Laman

Kamis, 31 Oktober 2013

nenek Mareta

Perlahan Karel mendorong kursi roda berisi seorang nenek berumur 70 tahunan menuju sebuah rumah kayu, dengan bunga tulip bertumbuhan di halamannya, memberi kesan asri dan damai. Saat melewati pagar, mungkin sekitar 20an orang tua seumuran nenek Mareta, nenek nya Karel bejubel memasuki pintu rumah dengan beranda berlantai kayu. Tapi yang memakai kursi roda hanya nenek Mareta seorang.

Perkumpulan ini adalah perkumpulan para orang tua lanjut usia, tetapi bukan panti panti jompo. Ya walaupun fungsinya mirip-mirip lah. Para orang tua lanjut usia ini dibawa oleh keluarganya setiap 3 hari dalam satu minggu, senin, rabu dan jum’at, dari jam 8 pagi hingga jam 10 untuk beraktifitas apa saja di dalam rumah yang ditempati seorang gadis bernama Anggun. Gadis yang menjadi guru kesenian di sebuah sekolah swasta terkenal di kota ini.

Kegiatan yang sering mereka lakukan banyak. Dipimpin oleh Anggun, mereka menyanyi paduan suara sembari diiringi dentingan piano yang dimainkan Anggun. Jangan kalian kira meski nenek-nenek dan kakek-kakek disini berasal dari budaya jadul alias jaman dulu, yang mereka nyanyikan justru lagu-lagu hits jaman sekarang. Sebut saja Bruno mars yang Just the way you are, atau  lagu rock ala Avenged sevenfold yang dear god, di tangan Anggun, sukses mereka nyanyikan. Ya suara mereka gak terlalu bagus-bagus amat sih, yang penting semangat dan keceriaan menyanyi mereka itu lah yang membuat Anggun, rela menyediakan waktu nya untuk berinteraksi dengan manusia yang 3 kali lipat lebih tua darinya, tentu tanpa bayaran. Kadang juga mereka melakukan berbalas pantun, berpuisi, bercerita mengenai kesan hidup, meditasi hingga menari-nari gaya bebas. pokoknya mereka bebas mengekspresikan apa yang ingin mereka lakukan. Semua begitu bahagia datang ke tempat ini. Pun dengan nenek Mareta, nenek yang merupakan satu-satunya keluarga yang sekarang dimiliki Karel begitu ceria saat datang ke tempat ini.

Sebenarnya Karel menganggap kegiatan ini biasa saja. Ia hanya ingin membuat nenek Mareta bahagia. Bagaimanapun, dahulu yang mengurus, membahagiakan, juga menyekolahkan adalah nenek Mareta seorang. Mana tega nenek Mareta diwaktu tuanya, tidak ia urus, tidak ia bahagiakan. Sambil sesekali mendengar nyanyi-nyanyi dari dalam ruangan, Karel menunggu di beranda rumah. Duduk di atas kursi dengan mata dan tangan tertuju pada laptop barunya. Pekerjan Karel adalah penulis. Dan walaupun tulisan2 nya penuh emosi, menggugah, ekspresif, sungguh berbeda sekali dengan karakter Karel di dunia nyata. Ia begitu dingin, datar, pesimis, tidak peka, dan mementingkan ego sendiri (diluar kepentingan neneknya yak).

Selesai pertemuan, seperti biasa sebelum beranjak pulang, Anggun, yang kentara sekali adalah seorang yang ekspresif, tersenyum manis kepada Karel dan Mareta. Dari bahasa tubuhnya, Anggun mungkin tertarik dengan Karel, begitu yang terlihat.

Di dalam mobil hybridnya, Karel menyetir pelan. Di sampingnya, nenek Mareta duduk sambil memandang kesibukan kota. Lalu memulai percakapan. “minggu depan kita ikut kompetisi paduan suara lho Karel, hari minggu jam 10 pagi. Nenek sudah tidak sabar menunggu hari itu”.
“Oya? Siapa yang mau menonton kakek2 dan nenek2 menyanyi lagu rock?” aura negative Karel mulai menyebar.
“Asal Karel dan Anggun yang nonton, itu sudah cukup membuat nenek bahagia.” Ucap nenek Mareta lembut, tidak pernah terpengaruh pesimistis melankolis Karel.
“Ngomong2 tentang Anggun, kau sudah lebih dari 30 tahun Karel?” sekarang nenek Mareta memandang Karel yang sedang focus menyetir.
“apa hubungannya umur ku dengan Anggun?” jawab Karel datar.
“kau belum menikah Karel, jangan jadi bujang lapuk, gak baik” nenek Mareta berubah jadi tukang ceramah. Membuat Karel gerah.
“belum waktu nya nek, aku masih ingin membujang dulu, mengurus nenek dulu,” jawab Karel sekenanya.
“justru itu, nenek akan mudah diurus kalau kamu sudah beristri. Nenek pikir Anggun gadis yang baik, dan dari cara dia melihat mu, nenek yakin dia suka sama kamu”
“oya?, kurasa gadis itu suka pada orang yang salah”
"sudahlah! lupakan masa lalu, kamu harus membuka hatimu, jangan terus2an seperti ini Karel"
“tidak bisa nek, maaf. Untuk saat ini, Karel hanya ingin menikmati kebersamaan kita. Cukup itu, nek."
nenek nya diam sejenak, lalu berucap pelan. "nenek ingin sekali menimang cucu Karel, emh, dalam kasus mu mungkin disebut uyut,"tersenyum sebentar, lalu melanjutkan "waktu nenek gak banyak lagi Karel", ia terus terenyum. Ucapan terakhir nenek Mareta tadi, menyedot perhatian Karel hingga memutuskan untuk menepikan mobil.
“plis, nenek jangan bilang begitu, Karel masih butuh nenek, Karel tidak punya siapa2 lagi selain nenek" mata Karel mulai berkaca, menatap perempuan yang paling ia sayangi disampingnya seperti anak kecil.
"berjanji lah Karel, kamu akan mencari pendamping hidup, atau gak usah dicari, nikahilah Anggun, dia gadis baik Karel" nenek memegang lembut tangan Karel, lipatan-lipatan kasar kulit nenek begitu terasa di tangan Karel.
"emh, ya mungkin, akan Karel pikirkan nanti, "ucap Karel bersiap menghidupkan lagi mobilnya, Neneknya kemudian menatap sendu, matanya berkaca, "owh, nenek, jangan menatap Karel seperti itu",
"maka berjanjilah Karel, nikahi Anggun" suaranya mantap terdengar.
"Baiklah, demi nenek, aku akan melamar Anggun,"
“Yes!” nenek Mareta mengepalkan tangan. Seperti anak TK saja.
"entah kapan tapi" pelan sekali Karel mengucapkan itu, tidak terdengar neneknya.
**

Sehari sebelum kompetisi, di suatu pagi, awan mendung menggelayut di rumah Karel. Nenek yang begitu ia cintai, terbujur kaku di atas tempat tidurnya. Karel tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia duduk memeluk lutur di pojokan kamar, menatap kosong ke arah nenek yang padahal kemarin malam masih sering menggodanya tentang Anggun. Pikirannya kalut, gelap, kesal, kecewa, marah, menyesal, semua bercampur dengan tangis yang memilukan siapa yang mendengar. Setelah 1 jam, saat dirasa mental nya sudah siap, barulah ia menelpon ambulance.

