Laman

Minggu, 02 Februari 2014

Cerita Elok

Matanya sembap, dengan buliran air mata, terus membuncah di kelopak mata. Saat jarak untuk sampai di rumah sekitar 200 meter lagi, dengan melewati gang sempit yang hanya cukup satu motor lewat, ia bergegas mempercepat ayunan langkahnya.  Ia tidak peduli lagi bedak bayi di wajah yang mulai luntur, juga tidak peduli kalau rambut nya terlihat semerawut. Ah, siapa yang peduli. Toh Tuhan pun juga tidak peduli. Membiarkan hatinya hancur, dimusuhi satu sekolah untuk suatu kesalahan yang sebenarnya bukan ia penyebabnya.

Sesampainya di rumah, seperti anak gadis lainnya saat sedang dirundung masalah, ia mengurung diri dalam kamar, lalu bersembunyi di balik bantal dengan isak tangis yang tak lagi terbendung. Tidak pernah ia merasa sesendiri ini. Dan kenapa pula siang ini di rumah hanya ada ia sendiri. Trauma, Elok trauma untuk percaya lagi pada orang lain, walaupun itu adalah teman dekat. Dan jika kalian bertemu dia saat ini, bersiaplah menghadapi satu anak gadis yang tak pernah mau lagi punya teman. Baginya, teman sama dengan pengkhianat.
**

Elok dan Mutia adalah teman dekat dari sejak keduanya baru belajar berjalan. Tak terhitung berapa banyak hari yang mereka lalui bersama, saling menginap di rumah masing-masing karena letaknya  bersebelahan, saling meminjamkan boneka, saling berbagi kalau punya jajanan, dan saking dekatnya, masuk TK, SD, maupun SMP pun harus di tempat yang sama. Elok sudah menganggap Mutia adalah teman sekaligus saudara nya. Mutia pun merasa Elok adalah teman yang pantas ia bagi saat suka maupun duka. Apalagi Mutia adalah anak tunggal. Elok memberi banyak warna dalam hidupnya.

Mereka sekarang telah duduk di kelas 2 SMP. Walaupun berbeda kelas, keduanya masih sering berangkat dan pulang bersama. Bahkan, Elok yang jiwanya ada di pramuka, dengan senang hati pindah dan ikut Mutia masuk PMR. Tapi karena Mutia agak kurang menonjol di organisasi, Elok lah yang paling banyak mengambil peran di PMR.

Perlahan, keduanya mulai disibukkan dengan aktifitas masing-masing. Elok yang ditunjuk menjadi sekretaris PMR, plus dipercaya sekolah menjadi ketua drama untuk kompetisi antar sekolah, semakin tenggelam menjalankan kegiatan ekstrakulikulernya ini. Pun Mutia, yang sedikit manja dan boleh dibilang sering mendapat perhatian lebih dari para siswa laki-laki di sekolah, mulai disibukkan dengan pacar pertamanya, Ridwan. Tapi tetap, keduanya masih menyempatkan saling berbagi cerita walau hanya sebatas canda sepulang sekolah.

Suatu hari, Mutia berencana pergi ke Puncak bersama Ridwan. ibunya jelas tidak mengijinkannya pergi sendiri, makanya Mutia mengajak Elok untuk ikut. Tapi Elok memilih fokus pada kompetisi dramanya. Apalagi di hari yang sama juga, Elok mewakili PMR untuk mengikuti LCT yang juga antar sekolah. Dengan halus, Elok menolak ajakan Mutia. Tapi bukan Mutia kalau mudah menyerah. Mutia terus merayu Elok, menjanjikan bahwa Ridwan sangat pintar mengarang cerita, jadi sedikit banyak bisa menilai isi skenario dramanya Elok. Plus,"cowok gue itu pernah buat drama di sekolahnya, katanya sih dapet juara. Dia bisa bantuin lu buat bikinin properti drama sekolah kita. Percaya gue dah, dijamin menang nanti" Mutia semakin gencar merayu Elok.

Sebagai teman dekat, Elok sangat memercayai Mutia. Tanpa pikir panjang, ia melibatkan Ridwan untuk membantu membuatkan properti drama. Tidak tanggung-tanggung, sesuai arahan Ridwan, ia dan teman-teman drama sekolahnya, iuran 75ribu untuk keperluan properti. "Untuk menang, kita harus banyak berkorban kawan!" ucapnya penuh semangat.

Dan kalian tau apa yang terjadi? Sifat mudah percayanya Elok menjadi bumerang bagi dirinya. Mutia sudah putus dengan Ridwan, yang entah bagaimana, Ridwan langsung menghilang tak tau dirimba. Saat ditanya, Mutia hanya geleng-geleng kepala sambil menghindari tatap mata. "lu tanya dia aja langsung, gue udah ngelupain dia tuh"

Elok hanya bisa menutup mata, dengan rahang terkatup. Wajahnya memerah, hatinya bergejolak ingin menumpahkan amarah. Tapi tidak bisa, Elok tidak pernah bisa marah. Maka Elok memiilih pergi, kembali terisak dibalik bantal. Apakah pacaran semudah itu menghancurkan pertemanan seseorang? Elok tidak mengerti, tapi Elok mengerti kenapa harus membenci pacaran.

Saat hari H, semua benar-benar kacau. Properti seadanya, drama amburadul, dan tatapan kecewa semua tertuju pada satu pasang mata. Kekecewaan teman-temannya semakin memuncak, saat melihat Elok pergi meninggalkan acara drama karena harus ikut lomba LCT PMR. Dalam keadaan emosional seperti itu, kadang alasan yang masuk akal pun menjadi tidak layak diterima. Pembicaraan tentang Elok pun semakin merebak setelahnya. Tapi anehnya, Mutia tidak pernah ikut jadi kambing hitam.

