Laman

Jumat, 30 Mei 2014

karena kita istemewa

Setelah akhirnya Tuhan mempertemukan kita berdua,
maka ucap sukur tak hingga untukNya
karena Tuhan tak membiarkan aku dan kamu sendirian
untuk mencapai ridha-Nya.

Kemudian kita harus berbahagia
karena aku dan kamu,
telah membuktikan diri kita istimewa,
dengan perjalanan istimewa,
mendapatkan orang istimewa,
dari Sang Mahaistimewa

Fu untuk Canun dari buku "jodoh dunia akhirat"

Minggu, 25 Mei 2014

Like my father! ^_^


Saya masih ingat, eh, diingetin ding, tanggal 31 Januari 2014. Ada lah hari dimana saya menentukan pilihan. Tentang seseorang yang insy Alloh akan menjadi the one partner sepanjang hidup saya.

Terus terang, saat itu, saya mikirnya simpel banget. Tahun ini, sesuai target, saya harus nikah. Siapa pun perempuannya, bodo amat.

Dan jebret, ntah bagaimana, saya punya keberanian berlebih untuk bertanya satu kalimat, yang mungkin bagi sebagian laki-laki sulit diungkapkan.

"mau nikah sama saya tahun ini?"

Udah. Tanpa ragu, tanpa basa basi, tanpa bumbu-bumbu, tanpa mikir panjang dan tanpa persiapan.

Karena saat itu saya ngirim lewat sms (payah banget nanya sepenting ini lewat sms). Dia gak pernah mau ditelpon soalnya. Baru setelah sms terkirim. Saya jadi mikir,

"APA YANG TELAH GUE LAKUKAN? Emang gue udah siap nikah? Bagaimana dengan biaya nikah? Mahar? Ketemu calon mertua? Dan yang terpenting, lu siap gak untuk ditolak? Aaakkkk"

Hampir aja saya mau maki-maki diri sendiri, mau matikan hape, trus tidur, menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi ora iso cuy, saya penasaran dengan apa yang akan dia balas. Detik pun berjalan terasa sangat lambat sekali. Hadeh. Yasudahlah. Ditolak berarti emang bukan jodoh, diterima ya paling jingkrak-jingkrak, teriak-teriak kaya orang gila. Eh mau sujud syukur aja ding.

Daaan, apa yang dia balas?

"dateng aja ke rumah, ka"

Terus saya bingung. Ini jawaban diterima apa ditolak yak?

Belakangan barulah saya tahu. Ini adalah jawaban "diterima".

Hore! prok prok prok.

Oy diem lu diem. Setelah ini berarti lu harus ketemu sama bapaknya. Yang elu kagak tau kaya apa dia.

Oiya yak? *tepok jidat

Suatu ketika saya sempatkan bertanya.
"suami seperti apakah yang kamu harapkan"
Terus dia jawab, "like my father, ^_^"

Saya menghela napas, kemudian berpikir, menembus batas waktu dan logika.
Jika aku jadi seorang ayah, alangkah bahagianya jika anak perempuan kita saat ditanya "kaka kalau punya suami, pengen kaya apa". Lalu dengan tersenyum bangga, memamerkan geligi yang rapih tertata, ia menjawab, "kaya ayah". Maha suci Engkau ya Rabb.

Ayah seperti apa rupanya yang telah membesarkan seorang anak menjadi perempuan macam dia ini.  Pasti, ayahnya adalah sosok yang paling ia hormati, paling bisa jadi teladan pemimpin keluarga, paling bisa mengerti anak-anaknya, dan paling-paling lainnya.

Saya pun, beberapa hari sempat ciut nyali. Sayah mah cuman apa atuh. Kalau harus seperti ayahnya, apa saya bisa?

Saya kemudian mulai berpikir keras. Bagaimanapun caranya, saya harus tau, tentang karakter ayahnya. Emm, bagaimana ya caranya? 

Ye tanya aja dia langsung, ribet amat.

Hehehe, iye deh gue tanye die.

Dan bla bla bla. Ayahnya, rupanya punya karakter begini-begini, suka begitu begitu dan kadang begini begitu.