Di pemakaman, awan menitikkan air matanya ke bumi, seakan ikut berduka atas kematian nenek Mareta. Karel masih berdiri, menatap nisan neneknya. Anggun, orang terakhir yang menemani Karel di pemakaman, mendekati Karel dan meneduhinya dengan payung yang ia bawa. “yang tabah ya mas” ucap Anggun pelan tapi masih terdengar. Karel tetap tidak menggubris, tidak peduli. "tolong tinggalkan aku sendiri, kumohon" ucap Karel dingin tanpa memandang Anggun. Anggun pun pergi meninggalkan Karel sendiri dalam hujan. Ia tahu, Karel sedang butuh kesendirian saat ini, untuk mengobati kekosongan hatinya.
**

Hari rabu, saat jadwal pertemuan teman2 nenek Mareta, Karel datang dan duduk di beranda rumah Anggun. Ia tidak membawa laptop seperti biasanya, hanya terdiam mendengarkan aktifitas orang tua dalam ruangan. Ketika pertemuan selesai, Anggun begitu kaget mendapati Karel sedang duduk di beranda rumahnya.
"apa kedatangan ku mengganggu mu?" tanya Karel datar. Matanya ia alihkan menatap nenek2 yang melambaikan tangan dari dalam mobil.

Dengan mata berbinar, Anggun yang masih kaget sekaligus senang, menjawab antusias, "oh tidak, aku senang mas datang, ada apa?, Oya, aku ambilkan teh dulu ya"langsung Anggun berlari ke dalam dapur, meracik teh melati kesukaan Karel, membawa biskuit, dan dengan nampan membawa nya ke beranda rumah. Matanya melongo, saat menatap kursi di beranda kosong, Karel sudah pergi entah kemana.

Pun dengan hari jumat, Karel sekali lagi datang. Tapi kali ini, sebelum pertemuan selesai, ia sudah pergi lagi, Anggun yang kebetulan menatap keluar jendela, melihat punggung Karel menjauh.

Hari senin pun, Karel masih datang. Malah lebih sebentar. Datang, duduk di beranda, setelah 5 menit memejamkan mata, ia pergi lagi. Anggun masih menatapnya lewat jendela.

Di hari rabu, kali ini teh melati dan biskuit sudah tersedia di meja. Berharap Karel menunggu dan menyicipi teh melatinya. Dan alangkah senangnya, Anggun mendapati teh melati itu berkurang separuhnya saat pertemuan selesai.

Saat jumat kembali menyapa, kali ini Karel duduk lebih lama. Ia lupa membawa payung, dan malas pulang hujan2an. Jadilah ia menunggu lebih lama di beranda rumah Anggun, menunggui hujan sambil menyeruput teh melati hangat kesukaannya. Saat para orang tua beranjak pulang di jemput keluarga masing2, Karel masih termenung menatap hujan. Anggun yang saat itu memakai kemeja kuning cerah, dengan daster warna abu2, dan memakai rok panjang kotak2, keluar sumringah dan duduk di kursi lainnya, disamping Karel.
"maaf aku datang lagi kesini, terima kasih teh melati nya, aku suka" Karel berucap datar, membuka percakapan.
"ya, tidak apa2, aku senang mas datang, dan ya, nenek Mareta yang memberi tahu aku tentang teh melati itu". Beberapa menit kemudian tidak ada percakapan, hanya terdengar suara tetesan hujan jatuh menimpa tanah, bergemericik. Akhirnya Anggun berkata lagi. "boleh aku tahu alasan kenapa mas setiap jadwal pertemuan selalu datang kemari?" Anggun menyelidik, takut2 omongannya terlalu menusuk.

Karel menghela nafas panjang. Menatap orang-orang yang berlarian di jalanan sejenak, lalu berkata datar. "saat aku datang kesini, aku merasa nenek masih ada, hanya itu alasannya"
Sebenarnya Anggun berharap lebih dengan alasan yang diungkap Karel, tapi benar juga, Karel tipe orang yang datar, dingin, ketus, dan tidak peduli sekeliling. Tidak mungkin bisa berkata romantis.
"aku juga sebenarnya ada urusan dengan mu" lanjut Karel lagi, kali ini menatap sebentar Anggun, lalu memalingkan lagi menatap hujan.
"oya?, apa itu?" Anggun mulai berharap2 cemas.
"aku punya janji dengan nenek, aku akan melamarmu" diam sebentar, lalu melanjutkan, sesaat rona muka Anggun memerah, "tapi aku harap kau menolak lamaran ku". Anggun mengernyitkan dahi, bingung, keterus terangan ini begitu cepat baginya, satu kalimat menyanjungnya, dan kalimat lain menusuk tepat di ulu hatinya, menyakitkan.
"ke,,,napa?" tanya Anggun terbata. "aku ,,aku,, tidak mungkin menolak lamaran mu mas" matanya mulai berkaca-kaca.
"rasa ‘sayang’ dalam hatiku bertahan hanya untuk nenek, setelah itu ia lenyap bersama tanah yang mengurug nenek di pemakaman, kau akan sengsara saat menikah dengan ku"
"tapi,, tapi , aku mencintai mu mas, tidak bisa kah kita memulai sesuatu yang baru?"
"maaf, kau mencintai orang yang salah Anggun,"hujan mulai mereda, Karel bersiap2 untuk beranjak pergi, sementara Anggun mulai tepekur, buncah tangisnya tak tertahankan lagi.
"apa karena ayah ibu mas yang menelantarkan mas waktu kecil, hingga kasih sayang itu hilang tak berbekas?" Anggun memberanikan diri menatap Karel yang mulai berdiri. Karel terpaku sebentar, pasti nenek Mareta yang memberi tahu Anggun tentang masa lalunya.
"kau tidak tahu masa lalu ku," diam sebentar, lalu menatap Anggun, "terima kasih tehnya, semoga kau menemukan orang yang tepat, dan mungkin, setiap jadwal pertemuan kalian, aku akan selalu datang dan duduk di beranda ini, ku harap kau mengijinkan. Sampai jumpa" Karel sudah melangkah menuruni tangga beranda. Anggun dengan harapan yang masih ia percayai, berkata lirih, membuat Karel berhenti melangkah "dan aku akan selalu menunggu mas disini. Selalu"
Karel setengah menoleh, lalu berkata. "do whatever you want, I dont care". Ia pun pergi menghilang bersama kabut yang tersingkap sinar mentari.

mess putra LAJ JAMBI, 30 Oktober 2013

Sabtu, 26 Oktober 2013

Kahfi rindu pelukan abi


"Kahfi, sini Kahfi, ini ada telepon dari abi, sini nak!" teriak perempuan berbalut jilbab biru muda pada anaknya. Sementara Kahfi, yang tadi dipanggil, menjawab datar dari dalam kamar. "umi, maaf, Kahfi lagi sibuk ngerjain peer,"
"sini dulu Kahfi, ini abi kangen sama Kahfi,"teriak umi nya lagi. Sekarang Hanum menaiki tangga menuju kamar Kahfi.