Akhirnya, pihak sekolah memanggil Elok. Meski air mata darah terkuras habis sekalipun, tetap tidak ada yang percaya, bahwa, bahwa, ah, dikatakan pun tetap kalian tidak akan percaya. Terpaksa, ibu Elok mengganti uang iuran teman-teman untuk mengurai sedikit ketegangan. Terpaksa juga, Elok di pecat dari keanggotaan PMR, dan harus menerima bahwa satu sekolah, kini membencinya.
"awas, si penipu datang"
**

Disinilah Elok sekarang. Meminta belas kasih Tuhan dengan menyendiri. Ayah, ibu, ka Imam, dimana kalian?  "ka Imam? bukankah ka Imam ada di rumah sakit?" pikirnya dalam hati.

Elok tidak sempat mengganti baju putih biru nya. Ia bergegas membuka pintu kamar, melewati ruang tamu, dan berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit. Ka Imam, selalu ka Imam, dan hanya ka Imam yang tak pernah lelah menjadi teman berbagi hati saat suka maupun sedih. Elok rindu ka Imam, Elok rindu cerita-cerita petualangannya, sangat rindu.

Di rumah sakit, Elok berlari menyusuri lorong, bertanya sana sini pada perawat maupun dokter yang lewat, dan sampailah Elok di ruangan berkaca hitam, terletak di paling ujung koridor dengan bau obat menyengat. Tapi apa yang Elok lihat, hanya ranjang kosong, dengan tikar yang masih tergelar di lantai. Kemana? Elok bertanya kemana ka Imam dibawa?

"Elok?" terdengar suara lembut agak serak memanggil nya dari belakang.

"mama? ka Imam dimana ma?" seketika Elok membalikkan badan, berlari dan menjatuhkan diri dalam rangkulan perempuan setengah baya di depannya. Elok menangis di pelukan ibunya, yang juga dibalas dengan suara tangis ibunya.

"ayo pulang nak, ka Imam sudah menunggu di rumah" Elok mengangguk pelan, senyum tipis terlukis di bibir tebalnya. Yang ia bayangkan sekarang adalah, ka Imam sudah pulang, yang artinya pasti sudah sembuh.

Tapi bukan itu kenyataannya. Tuhan punya rencana untuk Elok, yang sekarang ambruk di ruang tamu, di dekat jasad kakak kebanggaannya. Lengkap sudah Tuhan membiarkan Ia sendiri sekarang. Ya, ia sendiri sekarang.

Elok terpaku menatap halaman rumahnya sambil duduk di beranda. Ditemani secangkin teh susu hangat kesukaannya yang sekarang sudah dingin karena tidak ia sentuh sejak 5 jam lalu. Tidak ada kata terucap, meski serentetan kata tanya bergantian meluncur dari beragam bibir. Sudah 5 hari Elok tidak berangkat sekolah. Kesendirian memberangusnya kini.

Lalu sesuatu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Sesuatu yang ia ingat saat melihat dua anak kecil saling berkejaran di halaman rumah. Satu anak laki-laki berumur mungkin 10 tahunan, yang sedang mengejar anak perempuan sekitar berumur 5 tahun, mungkin adiknya.

"kaka, kalau aku udah gede, aku mau jadi doktel!"

"kata ayah, jadi doktel itu halus pintal, dik. Kamu halus banyak belajal"

"kan ada kaka yang selalu ngajalin adik. Jadi aku pasti pintal, hehe"

"ya sudah, nanti kita sekolah baleng ya, ampe tinggiiii sekolahnya"

"iya kak, asalkan baleng kaka"
**

Elok tak peduli lagi tatapan sinis teman-teman sekolahnya. Masa lalu biar lah tetap berada di belakang. Tuhan pasti akan membuka semuanya kelak. Sekarang, ada masa depan yang layak diperjuangkan. Elok percaya, saat orang lain menjatuhkan kita, ada segudang kebaikan yang bisa dijadikan amunisi untuk membalasnya. Elok tetap mencoba tersenyum, menyapa siapapun walau tak pernah berbalas. Elok tetap bahagia. Elok ingin memberi bukti lewat prestasi. Untuk ka Imam, ayah, ibu yang tak pernah lelah mendukungnya di saat titik terendah sekalipun.

Maka sepulang sekolah, Elok langsung menenggelamkan diri dalam lautan buku pelajaran. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan, dan mencari teman, untuk yang ini Elok masih trauma. Hasilnya, jadilah ia berada di puncak juara umum sekolah, diterima di SMA terbaik sekotanya, dan bertemu dengan beberapa wajah baru. Mungkin ini saatnya bagi Elok untuk membuka diri.

Dan entah bagaimana, Tuhan telah menjelaskan semuanya. Ya, dengan cara yang tidak ia tahu.

Di suatu siang sepulang sekolah. Tiba-tiba saja di rumah, sudah berkumpul banyak orang. Saat ia berucap salam, belasan orang langsung menghambur memeluknya. Menangis tulus, meminta maaf atas kesalahan di masa lalu. Ah, indah sekali hidup ini. Dalam suasana haru itu, ia mencari satu wajah yang sangat ia harapkan ada juga saat ini. Wajah yang semenjak TK sudah menemani hari-harinya. Wajah yang bagaimanapun dulu sangat ia benci, tetap masih ada ruang dalam hatinya untuk rasa sayang. Tapi sayangnya, Mutia tidak ada.

Mess putra LAJ Jambi, 1 feb 2014