Saya jadi garuk-garuk jenggot dan masih bertanya hal yang sama. Apa saya bisa jadi seperti ayahnya?

Hasil perenungan saya berkata begini.

Kamu, kalau mau memperbaiki diri. Jangan pernah punya niat karena orang lain. Titik. Niat itu harus murni karena Alloh. Ingat hadis arbain yang pertama? Jika hijrahnya karena perempuan, ya dia hanya dapat itu perempuan, gak dapet Alloh.

So, bro, sist. Jika ditanya lagi apakah saya bisa jadi seperti ayahnya?

Saya lantang menjawab. Tidak! Saya tidak akan pernah bisa menjadi seperti ayahnya. Kenapa? Karena dia tuh sudah hidup 22 tahun dengan ayahnya. Lha saya, sehari pun belum pernah serumah dengan dia. Jadi saya tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan ketulusan ayahmu menyayangi kamu, kesabaran ayahmu membesarkanmu, kepayahan ayahmu menemani kamu bermain. Tidak akan bisa. Saya adalah saya. Ayahmu adalah ayahmu. (kata ganti nya berubah ya, haha, maaf maaf)

Dan saat tanggal 30 Maret kemaren pertama kali ketemu ayahnya. Yang sumpah, itu deg deg an nya ampe kedengeran ke rw sebelah. Ok yg ini lebay. Saya semakin sadar, saya tidak akan bisa menjadi seperti ayahnya.

But, thats not the problem. Selama acuan kita sama-sama Alquran dan Assunnah. Mau bagaimanapun karakter kita, mau bagaimana pun kebiasaan kita, kesukaan, ketidaksukaan, dan semua hal yang tidak kita ketahui dari masing-masing kita. Akan menjadi kejutan-kejutan yang insya Alloh semakin menguatkan kita. Insya Alloh.

Semoga Alloh memberkahi niat baik  kita. Aamiin.

Mess putra LAJ Jambi. 25 Mei 2014

Jumat, 23 Mei 2014

undangan walimatul ursy imam dan nisa


Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (TQS Ar Ruum: 21)

Menautkan dua hati dalam ikatan suci pernikahan, semoga menjadi langkah awal kami dalam menyempurnakan agama dan sebagai jalan menggapai surgaNya. Aamiin.

Dengan mengucap syukur yang tak terhingga atas limpahan berkah dan karunia Allah SWT, kami bermaksud mengucapkan ikrar suci pernikahan kami:

Nisa Rizki Poerwitasari, SP (PTN IPB 46)
dengan
Imam Muhammad Lutfi Faturrahman, SP (PTN IPB 45)

Akad Nikah insya Allah dilaksanakan pada Sabtu, 14 Juni 2014 Pukul 08.00-09.00 WIB di Mushola Al Ijabah, Perum. Pura Bojonggede, Jln. Bandung Tengah, Blok J/I, Kec. Tajurhalang, Kab. Bogor

dan

Walimatul ‘ursy insya Allah dilaksanakan pada Sabtu, 14 Juni 2014 Pukul 13.00-15.30 WIB di Aula Sudirman, Gedung Pusdikzi Angkatan Darat (MUSEUM PETA), Jln. Sudirman no. 35, Kota Bogor

Tiada yang dapat kami ucapkan selain terima kasih dari hati yang tulus apabila Bapak/Ibu/Saudara/i berkenan untuk hadir memberikan doa restu kepada kami.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sabtu, 17 Mei 2014

Nasib si Payung Kecil

Riko sudah 30 menit berdiri di depan sebuah toko. Ia membawa tas selempang, yang terus ia pegangi dengan tangan kanannya, seakan ingin terus memastikan bahwa ada sesuatu dalam tas itu yang tidak boleh tidak ada. Matanya yang lentik, bergerak-gerak mengikuti setiap wajah perempuan yang mendekat, atau hendak masuk kedalam toko. Apalagi kalau yang mendekat itu adalah perempuan berjilbab dengan tinggi 160 cm dan berkacamata, pasti pegangan di tas selempangnya akan mengeras seketika.