Saat hendak membuka pintu kamar Kahfi, tiba-tiba kamar terbuka dari dalam, dan sambil terburu-buru, Kahfi mencium tangan uminya, lalu berkata datar, "Kahfi ke rumah imam dulu mi, mau pinjam buku.", tanpa menoleh Kahfi langsung bergegas berlari menuruni anak tangga, mengambil sandal dan keluar rumah secepat yang ia bisa menuju rumah imam, teman sebangku di kelas 1 SD nya.

Dari sebrang pulau, dari dalam hape, terdengar desah keluh seorang laki-laki, "Kahfi marah sama abi ya mi?"
"gak tau, mungkin iya, abi kapan pulang kesini?"
"abi emang salah apa yak?, ko Kahfi bisa kaya gitu, apa umi kurang kasih dia jajan?"
"malah Kahfi gak pernah minta jajan abi, dia nerima berapapun yang umi kasih"
"ya kah?, atau mungkin ada masalah di sekolahnya?, mungkin ada musuh di kelas nya?"
"setau umi, Kahfi orangnya pandai bergaul. Kata wali kelasnya, Kahfi disukai teman-temannya"
"yasudah, umi, nanti abi telpon lagi yak, mau beresin laporan dulu. kalau ada apa-apa telpon abi yak,"
"iya abi, pasti!. Hati-hati disana ya abi, jangan kebanyakan makan pedes, nanti sariawan lagi, terus itu vitamin C jangan lupa di makan, sama madu nya juga, dan jangan banyak begadang, jaga kesehatan, oya, ibadahnya juga di jaga, kita harus jadi agent muslim yang baik, jadi lah teladan disana, terus berbuat baik dengan perilaku, katakan apa yang dilakukan, lakukan apa yang dikatakan, dan jangan nyari coba-coba istri lagi disana yak, hehehe"
"ya ampun, ini pesan nya banyak banget, nyari istri lagi?, wah, gagasan yang bagus umi, patut dipertimbangan itu"
"aaakkk, abiiii,,!!!! awas aja kalo nyari istri lagi, di bom hiroshima gera Jambi nya."
"hihihi, tenang, sepertinya sesorang yang bernama Hanum selalu nempel 5 cm didepan mata, jadi kemanapun memandang, wajahmu selalu terbayang, ihiyy"
"iihhh, gombeelll,"
"hehe, biarin, emang beneran ko"
"abi juga, seseorang yang bernama Rangga, selalu nempel 4 cm di depan mata umi, wajah abi juga selalu kebayang terus nih, horor."
"jeh, ko horor sih, eh, ralat, nama umi nempelnya 1 cm depan mata ding, jadi nama umi paling dekat ke mata abi"
"wah, umi juga ralat, nama abi nempelnya 0,0001 cm didepan mata umi, lebih dekat lagi hayo,"
"haha, ini kenapa jadi ngomongin cm-cm an. Sudah sudah. Nama kita mah sudah saling melekat erat di hati masing2, umi baik-baik disana, kasih tahu Kahfi, sebulan lagi abi pulang, dadah umii,, wassalamualaikuuum"
"Sipp, waalaikum salaaammm". Sambungan terputus.

Setelah percakapan itu, beberapa hari kemudian, di suatu senja, saat Rangga lelah dengan aktifitasnya menjadi manager estate di sebuah perkebunan karet daerah Jambi, ia menerima lagi telpon dari uminya.
"assalamualaikum umi sayang, ada apa umi?"tanya Rangga antusias, baginya, suara uminya selalu bisa memberi kekuatan selelah apapun badannya. Sementara itu di sebrang telpon, terdengar isak tangis seorang perempuan.

Ia mengambil nafas dalam2, mengelap ingus yang meler, Hanum berucap lirih "Waalaikum salam, abi, umi tau kenapa Kahfi terus menghindar, tidak mau nerima telpon abi, juga tidak meminta uang jajan. Abi harus buka email dari umi sekarang, bacalah, ada pesan dari anak kita, untuk umi untuk abi." tak perlu di perintah dua kali, Rangga cepat-cepat membuka situs penyedia layanan pesan elektronik paling terkenal, log in sebentar, dan mendapati email baru yang belum dibaca, dari uminya.

Hatinya berdesir saat membaca tulisan itu, beberapa lelehan air mata tak tertahankan menetes. Membuatnya semakin merasa bersalah. Mau aku tuliskan isi tulisannya, Baiklah, ini tulisan yang dibuat oleh anaknya, yang membuat Rangga tidak bisa tidur semalaman, berdiskusi panjang lebar melalui telpon dengan uminya, berkeluh kesah dengan Tuhannya di sepertiga malam, dan mengambil keputusan terbaik di pagi harinya.

untuk abi ku tersayang.
Assalamualaikum,
akhirnya, Kahfi ngeberaniin diri juga bikin tulisan untuk di kirim ke blog. Makasih untuk umi yang udah ngajarin Kahfi ngeblog ya, Kahfi suka baca-baca blog nya umi, juga abi.
Tapi Kahfi bingung nih, mau nulis apa yak, yaudah deh, Kahfi tulis perasaan Kahfi aja.
Tulisan ini Kahfi tulis untuk abi, di Jambi sana.

Abi, sekarang Kahfi udah bisa ngitung abi, Kahfi mau ngitung hari libur abi ya, kalo salah, dibenerin ya abi.

Abi libur 2 bulan sekali, selama 8 hari. Abi juga punya waktu libur cuti 12 hari, cuti hari raya 2 hari. Kalo di jumlah semuanya, dalam setahun abi punya jatah libur 62 hari. atau dua bulan lebih dua hari ya. Itu pun belum perjalanan dari Jambi ke Jakarta nya. Jadi dikurangi 10 hari ya abi, jadi 52 hari.
Miris ya abi, dari satu tahun, atau 365 hari, waktu kebersamaan Kahfi, abi dan umi hanya 52 hari. berapa persen nya itu yak?, aduh, ibu guru belum ngajarin persen-persenan nih.

Awalnya Kahfi ngerasa baik-baik aja abi, abi kan pergi ke Jambi buat kerja, bukan buat main-main. Tapi kesini-kesini Kahfi mulai sering iri abi. Aduh, ini kalau umi denger, pasti di omelin. Kan kita gak boleh iri yak umi.

Tapi abi, Kahfi sudah gak kuat lagi. Kahfi ngiri liat abi nya Imam, selalu ada di rumah, ngajarin imam peer, main kuda-kudaan, mancing bareng. Kalo mancing, Kahfi suka di ajak juga abi. seru lho mancingnya. Coba kalo abi yang ngajak mancing, bareng umi. Pasti seru.

Abi, 2 bulan itu terlalu lama abi, Kahfi ingin sekali bertemu abi. Solat berjamaah di rumah bareng umi, ngajarin Kahfi bikin peer, belanja buku bareng, Kahfi sekrang suka baca buku-buku nya di perpustakaan rumah kita abi,  mungkin juga nanti abi bisa ngajarin Kahfi nulis yang bagus di blog.
Yah, tapi itu cuma keinginan aja, Kahfi gak bisa maksa abi untuk berhenti kerja di Jambi. Abi lebih tahu apa yang terbaik untuk keluarga kecil kita.

Maaf ya abi, kemarin Kahfi gak mau nerima telpon dari abi. Kalau Kahfi denger suara abi. Kahfi gak kuat, itu membuat Kahfi semakin rindu pelukan abi.

Oya, Kahfi bukan tidak berani bercerita langsung ke abi. Kahfi takut keinginan Kahfi menjadi beban untuk abi.  Maka Kahfi pilih menulis di blog. Semoga aja abi suata saat bisa ngebaca nya.
Sekali lagi maafkan Kahfi abi, umi. Kahfi gak mau jadi anak durhaka. Dalam doa setelah solat. Kahfi selalu berdoa. Semoga abi dapat pekerjaan yang dekat rumah. Aminn.

Kahfi sayang abi dan umi,
Kahfi rindu pelukan kalian.

Dua hari kemudian.
Alarm berdering tepat pukul 3.30 pagi. Berat sekali Kahfi membuka mata. Tapi karena udah terbiasa, dalam keadaan terpejam, ia paksakan bangun dari ranjang. Eh, tumben umi tidur di samping Kahfi,
"umi-umi bangun, kita solat tahajud yuk!" Kahfi menggerak-gerakan bahu uminya.
"bangunin abi juga dong Kahfi" suara agak berat terdengar di balik selimut di samping kanan Kahfi. lalu selimut itu tersingkap. Membuat kahfi, menyungging senyum dengan mata berbinar. "brukkk" Kahfi menghambur memeluk abinya. Erat sekali, lalu menangis. "abi pulang, kenapa gak bilang?," si abi yang udah bangun, cuma bisa ngusap2 rambut Kahfi sambil membalas pelukannya. "surprise". Umi nya pun yang sudah terbangun, ikut memeluk kedua laki-laki yang paling disayanginya.
"sudah pada ngambil wudu sana, setelah subuh, abi ajak kalian jalan-jalan"


Mess putra LAJ Jambi. 26 Oktober 2013

Minggu, 13 Oktober 2013

Jaga baik-baik putri ayah nak, Tolong


Lihatlah, laki-laki tua itu menatap sendu ke arah gadis di depan cermin. Ia perhatikan, begitu cekatan penata rias memoles, mendempul, memutihkan wajah gadis itu. Sesekali gadis yang ia pandang, tersenyum manis ke arah yang menatapnya.
“aku cantik kan ayah?” Tanya si gadis memandang laki-laki tua di dalam cermin. Dibalasnya dengan anggukan dan senyuman oleh lelaki yang dipanggilnya ayah.

Lelaki tua itu terus saja memerhatikan gadis kecilnya dipasangi bedak ini itu, lipstick sewarna bibir hingga gincu yang membuat wajahnya berbeda sekali dengan hari-hari biasa. Meski matanya tetap memandang ke arah si gadis, pikirannya menerawang melompati ruang dan waktu. Mengingat wajah kecil berkepang dua yang selalu merepotkannya. Punya anak gadis satu-satunya memang selalu merepotkan.

Gadis kecil berkepang dua itu bernama Dinara. Saat itu, ibu Dinara sedang sakit. Maka tugas mengantar Dinara pergi sekolah menjadi milik si ayah. Sesampainya di sekolah taman kanak-kanak, setelah mengantarkan Dinara masuk ke dalam kelas, si ayah beranjak pergi untuk bekerja.

“Ayaahhhhh” teriak Dinara sambil berlari kecil menghampiri ayahnya.
Si ayah lalu berjongkok menyejajari Dinara. “ada apa Dinara?, ayah harus bekerja dulu, nanti siang ayah jemput ya”ucap si ayah lembut.
“sinikan kunci motornya!” perintah Dinara tegas. Membuat ayahnya bingung dan memberikan kunci motor begitu saja. Dengan cekatan Dinara langsung menyambar kunci motor dari tangan si ayah, lalu berlari kecil masuk kedalam ruang kelas. Tidak memedulikan tatapan berkerut kening si ayah.

Bukan Bisri kalau tidak mengerti maksud Dinara, si ayah tahu kalau Dinara tidak mau ditinggalkan. “bolos sehari gapapa lah”gumam si ayah pelan. Lalu berjalan ke arah jendela melongok Dinara dari luar.

Guru Dinara memulai pelajarannya, kali itu adalah jadwal kelas bercerita. Pelajaran yang paling disukai Dinara. Eh, ko Dinara malah celingak celinguk mencari sesuatu. Dan sepertinya yang dicari tidak ia temukan. Dinara mulai menangis. Yupp, ia akhirnya menemukan yang dicari, -ayahnya- yang sedang asik duduk mengobrol dengan penjual bakso di luar kelas. Dinara cepat2 keluar kelas, berlari menghampiri ayahnya.

“ayah, sini masuk!, orang tua temen2 Dinara pada masuk semua, ayah juga harus masuk, Dinara gak mau sendirian ayah” rengek Dinara sembari menarik-narik lengan ayahnya, masih manangis.
“ayah malu Dinara, di dalam ibu-ibu semua”bujuk si ayah pelan, lalu mengusap pipi Dinara dengan baju kemejanya.
“gak mauuu, ayah harus masuk!, temeni Dinara, ayokk” tangis Dinara makin menjadi. Aihh, ayah mana yang tega melihat putri semata wayang nya menangis seperti itu. Ia buang ia punya rasa malu, menggendong Dinara, mengecup keningnya dan menghiburnya. “iya ayah temenin Dinara deh”. Yang digendong sesegukan senang lalu tersenyum dan memegang erat tangan si ayah, erat sekali. Aduhai, walau masih kecil, manis nian senyum Dinara. Jangan kan seharian, seumur hidup pun si ayah rela menemani Dinara.


Si ayah juga ingat, Dinara kecil begitu pemalu sekali kalau mau di foto. Entah kemana Dinara selalu berhasil kabur saat ada sesi pemotretan sekolah. Si ayah kelimpungan saat itu mencari Dinara yang ternyata ngumpet di kantin. Eskrim, ingat sekali si ayah membujuk Dinara untuk foto bersama teman sekelas dengan janji akan dibelikan eskrim. Dan Dinara mengangguk setuju. Tapi rupanya rasa takut Dinara belum hilang. Dinara menghampiri si ayah dan bersembunyi dibelakang kakinya.

“ada apa Dinara?, kan nanti ayah belikan eskrim,” bujuk si ayah sambil mengelus-elus rambut yang tidak dikepang dua lagi.
“Dinara fotonya ingin ditemani ayah”rajuk Dinara terbata tanpa membalas tatapan si ayah. Ujung bajunya ia plintir-plintir meminta persetujuan.
"ayah dikira masih SD nanti Dinara"canda ayah. Tapi dinara tetap menggeleng lemah. Setelah berdiskusi dengan guru kelas, jadilah si ayah terpampang pada selembar foto yang kini dipegangnya. Aih, lihatlah, beda sekali dengan Dinara yang sekarang.
**

Semua sudah berkumpul. Wali hakim, perwakilan KUA, keluarga mempelai laki-laki maupun perempuan, sahabat, mas kawin, dan Alif, laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga si ayah. Wali hakim meminta Si ayah menjabat tangan Alif, tanda ijab kobul pernikahan akan segera dimulai. Terlihat si ayah mulai gundah, posisi duduk berulang kali berubah, banyak sekali yang ia pikirkan. Apalagi kalau bukan mengenai permata hati semata wayangnya, Dinara.

Bagi si ayah, ijab kobul adalah proses penglepasan tanggung jawab. Menyerahkan sepenuhnya buah cintanya, kepada lelaki yang ia jabat tangannya sekarang. Buah cinta yang sedari kecil ia rawat dengan segala cinta yang ia punya, ia bina, ia besarkan dengan peraturan-peraturan yang mungkin menurut orang lain terkesan mengekang. Bukan, bukan mengekang, baginya Dinara adalah jalan cintanya menghadap sang pencipta kelak. Tidak ingin Dinara disakiti oleh lelaki yang belum tentu jadi suaminya. Tidak ingin ada celah Dinara menjadi penggusurnya ke neraka. Dinara harus tumbuh menjadi perempuan baik, perempuan terhormat yang menjaga aurat tubuhnya juga keluarganya. Ia harus bisa jadi calon ibu yang kelak membawa cucu-cucu nan lucu penghafal Alquran. Ia ingin Dinara selalu dekat dengan Tuhannya.

Maka jangan salahkan si ayah yang terus sesegukan menahan haru tangis, terbata mengeja kalimat ijab yang tak rampung jua terkata. Aduhai, siapa yang tak terharu melihat sang ayah masih tergugu. Ada yang menatap sendu, ada yang terpaku tak bisa menahan sedu, ada juga yang tidak mengerti kenapa laki-laki yang biasa tegas, ko’ jadi begitu. Wali hakim, sekali lagi mengingatkan. “Ini yang terakhir ya pak, yang ketiga. Pak Bisri harus bisa”

Dengan lembut, Alif menjabat tangan si ayah dengan kedua tangannya. Menatap lamat-lamat laki-laki yang masih tertunduk di depannya. Ia sungguh mengerti apa yang terjadi dengan si ayah. Ia berujar pelan, dengan intonasi selembut dan semeyakinkan yang ia bisa.

“wahai ayahanda,” yang dipanggil masih tetap menunduk, tapi mendengarkan.
“saya tahu begitu berat melepas putri kecilmu. Meski saya belum menjadi seorang ayah. Sungguh saya sangat mengerti perasaan ayahanda. Demi Tuhan dan Agama Muhammad yang saya yakini, tidak akan seujung rambut pun saya sakiti putri ayahanda, tidak akan. Wahai ayahanda, akan saya buat bidadari2 surga disana cemburu pada Dinara. Saya janji ayahanda, saya janji, insya Alloh. Maka sekarang lepaskanlah tanggung jawab itu, biarkan saya yang memikulnya. Menjaga Dinara dengan seluruh hidup saya.”Alif masih menjabat erat tangan si ayah yang sudah balas menatap. Lalu si ayah menghela nafas panjang.

“Saya nikahkan putri saya Dinara binti Bisri dengan saudara Alif bin hasan, dengan maskawin seperangkat alat solat dibayar tunai”, dengan lantang, sigap dan penuh penekanan Alif menyambar kata terakhir si ayah, tanda penerimaan, “saya terima nikahnya Dinara binti Bisri dengan maskawin seperangkat alat solat dibayar tunai”

"SAH", teriak wali hakim, di sambut ucap tahmid dari setiap mata yang menyaksikan.
Si ayah langsung menghambur memeluk Alif, lelaki yang ia percaya pantas membawa gadis kecilnya ke surga. “jaga baik-baik putri ayah nak, Tolong.”. Alif dengan haru membalas pelukan si ayah. "baik ayahanda, saya janji, Insya Alloh"

Dari balik tirai, aduhai perempuan manis berbalut baju pengantin putih berulangkali menghapus lelehan air mata di pipinya. Tak perduli omelan penata rias yang mengeluhkan make up yang mulai luntur.
“tolong bersihkan saja wajahku, tak mengapa. Aku tak ingin membuat suami ku juga ayah, menunggu untuk melihat wajahku”

Kawan, Sejatinya memang pernikahan adalah proses penglepasan tanggung jawab seorang ayah terhadap anak gadisnya, menyerahkan sepenuhnya ia yang dari kecil Engkau besarkan, kepada lelaki yang engkau percayai bisa mengemban tugas menjaganya. Tapi meski begitu, kau masih tetap berhak dihormati si gadis dan suaminya. Berhak juga dimintai saran untuk kelangsungan rumah tangga mereka. Jadi tetap kau ada tanggung jawab terhadap mereka.

Untuk mu wahai suami, beban mu kini bertambah, malah semakin berat. Tetapi jika kau dekat dengan Tuhan, dan paham bagaimana membimbing istrimu, sungguh tidak akan terasa beratnya. Maka cintailah ia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saling melengkapi dan menyempurnakan.

Dan untuk mu wahai si gadis kecil. Kini kepatuhan mu murni untuk suami. Ridho tuhanmu ada di ridho suami. Kau tidak lagi sebebas hari kemarin. Kau bertanggung jawab menjaga aib suami, membuat ia selalu bahagia diatas kebahagiaan dirimu. Maka cintailah ia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saling melengkapi dan menyempurnakan.

Mess putra, Jambi. 13 Oktober 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

Cinta pandangan pertama asisten dokter gigi


“Mba, ini klinik dokter gigi kan?” Tanya seorang laki-laki yang baru saja membuka pintu, berkemeja hitam, bercelana kargo, wajah agak kehitaman-mungkin banyak terpapar matahari, Jambang yang tidak terlalu lebat tapi aduhai serasi sekali dengan janggut tipis yang tertata rapi di dagu, plus kumis bekas di potong menambah kesan laki-laki dewasa yang bener-bener dewasa. Eh yang ditanya malah asik menatap mata lelaki itu, memunculkan sejuta rasa dalam dada yang sulit ditafsirkan lewat kata, 3 detik, 6 detik, 10 detik baru lah ia tersadar.

“eh, iya, ini klinik dokter hati, astaga, klinik dokter gigi maksud saya, hehe. Silahkan isi dulu form nya”agak gagu seorang asisten muda perempuan, menyodorkan selembar form untuk diisi Andi, laki-laki yang baru datang tadi.

Parahnya, ke’gagu’an si asisten masih terus berlanjut. Berulang kali ia ditegur dokter karena ceroboh mengambil alat, salah ngambil obat. Matanya sesekali mencuri lirik ke arah Andi. Si dokter hanya geleng-geleng kepala bingung. Saking ‘gagu’nya, saat mau ngasi tissue kepada Andi, tak sengaja ia menyenggol gelas berisi air untuk berkumur di samping kursi tempat Andi berbaring. Untung air nya tersisa sedikit, jadi tumpahan air ke lengan kemeja Andi tidak terlalu basah. Saat kembali menyodorkan tissue, kedua pandangan kembali bertemu, jessss.

“kayanya lagi ada yang kena love at first sight nih”. si dokter mebuyarkan tatapan keduanya. Sekilas si asisten memalingkan muka yang kentara merona merah. Andi hanya cekikikan lalu mengerling ke arah dokter.

“kunjungan ke dua seminggu lagi yak pak, setelah ini jangan makan dulu ya selama 3 jam”pesan si dokter pada Andi.
“baik bu, minggu depan hari sabtu lagi kan?”
“sip”
“makasi bu dokter Nina, makasi,,mba,,“yang di tanya malah cengo natap Andi,
"Lisa, namaku Lisa." Ucap lisa sembari menyodorkan tangan, Mukanya sudah seperti kepiting rebus.
“ok makasi mba Lisa”ucap Andi santai, lalu saling bersitatap lagi.
"udah udah, pulang pak Andi ya,, Lisa nya masih harus manggil pasien selanjutnya” bu dokter sekali lagi membuyarkan tatapan keduanya, Lisa hanya bisa menunduk dan memonyongkan bibir.
**

Maka sabtu, menjadi hari paling menyenangkan sedunia bagi Lisa. Thats right. Andi, menjadi alasan Lisa dari jam 3 subuh, sudah matut2 diri depan cermin. Mengeluarkan segenap kemampuan bersoleknya, berharap aura tubuhnya keluar menarik hati si pujaan. Saat itu Lisa memang terlihat sangat cantik, bedaknya tidak terlalu tebal, membuat pipinya yang lesung terlihat putih berisi. Lipstiknya juga tidak terlalu menor, malah mempertegas warna asli bibir. Rambut sudah dari kemaren "disalonkan", biar terlihat lurus tergerai indah. Baju putihnya pun tak luput dari terjangan parfum barunya. Mungkin dari jarak 100 meter, laki-laki sudah bisa mengendus wanginya.

Jam 6 pagi, yang biasanya Lisa sarapan nasi uduk plus gorengan, sengaja hari ini tidak sarapan. Takut lipstik bibirnya luntur kali. Ia kemudian melangkah anggun keluar dari rumah kosannya, melewati suit-suitan tukang ojek, menatap rendah pemuda kampung, dan menganggap semua wanita yang sekarang seangkot dengannya adalah perempuan buruk rupa.
Saat nyampe di klinik dokter, Lisa yang sudah dari jam 7 nongkrong di depan klinik, menunggu pasien yang dimaksud, hingga sore datang.

“Lha dok, mas Andi, pasien yang minggu kemaren periksa gigi, ko gak datang hari ini ya?” seilidik Lisa penasaran
“udah kemaren datangnya, katanya hari ini ada urusan” jawab dokter Nina ketus. Lisa cuma natap dokternya dengan bibir kebuka. Aihhh,, pengorbanan kagak makan seharian ini terbuang percuma, fuihh, kepala Lisa lunglai seketika, “tukang sate mana tukang sate,,” otak lapar Lisa meledak. “Payahh, oke minggu ini gapapa gagal. Hari jumat memang bukan jadwal nya Lisa jadi asisten dokter Nina. Baiklah, setidaknya masih ada minggu depan” Lisa mencoba menghibur diri.

Perjuangan masih berlanjut, tidak mau gagal seperti minggu lalu, Lisa memutuskan untuk ijin sakit dari kuliahnya jumat ini. Melobi kawan yang bertugas jadi asisten hari jumat dengan janji traktir. Ia pun siap menghadapi hari esok. Hari jumat yang berbahagia.
**

“Lisa, bukannya besok jadwal asisten nya ya?,”Tanya dokter Nina bingung.
“Emh, iya sih, kebetulan Dewi lagi ada keperluan bu, aku juga lagi gak ada kuliah. Jadi bantu ibu deh hari ini” pelajaran mengarang Lisa dimulai.
“owh, tapi sayang banget ya, pak Andi datangnya besok, hihihi,”,dengan mudah dokter Nina ngebaca maksud Lisa.
"yahh, ko gitu sih", kepala nya tertunduk, “yasudahlah,, masih ada hari esok,”
**

Sipp, Sabtu pagi itu, Lisa semakin berbinar saat menatap sosok laki-laki yang baru saja membuka pintu klinik. Seperti sesosok pangeran yang telah datang dan akan menjemput dan membebaskan nya dari penjara penyihir. Dengan agak canggung, Lisa menyodorkan Andi daftar hadir untuk diisi, mempersilahkan Andi duduk sambil menunggu panggilan. Dan yeahh, mengajaknya mengobrol sejenak, taulah Lisa bahwa Andi kerjanya di Jambi, di perkebenunan karet. Sekarang sedang berlibur di Bogor, sekalian periksa gigi katanya.

"Lisa, kamu mau jadi wartawan atau asisten dokter gigi,?, panggil pasiennya sekarang!", setengah berteriak dokter Nina memanggil Lisa. Yang di panggil, dengan agak masam mempersilahkan Andi menemui dokter.

"hadoohh, kenapa tadi gak minta no hp nya, payahhh,," sesal Lisa saat melihat Andi sudah naik angkot pergi, selesai kunjungan ketiganya.

“oke gapapa, Sabtu depan adalah kunjungan terakhir mas Andi, maka seminggu ini bagaimanapun caranya, harus wajib dapat no hape nya. TITIK. Mari berjuang, Semangat Lisa, semangat, chayo!, Ganbate!, kamu pasti bisa!", agak lebai Lisa menyemangati dirinya, sambil ketawa optimis.
**

Tik tok, tik tok, detik jarum terasa lama banget berputar menyelasaikan tugasnya, Lisa agak malas-malasan membantu dokter Nina, dokter gigi yang biasa praktek di hari sabtu.

"nungguin pak Andi ya lis?", tanya dokter Nina sembari mengorek gigi berlubang pasien orang tua di depannya. Lisa menyodorkan gelas berisi air untuk berkumur kepada pasien, males menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab juga sudah tahu.

“apakah ini cinta?, cinta pada pandangan pertama,?, begitu bungah saat bertatap mata, merana saat tidak berjumpa,?. Remuk redam hati memikirkannya, tidak tahu kapan lagi langit menakdirkan pertemuan kita. owh mas Andi, apa Lisa harus nyusul mas ke Jambi?, tapi Jambi nya dimana?, salah-salah nanti di culik suku anak dalam, atau di umpetin gajah lagi?, tolong mas Andi tolongggg", kayaknya khayalan Lisa makin aneh deh.

"pak Andi gak bisa datang hari ini, tadi dia nelpon, katanya harus ke Jambi, jadi tambal gigi nya di lanjutkan di Jambi", ucap dokter Nina kalem, seakan tahu apa yang dipikirkan Lisa.
"ibu punya no hape nya mas Andi?, ko gak bilang sih, minta dong bu!!!", rajuk Lisa dengan mata berbinar senang. Seperti anak kecil minta mainan baru.
"yee, kamu genit banget sih, minta sono sendiri,"dokter Nina melengos ke dalam ruangannya. meninggalkan Lisa yang duduk kecewa di ruang tunggu pasien.

"kenapa dokter Nina marah ya?, apa dia juga suka sama mas Andi?. Iya, sepertinya dia juga suka sama mas Andi deh. Wah, parah nih, masa asisten saingan sama dokternya. Tapi ini cinta masbroh, gak mengenal kasta, tahta, rupa. Asalkan belum ada kata saling suka, maka kompetisi mendapat cinta menjadi sah saja. Gw harus fair play nih sama dokter Nina. Okeh, kali ini gw kalah cepat sama dokter Nina. No hape, bagaimana gw bisa dapat no hape mas Andi ya, lalu nyusul dia ke Jambi, bilang aja mau ketemu sodara di Jambi. Eh, emak gw ada sodara gak ya di Jambi?, bodo ah" pikiran Lisa makin ngelantur. Cinta memang sering membuat otak jadi gak waras ya, over optimis.

saat sore menjelang, 
"ibu minggu depan mau nikah, kamu datang yak. Kalo kamu masih penasaran sama pak Andi, dia pasti datang ko di pernikahan ibu." ujar dokter Nina tenang, membuat jantung Lisa dag dig dug senang. Ada dua alasan kenapa Lisa senang. Pertama karena dia akan bertemu dengan Andi. Kedua, karena dokter Nina sebentar lagi akan nikah. Artinya, kompetisi perebutan cinta mas andi, sudah Lisa menangkan bahkan tanpa bertanding. Pengin banget, kalo gak lagi praktek, Lisa pengin memeluk dokter Nina saat itu juga. Mengucap berulang terima kasih.

“Minggu depan, di pernikahan dokter Nina. gw pasti akan meminta no hape nya. malah ngajakin kencan juga dah sekalian. Gak mau lagi terlambat. Cinta itu harus di jemput, bukan ditunggu“ Lisa semakin optimis.
**

Maka sabtu, kembali menjadi hari paling menyenangkan sedunia bagi Lisa. Thats right. Andi, menjadi alasan Lisa dari jam 3 subuh, sudah matut2 diri depan cermin. Mengeluarkan segenap kemampuan bersoleknya, berharap aura tubuhnya keluar menarik hati si pujaan. Saat itu Lisa memang terlihat sangat cantik, bedaknya tidak terlalu tebal, membuat pipinya yang lesung terlihat semakin putih berisi. Lipstiknya juga tidak terlalu menor, malah semakin mempertegas warna asli bibir. Rambut cukup minggu kemaren aja "disalonkan", hemat. Kali ini Lisa tidak memakai baju putih. Kebaya berwarna orange dengan lengan transparan yang ia pakai. Pun juga tak luput dari terjangan parfum barunya yang dari jarak 100 meter sepertinya kecium dah itu wanginya.

Jam 6 pagi, yang biasanya Lisa sarapan nasi uduk plus gorengan, sengaja hari ini kembali tidak sarapan, takut lipstik bibirnya luntur. Ia kemudian melangkah anggun keluar dari rumah kosannya, kembali melewati suit-suitan tukang ojek, menatap rendah pemuda kampung, dan menganggap semua wanita yang sekarang seangkot dengannya adalah perempuan buruk rupa.

aku ingin sampaikan pada kalian, agar kalian bisa lebih bijak dalam menaggapi cinta. Bahwa akhir dari cinta pada pandangan pertama tidak selalu semenyenangkan diawalnya. Kita harus berhati-hati. Bisa jadi yang merasa ternyata cuma diri sendiri, eh, ujungnya malah jadi cinta bertepuk sebelah tangan. Seperti yang terjadi pada Lisa kali ini.

Air matanya meleleh menahan kecewa. Menganggap Tuhan tidak adil menakdirkan ia mengalami cinta pada pandangan pertama yang menyakitkan. Lisa tertipu oleh ilusi hatinya sendiri. Mengira apa yang ia rasa, juga dirasakan pula oleh lawan cinta pandangan pertamanya, Andi. Ah, mata memang selalu bikin ulah.

"semoga kalian berbahagia dokter Nina, mas Andi, maaf Lisa harus cepat2 pulang" ucap Lisa lirih penuh pengharapan. Setelah salaman dengan kedua mempelai, Lisa memang terus pulang, lupa kalo dari tadi ngincar sate kambing kesukaannya di tempat hidangan.

#Saung inspira, Laladon Bogor. 5 Oktober 2013.

Rabu, 02 Oktober 2013

Aa akan selalu menemani adik, selalu


"Bang, bukankah kita merampas hak orang lain? merampas hak PT?" ujar Ayu pelan, tapi intonasinya tegas. Seperti kata pertama yang dikeluarkan para pendebat. Tidak mengintimidasi, justru memancing diskusi yang lebih dalam, hebat dan panas. Sayang, tipe suaminya bukanlah tipe penggubris debat. Tak menarik baginya berludah-ludah membicarakan sesuatu yang seharusnya bisa cepat terselesaikan dengan action. Pokoknya suaminya Ayu adalah penganut talk less do more sejati.

"Tenang saja neng, kita tidak merampas hak PT, kita dengan PT sama. Memanfaatkan anugrah yang Tuhan berikan, PT aja yang serakah pengin nguasain 65ribu hektar tanah ini." Ucap suaminya seraya menyeruput kopi yang dibuatkan Ayu. ‘Puuuss’, asap rokokk mengepul dari hidungnya. Itulah kesukaan suami Ayu. Menghisap rokok kuat-kuat, simpan asap dalam mulut, lanjut menyeruput kopi, dan asap baru dikeluarkan. Aneh.

Seperti tersiram air dingin di musim panas, adem. Bagi Ayu, kata-kata suaminya yang bermarga medan ini selalu adem didengar. Kata-kata jua lah yang rupanya dulu berhasil memecahkan kekerasan hati Ayu untuk mau menikahi seorang petani.

"Yasudah, neng ikut abang aja, neng percaya sama abang", keduanya lalu berjalan beriringan ke kamar, dengan menggendong bayi kecil mereka tentunya. Aiih, lengkap sudah kebahagian mereka tahun ini. Tanaman sawit yang mereka tanam, kini mulai bisa di panen. Bayi yang mereka harapkan 4 tahun ini, berhasil lahir dengan wajah menyejukkan siapa yang memandang. Pun dengan status lahan konflik ini, PT tidak lagi memepermasalahkan dan mengganggu mereka lagi. Berdamaikah? atau sebuah pertanda?.

Ya, Heru, suaminya Ayu, adalah kepala dusun yang baru dibentuk 3 tahun ini. Belum resmi, hanya pengakuan dari beberapa kepala keluarga saja, ia sudah bisa menjadi kepala dusun. Heru meski menurut Ayu, istrinya- adalah seorang yang lembut terhadap keluarga. Sejatinya adalah berperangai kejam saat di luar. Ia tidak segan menyuruh anak buahnya yang juga adalah penduduknya untuk membakar fasilitas milik PT kalau terendus PT kan menggusur lahan mereka. Sungguh, ia tidak segan, bahkan kalo harus membunuh para security kacangan milik perusahan yang sering petantang petenteng ngelihatin mereka, nothing problem.

di sisi yang lain.
Pak Sigit, seorang General manager baru dari perusahaan karet yang memiliki ijin konsesi 65ribu hektar di wilayah Jambi Sumatera, geram dengan ulah Heru dan kawan-kawannya yang terus mempeluas daerah rambahan. Bahkan mulai menjual-jualnya. Karakter pak Sigit, berbeda dengan tipe GM sebelumnya yang cenderung lembek menghadapi perambah. Ia lebih suka tegas, tanpa basa basi, terencana dan terukur keberhasilannya. Jadi bukan tanpa alasan direktur utama di Jakarta memberhentikan GM sebelumnya, dan membujuk pak Sigit yang sedang naik daun menggantikannya. Meski tidak sedikit gaji yang harus di keluarkan. Tapi akan sebanding dengan perubahan yang ia canangkan kedepan. Ya, akan sebanding. lihat saja.

di sisi yang lain lagi.
Zaini, mengusap peluh berulang kali di pelipisnya. Misinya memang sudah sering dilakukan. Tapi entah, untuk kali ini dia ragu. Ada perasaan tidak enak menyelimuti. Zaini mempunyai misi rahasia yang ditugaskan perusahaan pada ia dan 2 temannya, Ucok dan Mori. Seperti di film-film itulah misi rahasianya.

Mereka mengendap-endap dalam pekat malam. Tidak ada bulan dan bintang. Hanya desir angin, jangkrik dan gemeresik dedaunan yang mengintip. Zaini melangkah pasti menyusul ke dua rekannya, berbaju hitam-hitam, dengan muka tertutup slayer, juga hitam. Sebilah pisau tersemat di pinggang kanan, sementara pistol HK 45 yang sudah dipasangi peredam dia bawa menggunakan tangan kanannya, selalu dalam posisi siap menembak. Sebenarnya misinya adalah penculikan, tapi kalo terjadi hal di luar rencana, ke tiga brimob berpengalaman ini diperbolehkan menggunakan senjatanya. Hilang tanpa jejak, begitu slogan mereka.

Rumah target sudah terlihat. Ucok dengan sigap berjalan paling duluan, bersembunyi di balik pohon karet, sambil sesekali melihat ke arah rerumahan, memastikan tidak ada pergerakan apapun yang mencurigakan. Jempol kanan terangkat. Sebuah tanda untuk Zaini dan Mori agar beringsut menghampiri Ucok. Setelah memberi kode aba-aba ini itu, Ucok kembali paling duluan berlari kecil tapi teratur mendekati rumah berbilik Kayu, beratap seng dan berpagar jemuran. Ucok melongok ke dalam rumah dari celah jendela dan membukakanya pelan-pelan, orang rumah lupa ngunci sepertinya. Ucok kembali mengacungkan jempolnya ke udara. Beberapa menit kemudian, Zaini dan Mori sudah berada di samping ucok, lalu paling duluan melompati jendela dengan mudah. Zaini yang duluan masuk rumah, berjinjit kecil di atas lantai bersemen mencari kamar si empunya rumah. Ucok tetap waspada di luar, memantau situasi kondisi.

Kamar si mpunya hanya berpintu tirai. Zaini perlahan menyibakkan pintu dengan ujung HK 45 nya. Mori mengikuti dari belakang. Kondisi di dalam sedikit gelap, tapi mata kedua orang ini masih tetap awas, terlatih dan terbiasa dalam kegelapan. Dalam kamar yang berukuran 2x3 meter ini hanya ada dipan yang tidak terlalu lebar, cukup untuk dua orang. Mori mengeluarkan box berisi jarum suntik dari saku celana kargonya. Tanpa peringatan, ia langsung menususukan jarumnya tepat di urat lengan target. ‘bleb’ dosis melumpuhkan satu gajah cukup membuat target pingsan beberapa hari.

Hanya dengan satu gerakan senyap, Zaini mengangkat target yang entah tidur atau pingsan kedalam gendongannya. ‘Dukk,’ kepal tangan Zaini tidak sengaja meninju sesuatu seperti bayi di samping target. Sontak si bayi meraung kencang, memancing si ibu untuk mem-pause mimpinya.

"Ayu?, ucap Zaini pelan, menatap lamat2 dalam kegelapan kepada perempuan yang setangah sadar meraih bayi di sampingnya dan memberikan si bayi minum dengan gumpalan dada sebelah kirinya.

"apa yang kalian lakukan?" ujar Ayu setengah berteriak saat kesadarannya kembali. Refleks Mori menyuntikan obat bius ke tangan Ayu juga ke kaki kiri si bayi. Sungguh itu adalah gerakan refleks hasil dari latihan berulang-ulang dari metode pertahanan diri wajib militer. Zaini ingin sekali menendang Mori saat itu. “Kenapa bayi nya juga harus di suntik?” Lihatlah, mereka berdua terkulai lemah di kasur.

“Refleks zen, refleks, maafin gw” ujar mori menyesal.

Terdengar 2 ketukan khas dari luar, tanda dari Ucok, kalau ada orang yang akan datang. Zaini dan Mori bergegas keluar kamar, melewatkan target dari jendela, di pangku Ucok, lalu masih mengendap-ngendap berlari kecil ke arah KLX yang mereka simpan di ujung kebun.

“Brum”, suara KLX berderum meninggalkan perkebunan karet alam milik perambah itu. Mission complete. Selanjutnya target diserahkan kepada brimob lainnya untuk sebuah misi lainnya.

"target akan diapakan ini bang?" tanya Zaini pelan saat menaikan target ke dalam mobil strada milik PT.
"lu tau sendiri bakal diapain ini target",ucap brimob pemegang misi selanjutnya dengan seringai licik.

5 tahun kemudian
Kalian tahu, semenjak penculikan itu, kegiatan perambahan masih tetap berjalan. Tapi tidak sesulit dikendalikan saat ada Heru. Kebanyakan para perambah ketakutan saat mendapati Heru hilang. Mereka kembali ke daerah masing-masing, termasuk Ayu dan bayinya.

Dalam bis Karunia Bakti, Zaini menatap langit dengan perasaan gundah. Baru kali ini setelah 5 tahun yang lalu ia berani pulang ke kampung halamannya. Di terminal Guntur ia berhenti, terminal bis satu-satunya di Kabupaten Garut. Ia menaiki angkot berwarna kuning. Setengah jam kemudian berhenti di sebuah jalan desa bertulisan Desa Cinisti pada Plang nya.

Sekitar 500 meter, ia berjalan terus ke dalam desa, melewati rerumah dan sesawah yang terhampar di kiri kanan jalan. Langkahnya terhenti di depan rumah yang bertingkat 2 dengan kaca jendela yang berukuran super big, seakan dindingnya hanya kaca itulah. Ia menarik nafas dalam-dalam, memantapkan diri dan mengucap salam. Seorang wanita tua menjawab salam, membukakan pintu, tertegun sebentar, lalu menghambur memeluk Zaini. Pelukan hangat yang dulu juga ia rasakan saat hendak merantau mengejar impian menjadi Brimob.

"maafkan aku ibu"ucapnya lirih.
"sudahlah, yang penting kamu bisa pulang kesini lagi, Ayu membutuhkan kamu sekarang, Ayu butuh motivasi aa nya "

Miris, lihatlah, siapa yang tidak miris melihat seaong bocah berumur 5 tahun tertatih berjalan menggunakan tongkat. Kaki kirinya teramat kecil dibanding kaki kanannya. Tangan kanan si bocah tersodor, ingin menyalami Zaini.

Lihatlah juga, di kursi kayu, seorang perempuan menatap sendu wajahnya, atau lebih tepatnya ia hanya menatap kosong, seperti tidak kenal aa nya, atau memang memutuskan tidak pernah kenal lagi?, Entahlah.

Zaini mematung, kaku, tidak mendengar bahwa dari tadi ibunya mempersilahkan Zaini makan. Ia menatap lekat-lekat perempuan di depannya. Perasaan bersalah menyeruak menyesakkan dadanya. Zaini melangkah gontai menghampiri Ayu, memegang tangannya lembut. Yang dipegang menatap sebentar lalu memandang keluar jendela lagi. Cahaya kehidupan telah hilang dari wajahnya.
"akan aa balas kesalahan aa dik. Aa akan selalu menemani adik, selalu"


Saung inspira, Laladon Bogor, 2 Oktober 2013