakarta,
mereka berlima, dan satu orang lagi masih tertinggal di curug Citiis untuk
mengambil persediaan air. Memang hanya di curug Citiis-lah persediaan air terakhir
gunung Guntur ini.
“nah tu dia datang”salah satu pendaki yang baru kami kenal
berkata sambil menunjuk kearah jalan setapak.
Deg,,,,
jantungku seakan mengerti akan kecemasan saat kulihat
seseorang keluar dari semak-semak. Berkacamata, badan tegap, kaos oblong, dan
celana kargo.
“a deki?” suaraku terdengar parau saat ku tatap wajahnya.
“lu ngapain disini” jawab a deki saat melihat ku
“hanya melepas kerinduan terhadap seseorang”
“owh,, jadi kalian udah pada kenal” ucap temen nya a deki
mencairkan suasana.
“jelas, gw kenal banget sama ni bocah, dia yang ngebunuh
adik gw”
“gw gak bunuh adik lu!, gw Cuma gak tau kalo adik lu sakit
saat gw ajak ke semeru”
“bullshit, harus nya lu tau, adik gw lagi sakit, lu malah
ngajak dia naik gunung. Gak nyadar lu bunuh adik gw”
“JADI MAU LU APA?” akhirnya gw membentak a deki dengan muka
geram.
“gw mau lu ke semeru, dan lu bawa adik gw kembali”
“okeh, gw akan ke semeru minggu depan, tapi gw Cuma mau ziarah
ke nisan adik lu, Karena gw bukan tuhan, gw hanya bisa berdoa untuknya, gw tau
lu gak bakal maafin gw, tapi gw minta ama lo, jaga harapan adik lu yang ingin
banget naik rinjani, buktikan lo sayang ama dia, buktikan kalo lu bisa
mewujudkan cita-cita adik lu, walaupun dia sudah gak ada, tapi cita-cita dia
akan ikut di setiap langkah lo saat ke rinjani”
“rinjani?”
“Ya, rinjani, adik lu pengen banget ke rinjani, jadi setelah
gw ke semeru minggu depannya lagi gw bakal ke rinjani dan teriakin nama dia di
puncak rinjani. gw gak akan ngerasa
bersalah lagi”
“ok, gw juga akan ke rinjani, tapi demi cita-cita adik gw”
“okeh, ayo sep kita berangkat lagi” seraya menoleh pada
teman ku yang bernama asep.
Sepanjang perjalanan pulang, di dalam kepala terus berpikir
bagaimana mencari uang untuk pergi ke semeru dan rinjani dalam waktu dekat ini.
Beruntung kedua teman ku berbaik hati mau menamani saat pendakian semeru dan
rinjani nanti. Walau mereka juga belum tau dari mana dapat uang untuk membiayai
perjalanan kami.
sepanjang jalan kenangan, kita
selalu bergandeng tangan,
sepanjang jalan kenangan, kau
peluk diriku mesra
hujan yang rintik-rintik, diawal
bulan itu,
menambah nikmatnya malam syahdu
lagu sepanjang jalan kenangan dari yuni shara menemani
perjalanan pulang ku dari Garut menuju Bogor. Antara tidur dan tidak, antara
sadar dan tidak, yang jelas aku hanya ingat senyuman nya dikantin kampus saat
melihat aku datang menjemputnya. Biasa tapi lucu.
***
Seminggu sudah kami mencari sponsor untuk mendanai ekspedisi
kami. Ekspedisi menaklukan 5 gunung tertinggi di Indonesia selama dua bulan.
Dan beruntung kami didanai oleh perusahaan pembuat alat-alat petualang terkenal
dari luar negeri. Jelas, pasti mereka terarik mendanai ekspedisi kami. 5 gunung
tertinggi dalam dua bulan oleh mahasiswa. Cocok untuk bahan promosi di kalangan
mahasiswa maupun kawula muda yang semakin besar partumbuhan pasarnya. Namun,
bagi ku, pendakian ini adalah bentuk tanggung jawabku atas perasaan bersalah
terhadap seseorang. Juga kakaknya.
Sesuai rencana, pendakian pertama adalah gunung tertinggi di
Jawa - Gunung Semeru. Setelah melakukan
perjalanan selama dua hari dari kota Malang,
kami bertiga dan dua orang dari sponsor sampai di danau Ranukumbolo. Kenangan
itu seakan berkelabat memenuhi rongga pikiranku. Disini, seseorang yang
kupanggil Kholif, tiba-tiba berwajah pucat, tersenyum getir menatapku, setengah
berlari mencoba menggapai tanganku, namun tidak sampai. Dia terjatuh dengan kepala
menghantam batu. Berdarah dan aku panik. Secepat mungkin kubangunkan tubuhnya
yang terasa dingin. Masih terngiang dalam telingaku apa yang dia katakan. “Rinjani”.