Sepeda ontel tiba-tiba melaju pelan melewati Riko, menimbulkan irama gemerencing tidak beraturan dari klakson manual stang sepeda itu. Seirama dengan detak jantung Riko yang semakin tidak beraturan juga. Berualangkali ia menundukan pandangan sembari mengucek mata yang tidak berhenti berkedip, padahal ia tidak sedang kelilipan.

“Sudah lama nunggu nya ya mas Riko?” ucap perempuan berkacamata dengan tinggi 160 cm di depannya. Wajahnya tidak terlalu tirus, tapi juga tidak terlalu tembem, lalu giginya yang gingsul tetap terlihat serasi dengan senyum berkentit pipinya.

“aa, enggak ko, baru beberapa menit yang lalu ko nunggunya, abis dari mana Fitri? Oya ini bukunya” Riko menyodorkan sebuah buku bersampul biru muda yang ia ambil dari tas selempangnya. Fitri, yang saat itu ditemani teman perempuannya, langsung mengambil buku itu dari tangan Riko. Ayu, temannya Fitri, berdeham agak keras, menghentikan momen saling pandang beberapa detik saat mereka berdua berpegangan buku tadi.

“Makasih ya bukunya Fitri, bagus banget” ucap Riko sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Fitri hanya bisa menunduk dan berlirih pelan “iya sama-sama mas”

Riko mengerling sebentar ke arah Ayu, berdehem dan menelan ludah, lalu menghirup napas panjang. "Saya mau bertanya, ini serius tapi, dan tolong jangan ketawa" wajahnya mulai memerah. Keringat berbulir mulai menderas mengucur dari pelipis. Semakin jarum jam melangkah, semakin banyak bulir keringat berjatuhan.

"Maukah Fitri menikah dengan ku?" ucap Riko dengan rana suara bergetar, tidak terlalu keras, tapi tidak cukup pelan juga karena si penjaga toko yang dari tadi kesal dengan 3 orang yang menghalangi jalan masuk ke tokonya, jadi terkekeh takjub. Riko seketika menundukkan pandangan, menganggap lalu lalang jalan di sekitarnya seperti halnya semilir angin dari kipas mesjid saat jumatan kemarin, ada tapi seakan tidak ada.

Riko masih menunggu apapun jawaban dari Fitri. Tidak perduli diterima, atau ditolak sekalipun. Ia hanya butuh jawaban. Ya atau tidak. Dan kalau pun tidak, kenapa? Tapi suara begitu mahal rupanya untuk dikeluarkan. Fitri masih menunduk dengan bahu terguncang. Ayu yang sedari tadi memeluk bahu kawan sekuliahnya itu, hanya bisa berlirih lemah. "Jawablah Fit, sebelum mang Jajang ngusir kita gara-gara ngalangin jalan ke tokonya"

"aa..aku tidak bisa mas, maaf" Fitri mengerling sebentar, sebelum akhirnya bergegas hendak melangkahkan kaki, menjauhi Riko.

"Kenapa? Tidak boleh kah saya tahu alasannya?" agak lantang Riko berucap demikian. Membuat Fitri menghentikan langkah sejenak. Ayu yang membuntuti dari belakang, segera memegang tangan Fitri, mencoba menenangkan. Butiran air mata, semakin deras membasahi kerudung, Fitri tetap menunduk, tidak berani bersuara. Ia semakin melajukan langkah kaki, meninggalkan Riko dalam kegalauan tingkat dewa. "Harus tau, harus tau alasannya" batin Riko menyemangati, tidak berani menyusul Fitri sekarang.
**
"Teteehh, tungguin aku!" teriak seorang gadis berkerudung putih. Langkahnya kecil-kecil menimbulkan suara khas dari lipatan rok yang bergesek. Tangannya menenteng tas punggung bergambar hello kitty, sedangkan tangan satunya lagi menenteng sepatu yang baru ia cuci kemarin. Biasanya hari minggu memang menjadi waktu untuk mencuci sepatu dan seragam putih merahnya. Ia memang sangat suka sekali mencuci, emm, lebih tepatnya ia tidak suka melihat barang yang ia pake kotor. Lihat saja, saking sering nya di cuci, sepatu kets yang dulunya hitam, berubah sudah menjadi abu-abu. Beruntung ibu guru masih menganggap abu-abu itu sebelas dua belas dengan hitam.

"Iya teteh tungguin, cepat atuh pakai sepatunya" suaranya lebih lembut. Adalah umurnya sudah 18 tahun. Duduk di kelas 3 SMA dan menjadi kakak satu-satunya dari Fitri, si gadis yang kini sedang bingung karena lupa bagaimana cara mengikat tali sepatu.

"Ya ampun, dek, dek, teteh sudah ajarin kamu berulangkali dah, masak masih lupa juga?" sang kakak pun berjongkok menyejajari Fitri yang malah nyengir kuda, membantu mengikatkan tali sepatu.

"Besok-besok pasti aku sudah bisa teh, tenang aja"

"Halah, kamu, dari kemaren bilang nya gitu mulu" Fitri semakin nyengir kuda. "oya, teteh ada hadiah untuk kamu, nih!" sang kakak memberikan bungkusan berplastik kepada Fitri. Kening Fitri yang awalnya berkerut, langsung melempar senyum terlebarnya saat membuka bingkisan itu, lalu memeluk kakak tersayang nya "teteh kan pernah janji, bakal ngasih hadiah kalau kamu ulangannya dapat 100"

"Makasih banyak teteh, suka banget sama payung kecil hello kitty nya, aku lupa sih sebenarnya sama janji teteh itu, hehe"

"Yaudah, yuk berangkat! hujannya udah gak terlalu deras keliatannya"

"Yuk, kak. si payung kecil dan si payung besar, berangkaatt!"
**

Kenapa? tidak bolehkah saya tahu alasannya?
Jemarinya bergetar. Niatnya hendak menjawab isi pesan singkat yang barusan ia baca. Tapi entahlah, ia lupa bagaimana cara menekan keypad, atau jemari nya sudah lumpuh? sampai ia harus menggenggam erat handphone mungilnya dengan kedua tangan. Ia terus duduk di sudut ranjang. Berulangkali memejamkan mata, lalu menangis, memeluk Ayu yang setia menemani disampingnya, lalu tersedu saat mengarahkan pandangan ke sudut kamar, menatap payung kecil Hello Kitty kesayangannya.

"Jadi ini tentang si payung kecil dan si payung besar?" Ayu berusaha memecah keheningan. Mulai menerka apa yang terjadi dengan sahabat karibnya itu. Ya, Ayu selalu bisa membaca apa yang dipikiran Fitri. Sudah sering. Jika kita sudah terlalu dekat dengan seseorang, ya begitulah. Susah sekali menyembunyikan apapun, termasuk tentang perasaan. Yang Ayu tau tentang si payung besar, adalah bahwa ia sedang berjuang membantu mamak sendirian di rumah, bahwa si payung besar yang banyak mengirimi uang kuliah Fitri, bahwa si payung besar adalah si penyemangat hidup Fitri yang paling ia banggakan.

Fitri mengangguk lemah, lalu beringsut mengambil payung kecil hello kity dan memeluknya, erat sekali.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan, Fit?
Fitri masih terpejam, menikmati momen menenangkannya. Ayu tahu, saat sedang memeluk payung kecil hello kitynya, adalah saat Fitri sedang berpikir dan merencanakan sesuatu.

"Aku akan pulang saja, Yu. Bantu mamak di rumah. Mungkin minggu depan berangkatnya" lirih Fitri dengan senyum yang dipaksakan.

"Secepat itu? Tapi, tapi, nanti akan kembali kesini lagi, kan?" Ayu tidak terima dengan keputusan cepat Fitri.

Fitri lalu memeluk Ayu erat, berucap banyak terima kasih sambil membisikkan sesuatu. Seketika Ayu langsung membalas lembut pelukkan Fitri. Keduanya terisak hingga adzan ashar memecah keheningan.
**

Teh Rosmaa,, assalamualaikuummm” teriak Fitri sembari berlari kecil menuju pagar sebuah rumah. Seorang perempuan berjilbab ungu, sedang membawa nampan kosong berteriak girang begitu Fitri memeluknya. Dari belakang, mamaknya Fitri menghambur ikut memeluk dua perempuan kebanggaanya itu, saling mentransfer kerinduan yang berbulan-bulan membuncah dalam dada masing-masing.

“aku pulang mak, teh Rosma aku pulang” beberapa bening air mata lolos dari sapuan tangan Fitri,

“iye, payung kecil, yuk, makan dulu” ucap Rosma menenangkan. Bertiga saling berpegangan tangan memasuki rumah bercat hijau di salah satu perumahan pinggiran kota hujan.

“Kemarin mas Riko datang lho!” ucap Rosma memulai lagi percakapan saat keduanya sedang duduk di meja makan,

“eh, mas Riko?” tiba-tiba aliran darah dalam tubuh Fitri terasa panas. “tuh bocah senekad itu? bener bener” batin Fitri dalam hati.

“mau ngapain dia teh?”

“mau ngelamar teteh”
Fitri langsung batuk-batuk karena ada nasi tersedak di tenggorokan, “astagfirulloh, beneran teh?” wajahnya tetiba cengo.

“cemburu ya Fitri?”
Wajah Fitri memerah. Sambil memain-mainkan sendok, kaki kirinya terus dihentak-hentakkan ke lantai "nggak lah, Fitri mah, atuh seneng"

Senyum menggantung terlihat di wajah Rosma, bintik-bintik hitam jelas sekali terlihat mengumpul saat cahaya pagi menerpa pelipisnya. Berbeda dengan adiknya, wajah Rosma lebih tirus, dengan hidung terlampau mancung membuatnya sangat cocok mengambil peran antagonis di film Cinderella. Semenjak di tinggal ayahnya pergi, Rosma lah yang paling banyak jadi tulang punggung keluarga, membuat ia berulangkali menolak menikah, sebelum adik kesayangannya lulus kuliah.

"hehe, kalau cemburu pun teu apa-apa ko Fit, mas Riko nanyain kamu sebenarnya" Rosma mengambil kue toples dari lemari, dan meletakkannya di atas nampan.

“terus ka?”

"ya dia mau ngelamar kamu. Aku sama mamak setuju, dan liat dari respon kamu tadi, kamu juga kayaknya suka sama mas Riko, ya kan? hayo ngaku hayo," Rosma iseng nyolekin mentega ke mukanya Fitri, 

“ih jail banget si teh Rosma, aku nggak mau ngelangkahin teteh, jadi maaf, aku nggak bisa nerima mas Riko”

"kamu nikahnya bulan juni ya? tanggal 14, aku sama mamak sudah nyari-nyari tempat jahit baju pengantin, sudah nyari sewa tenda, sudah nyari,,, "

"teeehhhhh! aku nggak akan ngelangkahin teteh. Titik!" muka Fitri tambah seperti cecurut yang lagi cemberut, untuk urusan ke-keras kepala-an, Fitri memang jagonya. Rosma memeluk kepala Fitri dari belakang. Lalu mencium ubun-ubunnya. Ia bergeser menghadap wajah Fitri, mengusap air mata yang menderas di pipi Fitri, lalu memeluk nya erat dan berkata dengan suara agak serak karena menahan sedu.

"teteh juga sudah nanya-nanya ke KUA, bagaimana persiapan administrasi nikah. Jadi 2 bulan cukuplah, untuk kita mempesiapkan"

Fitri melotot hendak merah, tapi marah untuk apa? “aih, gara-gara mas Riko ini” ucap Fitri dalam hati

“udah ah nangis-nangisan nya” Rosma menyubit lembut pipi adik kesayangannya, dan menggoyang-goyangnya. Fitri masih menggeleng sambil melengkungkan bibir.

"bentar lagi kamu akan jadi mamak-mamak, nggak boleh cengeng, ayok siap-siap, tuh mas Riko nya udah datang"

Sekejap Fitri langsung menoleh ke pintu, yang ternyata tidak ada siapa-siapa, lalu menatap bingung Rosma, "ciee, kangen ya sama mas Riko, cepet bener nolehnya"

"teeeteeeehhhh, aku mau kabur lagi ke Jogja ah"

"eh jangan, itu mas Riko nya udah dari tadi duduk di ruang tamu nungguin kamu, hayuk kesini"

Fitri mengerut kan kening, menatap tajam ke arah Rosma. Gigi nya gemeretuk. Rosma walaupun jahil, ia gak pernah bohong.
**

Fitri masih berwajah gusar saat membalas salam dari Riko. Ia duduk di kursi panjang di antara mamak dan Rosma. Meski Riko berpanjang tanya sana sini, Fitri hanya menggeleng dan menganggukan kepala sebagai jawaban "Dan siapa pula ini, wajah kebapakan, jenggot lebat, berpeci dekil disamping mas Riko? apa ayahnya? lebih pas jadi kakaknya tapi" pikir Fitri dalam hati.

"Jadi bu Desi, maaf jika kami lancang, jadi bagaimana jawaban atas rencana lamaran kami?" akhirnya Riko angkat bicara, berdeham sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika diterima, kami rasa kita bisa menentukan tanggal. dan kalau tidak diterima, kami bersiap untuk pulang saja"

"insya Allah kami menerima, bagaimana kalau tanggal 14 juni saja menikahnya?" ucap mamak lembut, menganggukkan kepala pada Rosma dan Fitri.

"alhamdulil.."

"tunggu mak, tunggu. Aku nggak mau dijodohin begini, ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya mak. Aku nggak suka cara mamak. Aku nggak mau ngelangkahin teh Fitri mak. Maaf, aku mau pergi ke Jogja lagi sekarang" kalau tangannya tidak disambar Rosma, Ftiri sudah berlari keluar pintu.

"Yang melangkahi teteh itu siapa, dek?"

"ya aku lah teh, aku nggak mau nikah sama mas Riko selama teh Rosma belum menikah" ucap Fitri ketus.

"berarti kalau teh Rosma sudah menikah, kamu mau menikah sama saya?" mas Riko ikut bertanya.

"Fitri, yang akan menikah itu teh Rosma, sama mas Bambang ini, jadi tidak ada langkah melangkahi, Ayo duduk lagi, malu sama mas Riko, sama mas Bambang" ucap mamak menenangkan.

"jadi, jadi, lamaran ini, untuk teh Rosma?"

"iye adik manis"

Seketika atap rumah runtuh di kepala Fitri

Mess putra LAJ Jambi, 16 Mei 2014

Kamis, 01 Mei 2014

Ajruki ‘ala qadri nashabik, pahalamu sesuai kadar payahmu

may day may day, yeah! This month is may.

Bukan satu mei nya sih yang buat saya senang, tapi libur nya itu lho. Alhamdulillah, ada juga kesempatan satu hari saya bisa lepas kekuangenan saya pada menulis. Maklum cuy, beberapa hari, minggu, bulan kemaren, banyak banget yang harus dipikirkan dan dikerjakan. Dari mulai kerjaan di hutan yang mulai membuahkan hasil dan mulai "diakui" bos-bos besar, membuat harus all out menenggelamkan siang hari saya ke dunia perkaretan. Hingga memikirkan dan mengerjakan persiapan semua hal untuk masa peralihan kehidupan saya beberapa minggu mendatang.

Fiuuh, alhamdulillah. Baik sekali Allah kepada saya. Dari dulu juga Allah memang teramat sangat baik sekali sama saya. Meski saya belepotan dosa pun, Ia tetap berkenan memilihkan jalan yang terbaik untuk saya. Subhanallah walhamdulillah, wa laailaaha illallah, wallahu akbar.

Selain banyak berpikir, saya juga mulai sering merenung. Eh, berpikir dan merenung emang beda ya? Mungkin beda. Menurut saya berpikir itu lebih ke pencarian solusi. Sedangkan merenung lebih ke introspeksi, menurut saya ya.

Jadi saya merenungi apa?

Banyak hal, terutama tentang fase peralihan kehidupan saya.

Baik, kita mulai dari jaman saya masih SD (maaf, ingatan saya mentok saat masa SD doang. Masa sebelum SD sekeras apapun mengingat, lupa euy). Jadi tuh saat saya masih SD di desa, mungkin kelas 5an lah, sempat terpikir bahwa saya akan SMP keluar dari desa. Saya belum berpikir bagaimana cara saya berusaha masuk SMP terfavorit sekecamatan itu. Terbersit dalam pikiran saya waktu itu, saya pasti akan berSMP di kecamatan, SMPN 1 Bayongbong.

Dan rupanya Allah mengabulkan itu. Baru lah saat kelas 6, saya mempersiapkan semuanya untuk masa peralihaan kehidupan saya, dari SD yang males banget mandi pagi, ke SMP yang bangun nya aja harus pagi banget, karena saya harus terbiasa naik angkot karena jarak dari desa agak jauh.

Lalu masuk ke jaman saya SMP. Saat kelas 2, terbersit juga dipikiran bahwa saya akan berSMA ke level kabupaten. Pilihannya lebih banyak sekarang, dari SMA 1 Tarogong dan SMA 1 Garut sebagai SMA favorit, lalu SMA 2 tarogong dan 3 tarogong siap jadi pilihan cadangan. Di kelas 3 saya mulai ragu, bisa kah saya masuk SMA 1 Garut? Bisa meureun.
Allah lalu memilihkan jalan untuk saya. lepas UN saya di terima di SMA 3 Tarogong. SMA yang rata-rata betis kaki para alumninya berotot kabeh lantaran dari turun angkot hingga gerbang sekolah harus nanjak dulu sejauh 150an meter dengan kemiringan 40an derajat.

Lantas kenapa? kenapa Allah tidak mengabulkan pinta saya untuk masuk SMA yang letaknya di tengah kota itu? SMA yang mau ke mall Yogya tinggal berjalan beberapa langkah, mau pulang tinggal naik angkot, mau nongkrong tinggal ke masjid agung, mau maen game tinggal ke timezone di Asia. Mau cuci mata gampang, karena pasti banyak yang cantik-cantik di SMA favorit mah, eh.

Ini malah saya di masukkah ke SMA yang sekeliling nya sawah semua, cuci matanya ke ibu-ibu yang lagi nandur. Gak ada suara angkot, gak ada polusi, yang ada suara cicit burung dan dengkur katak yang jelas banget kedenger saking fokusnya belajar matematika. Semilir angin juga seenaknya hilir mudik masuk ruang kelas. Mau nongkrong ya di pematang sawah itu lah. Hadeh hadeh.

Waktu SMA sih pertanyaan ini belum terjawab. Saya nikmati saja semuanya. Lalu kelas 2, lagi-lagi terbersit dalam pikiran. Saya pasti kuliah di luar daerah, di kota besar lah. Bandung, Bogor, atau Jakarta. Gak boleh saya kuliah di kampung sendiri. Entah bagaimana caranya belum terpikirkan. Dan pilihannya semakin banyak. Universitas-universitas bagus di kota-kota besar menggoda saya untuk dikuliahi.

Saat kelas 3, SNMPTN atau yang dulunya SPMB menjadi pilihan penyebrangan saya ke universitas. Disini walau pun saya pengen banget kuliah di luar daerah. Tapi saya sadar, kemampuan keluarga saya gak mungkin bisa menguliahkan saya ke universitas berbiaya mahal. Pupus sudah keinginan masuk ke kedokteran UI. Akhirnya paman menyarankan saya masuk IPB , biar nanti bisa ikut kerja ke paman di karantina pertanian. Begitu yang dipikirkan ayah saat merestui saya mencontreng pilihan IPB di kolom pilihan universitas di lembar pendaftaran SNMPTN. Pilihan kedua kemana coba? ke pendidikan matematika UNJ Jakarta. Waktu SMA demen banget sama matematika.

Di hati saya, masih terbersit pikiran akan kuliah di kota besar. Walaupun cara berpikirnya lebih rasional sekarang. Diterima yasudah, gak diterima lanjut mesantren di Ciamis. Setelah kelulusan, jadi saya berangkat nyantren sambil, ya, nunggu pengumuman SNMPTN nya.
dan alhamdulillah, kabar itu datang. Sepulang mengaji, paman nelpon. "mam, kamu di terima di IPB! jurusan Proteksi Tanaman" pergi lah saya dari pesantren langsung ke Bogor tanpa pulang dulu ke rumah di Garut, untuk pendaftaran ulang.

Sekarang saya bisa menjawab pertanyaan waktu SMA saya. Kenapa harus masuk SMA 3 Tarogong? karena kamu akan masuk Fakultas Pertanian IPB, jadi kamu harus terbiasa dengan sawah, dengan petani, dengan semilir angin, dengan suara cicit burung dan katak, dengan nongkrong di pematang sawah. Tidak boleh kamu terkontaminasi dengan ke"hedon"an lingkungan di tengah kota. Kamu harus bersih. ya ya ya, I see I see.

lalu muncul pertanyaan selanjutnya? kenapa harus Bogor? kenapa IPB? yang terpenting kenapa harus Proteksi tanaman?

Ada tulisan nanti yang membahas tentang ini. not yet. mendahului takdir kalau disampaikan sekarang mah.

Intinya, saya sangat berterima kasih pada Allah yang telah banyak memberi keajaiban pada hidup saya. Memilihkan jalan untuk saya yang itu memang adalah yang terbaik untuk saya. Walaupun ada beberapa pilihan yang tidak sejalan dengan keinginan.

Eh tapi masih ada pertanyaan. Apakah pikiran-pikiran selintas atau saya bilang tadi "terbersit pikiran" kok mudah sekali Allah wujudkan. Maksudnya kok bisa sesuai dengan apa yang saya pikirkan. SMP di kecamatan, SMA di level kabupaten, kuliah di Proteksi Tanaman IPB, kerja di Jambi, dan sekarang terbersit calon istri akan seperti apa, eh. hahaha. Saya juga manusia, ada keinginan punya masa depan yang begini dan begitu.

Hasil perenungan saya menjelaskan begini. Pertama kita tidak boleh sombong. Mentang-mentang sebelum-sebelumnya Allah selalu wujudkan yang menjadi “terbersit dalam pikiran” saya, bukan berarti calon istri kita nanti akan sesuai dengan apa yang kita harapkan? aih ini kenapa jadi bahas istri lagi. Ampun dah ampun.

Usaha dan kerja keras cuy. Inti jawabannya itu. Saya pikir kenapa Allah memberi ini itu kepada kita, karena usaha dan kerja keras kita layak untuk diberikan reward yang sesuai. Ajruki 'ala qadri nashabik, pahalamu sesuai kadar payahmu.

Kamu terbersit masuk SMP favorit, itu karena usaha kerja keras kamu di SD, payah nya mempersiapkan ujian, payahnya rajin belajar, layak Allah beri reward yang sesuai. Pun jika kamu tidak diterima di SMA 1 Garut, bisa jadi reward yang pantas untuk kamu ya bukan disitu. Allah ingin kamu cinta pertanian misalnya. Masuk IPB apalagi. Perjuangan kamu di SMA, doa orang tua juga jangan lupa, Allah beri sesuatu yang indah untuk hidup mu. Sesuatu yang harus mendukung proses peralihan kamu dari masa remaja yang labil di SMA, ke masa pencarian jati diri di perkuliahan. Dan sesuatu itu adalah kuliah di IPB. Reward yang pantas kan?

Kini, perjuangan di masa kuliah telah usai. Dan pasti Allah juga sudah siapkan reward yang terbaik untuk kamu. Yang terbersit di pikiran sekarang adalah, punya istri yang begini begitu, punya usaha yang begini begitu, dan masa depan yang begini begitu.

Apakah Allah akan mewujudkan ini?

Perjuangan bro, perjuangan. Tetap Allah akan melihat dulu seberapa serius kita berjuang. Seberapa payah kita berusaha. Seberapa jauh kita mempersiapkan.
Apapun ingin kita, berusaha sebaik yang kita bisa, all out. Hasil nya kita serahkan pada Allah. Biar Ia saja yang memilihkan jalan, biar Allah beri kita reward yang pantas dari letih perjuangan. Surganya. Amin.

Semoga bermanfaat dan semangat berusaha.

Mess putra LAJ Jambi 1 Mei 2014