Aku hanya bisa tercengang saat itu, tidak memperdulikan kedua temanku yang
mulai memeriksa keadaan tubuh nya. Tidak memperdulikan tatapan simpati dari
pendaki lain yang mulai mengerubuti kami. Terdengar salah satu pendaki dengan
telpon satelitnya memanggil petugas pos pendakian. Karena keterbatasan alat
transportasi. Kami hanya bisa menunggu jemputan petugas yang mulai naik.
Setelah mengucap doa bersama teman sependakian di tempat
ini. Kami melanjutkan perjalanan untuk mencapai puncak semeru. Kawah gunung
yang masih mengeluarkan debu dan asap hitam membuat kami terpana melihatnya. Rencananya
kami akan mendapatkan sunrise di puncak, membiarkan kedua orang dari sponsor
kami mengambil apapun yang mereka inginkan dan setelah itu kembali lagi ke
ranukumbolo untuk ngecamp semalam sebelum perjalanan pulang.
Dari kota Malang, kami bertolak ke Banyuwangi menggunakan
bis. Dari Banyuwangi menumpang kapal feri menyebrang ke Bali. Di pantai Kuta
kami beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju gunung tertinggi di
kepulauan Sunda kecil-gunung Rinjani. Selanjutnya perjalanan akan kami lanjutkan
dengan menumpang mobil sewaan ke pelabuhan Bali dan menumpang speed boat menuju Lombok tepatnya daerah
Gili Trawangan. Dari sana kami akan membeli keperluan dan memulai pendakian.
“eh zen, A deki jadi ngikut ke Rinjani kagak” tanya agus,
salah satu teman ekspedisi.
“gak tau tuh. Kalo emang dia serius menyayangi adiknya, dia
pasti datang ke Rinjani.” Jawabku seperlunya.
“lu gak ngehub dia zen?, barangkali dia mau naik bareng”
tanya asep, menoleh beberapa saat dan melepaskan pandangan lagi ke arah pantai.
“kagak lah, ngapain gw hubungi dia, toh dia juga pasti
ngajak temen-temennya.”
Betiga kami menghabiskan sore di pantai Kuta. Menatap 47
detik sunset tanpa pernah bosan.
Semua punya lamunan masing-masing, dan aku, mencoba melukis wajahnya dengan
semburat jingga yang mulai meredup di langit sore ini. Dua teman kami lainnya
sibuk mengotak atik notebook nya.
Mereka sibuk mengirim laporan perjalanan dari Semeru kemaren. Mengirim
foto-foto karya mereka. Begitupula foto sunset
sore ini. Berhasil mereka rekam untuk menambah bahan iklan mereka.
Tepat pukul 08.00 kami sudah sampai di Gili Trawangan. 1 jam
sudah mengendarai speed boat dari Bali. Berbekal peta jalan dan bekal seperlunya.
Kami mulai melanjutkan perjalanan mendaki gunung berapi kedua tertinggi di
Indonesia. Untuk mencapai puncak gunung ini bisa dicapai dari desa Sembalun dan
desa Senaru yang bisa di akses dari kota Mataram. Kedua jalur tersebut adalah
jalur normal yang sering dipakai oleh pengunjung yang akan mendaki.
“kata petugas pendakian, kemaren ada satu orang dari Jakarta
yang naik gunung rinjani” ucap asep menghampiri dan mengambil botol air dari
tas ranselku.
“dari Jakarta? jangan-jangan?, A Deki?”
“iya mungkin”
“tapi mana mungkin dia nekad naik Rinjani sendirian, ah
pasti orang lain”
“gak penting siapa yang naik, yang penting kita selesaikan
ekspedisi ini, yuk lanjutin perjalanan”
Setelah 8 jam perjalanan, kami tiba di danau yang paling
terkenal dari gunung Rinjani, danau Sagara Anak.
Danau berwarna biru dikelilingi oleh puncak
gunung-gunung kecil. Sampai sekarang disini masih banyak ikan jika mau
memancing. Karena hari ini bukan hari libur, jadi tidak terlihat pendaki lain selain
kami di sekeliling danau ini. Rencananya kami akan bermalam disini dan
melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
“Permisi, Permisi, Mas, Bang Tolongin Saya” terdengar suara
dari luar tenda dan menggerak-gerakan tenda.
“siapa itu?” tanyaku menyahut suara dari luar tadi
“saya Deki dari Jakarta bang, saya kehabisan makanan, boleh
minta sedikit untuk perjalanan pulang”
“deki”, tanpa banyak berpikir, langsung kubuka resleting
tenda, lalu kusorotkan senter pada seseorang berjaket dan berkacamata. Aku mengenalnya.
Dialah A Deki,
“A Deki, ngapain sendirian disini” tanya ku lalu menyodorkan
roti padanya. Tadinya dia canggung mau mangambil roti dari tanganku.
“ini ambilah, lupakan masalah pribadi, ini gunung, kita
harus saling membantu untuk bertahan”
Dia pun mengambil roti dan langsung memakannya.
Aku langsung menyalakan api unggun dari sisa semalam. Jam
menunjukan pukul 1 pagi. Dan dari wajahnya, dia terlihat kelelahan.
“maafin gw zen, gw egois, gw baru nyadar, di gunung bisa
terjadi apa aja dan kapan aja kepada kita,”
A deki mendongak melihat langit penuh bintang.
“ya sudah, gak papa, yang penting kita bisa bertahan dan
saling membantu dalam keadaan sesulit
apapun, gunung yang menyatukan kita dan menyamakan kondisi kita, lu baru pulang
dari puncak?, kenapa malam2”
“gw lupa masukin makanan kemaren pas naik. Gw Cuma bawa air
1 liter dan roti dua bungkus. Saat nyampe puncak, gw cari-cari di ransel kaga
ada sedikitpun makanan. Karena gak tahan lapar, gw pulang malem-malem berharap
ada pendaki lain yang mulai naik,”
“ko bisa lupa?”
“mungkin karena pikiran gw lagi kesal zen. Kagak ada temen
gw yang bisa gw ajak ke Rinjani. Mereka semua sibuk dengan urusan
masing-masing. Karena gw udah janji sama lu dan adik gw, gw maksa naik Rinjani
sendirian, dan buat gw gak terlalu memperhatiin persiapan logistik. Oya zen,
boleh gw minta betadine ama perban?”
“kenapa lu?, niih”, ku sodorkan betadin, alcohol, tissue dan
perban kearahnya.
Ku perhatikan dia membuka sepatunya dan menyingsingkan
celananya.
“coba lu senterin ke arah sini zen”sambil menunjuk ke
pergelangan kakinya, A Deki meringis menahan sakit.
Terlihat luka sobek pada pergelangan kakinya. Sepertinya
luka itu didapat karena terjatuh dan kakinya pasti menghantam benda tajam
seperti dahan pohon atau batu. Dan kalau dia telat mendapat perawatan, maka
kakinya akan terkena infeksi. Dia harus segera turun ke kota Mataram pagi ini
juga untuk mendapat perawatan.
“kapan lu dapat luka ini?”
“tadi malem gara-gara gw terpleset di lereng yang banyak
pohon pinus, senter gw abis, lupa gw charge, jadi gw ngeliat seadanya, kalo gak
balik sekarang gw kelaparan, balik sekarang senter abis, untung gw liat api
unggun kalian, jadi gw memberanikan diri turun malem-malem”
Dari dalam tenda menyembul teman-teman ku yang baru bangun
karena mendengar suara obrolan kami.
“A Deki, kenapa kaki lu? Tanya Asep dan Agus melihat luka
dai kaki A Deki yang baru di bersihkan
Mereka hanya bisa ikut merasa menahan sakit yang tidak
mereka derita sembari mengernyitkan kening.
“gw harus pulang sekarang zen, gw takut kenapa-napa dengan
luka gw,”suara A Deki memecah keheningan di pagi buta itu.
“tapi lu gak bisa pulang sendiri kan, lu gak bakal bisa dan
gak bakal kuat, harus ada yang nemenin lu turun” sergah agus masih memandang
luka A Deki.
“gw mungkin gak bisa, tapi gw harus nyoba,kalian gak usah
hawatir, gw uda sering naik gunung, dan perasaan gw sekarang lebih tenang”
“baiklah, gw yang akan nemenin lu, agus , asep, kalian
lanjutin ekspedisi ini dan temenin temen2 sponsor sampai puncak Rinjani. Gw
tunggu kalian di kota Mataram.”
“gak usah zen, gw bisa sendiri ko, gak enak kan lu ninggalin
sponsor kalian.”
“denger A Deki, gw gak mau ngulangin kesalahan gw kaya dulu,
gw akan sangat ngerasa bersalah biarin lu sendirian turun gunung dengan keadaan
seperti ini. Dan gw bangga ama lu yang rela naik gunung rinjani sendirian demi
memperjuangkan cita-cita adik lu,”
A deki lansung menunduk mengiyakan aku yang akan menemaninya
turun gunung. Setelah berpesan pada Asep dan Agus apa yang harus dilakukan,
berkemas bawang bawaan seadanya dan pamit kepada dua orang sponsor yang baru
bangun. Agus langsung menjelaskan pada mereka apa yang terjadi. sekarang, ketua
tim diserahkan pada agus, sambil tergopoh-gopoh membopong A Deki, kami bergegas
berangkat pulang. Jika keadaan seperti ini, perjalanan membutuhkan sehari
semalam. Di kota mataram kami akan langsung mencari poliklinik terdekat untuk
mendapat perawatan.
“lu gak jadi ke puncak dong zen?”
“yang penting abang
nya udah mewujudkan cita-cita adiknya nya kan, kalo gw, nanti bisa kesini lagi
kapan-kapan,”
“tau gak zen, dulu gw pengen banget naik gunung Cuma kita
bertiga, lu, kholif dan gw”
“dan keinginan lu udah terwujud A Deki, gw, lu dan kholif”
sambil gw letakian telunjuk gw di dada A Deki
“dia ada disini, di hati kita masing-masing”
Bogor,
maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar