Laman

Senin, 31 Desember 2012

Salman Al-Farisi Sang Pencari Kebenaran part 2



Salman Al-Farisi  Sang Pencari Kebenaran

Selain kisah heroik Salman dalam hal peperangan. Mari sekali lagi kita lihat kisah heroik Salman dalam hal pernikahan. Dikisahkan bahwa ada wanita solihah dari kalangan anshar yang menarik hati Salman. Namun karena ia bukan orang pribumi, sesuatu seperti ini menjadi terlalu pelik baginya. Maka diutarakanlah niatnya pada sahabat yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda. Alangkah senang Abu Darda mendengarnya dan akhirnya Salman beserta Abu Darda datang ke rumah wanita solihah tadi untuk meminangnya.

Setiba dirumah sang wanita, orangtua dari wanita tadi juga tidak kalah senang akan mempunyai menantu dari kalangan sahabat dekat Rasulullah, namun keputusan tetap ada di putrinya. Setelah berdiskusi dengan putrinya, diputuskanlah putrinya menolak lamaran Salman, namun, apabila sang pengantar Salman (read Abu Darda) berniat dengan maksud yang sama, putrinya sudah mempersiapkan jawaban untuk mengiyakan. Seketika Salman bertakbir dan berkata. “aku serahkan mahar ini untuk saudaraku Abu Darda dan aku akan jadi saksi dipernikahan kalian”..

Lihatlah saudaraku, betapa mudahnya Salman berbagi dengan saudaranya. Oya, Abu Darda baru beberapa hari dipersaudarakan dengan Salman. Tapi kedekatananya lebih akrab dan dekat daripada saudara kandung. Lalu apakah Salman tetap dekat dan peduli dengan Abu Darda setelah mereka menikah?. Mari kita simak lagi kisahnya.

Salman pernah tinggal di rumah Abu Darda beberapa hari. seperti biasa, Abu Darda selalu giat dalam beribadah, malam nya habis hanya untuk beribadah, dan siangnya selalu berpuasa. Dirasanya Abu Darda terlalu berlebihan dalam hal beribadah, maka ia berniat mencegah keesokan harinya Abu Darda berpuasa. Namun Abu Darda justru berkata. “apakah engkau hendak melarangku berpuasa dan shalat karena Alllah?”

Salman menjawab :”kedua matamu mempunyai ha katas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Berpuasalah dan jangan lupakan hak untuk berbuka, shalatlah dan jangan lupakan hak untuk tidur.”

Ketika peristiwa itu sampai kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda”Salman telah kenyang dengan ilmu”. Bahkan Rasulullah SAW menyebut Salman termasuk golongan ahlul bait.

Ali bin Abu Thalib menggelari Salman dengan sebutan “Luqman Al-hakim”. Ia telah dikaruniai ilmu yang pertama dan juga ilmu yang terkahir. Ia bagaikan lautan yang airnya tidak pernah kering.

Pada masa kejayaan islam wilayah kekuasaan mulai terbentang luas. Pendapatan Negara meningkat dan sebagai konsekuensinya banyak jabatan-jabatan yang harus di emban para sahabat. Lalu dimanakah Salman? Ia sedang berada di bawah pohon sedang menganyam anyaman. Ia membeli bahan seharga satu dirham, menjualnya dengan harga tiga dirham. Satu dirham untuk modal, satu dirham untuk nafkah keluarganya dan satu dirham untuk sedekah. Apakah Salman tidak menerima tunjangan?, dia menerima tunjungan sebanyak 5000 dirham setahun, tapi ia habiskan untuk dibagi-bagikan hingga habis.

Pada saat Salman menjadi gubernur di Madain pun, keadaanya tetap sama, mengandalkan menjual anyaman untuk menafkahi keluarganya dan menolak gaji sedirhampun dari jabatan gubernur. Pernah suatu hari, seorang dari syiria tampak kelelahan karena membawa buah tin dan kurma, ketika ia melihat Salman yang tampak seperti orang biasa dan dari golongan miskin, ia hendak menyuruhnya membawa barang-barangnya dan memberi imbalan atas jerih payahnya ke tempat tujuan. Ia tampak heran ketika dalam perjalanan, ia berpapasan dengan rombongan yang berucap “assalmualaikum wahai gubernur”,

Orang dari syiria bergumam sendiri, “gubernur yang mana…”. Keheranan nya kian bertambah saat sebagian dari rombongan mendekat. “berikanlah beban itu pada kami wahai gubernur”. Sekarang orang Syria itu paham dan menyesal telah menyruh Salman. Ia mendekat dan bermaksud hendak menggantikan Salman membawa beban. Tapi Salman menolak dan menggelengkan kepala, tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu.

Suatu ketika Salman ditanyai orang,”apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai gubernur?”ia menjawab,:karena manis waktu memegangnya, tetapi pahit waktu melepaskannya”

Mengapa ia bersedia zuhud, padahal mulanya ia seorang Persia dari kelas tinggi dan kaya.? Mari kita dengar saat ia berada di pembaringan menjelang ajal.
Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, maka Salman menangis. Sa’ad pun bertanya,”apa yang engkau tangisi, wahai Abu Abdillah? Padahal Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepadamu”
               
Salman menjawab. “demi Allah SWT, aku menangis bukan karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, melainkan karena Rasulullah SAW, telah menyampaikan pesan kepada kita, dalam sabdanya ‘hendaklah bagian setiap kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.’ padahal, harta miliku begini banyaknya”.

Sa’ad berkata sendiri “aku perhatikan, tidak ada yang tampak disekelilingku kecuali piring dan sebuah wadah untuk bersuci”.

Sa’ad lalu berkata kepadanya.”wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami iangat sellau darimu?”

Salman bertutur ”wahai Sa’ad, ingatlah Allah SWT tentang keinginanmu ketika engkau sedang berkehendak, tentang keputusanmu ketika engkau sedang memutuskan, dan tentang apa yang ditanganmu ketika engkau sedang membagi”.

Tak satupun barang berharga didunia ini yang digemari atau diutamakan dalam kehidupan Salman. Kecuali satu barang yang dirasanya penting hingga ditipkan kepada istrinya untuk disimpan. Ketka dalam sakit menjelang ajalnya, dipanggil istrinya untuk membawa barang titipan nya dalu yang ternyata adalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wewangian pada waktu wafatnya.

Kemudian ia menyuruh sang istri agar mengambil secangkir air. Salman menaburkan bubuk kesturi itu kedalam cangkir dan mengaduknya sengan tangan, lalu berkata kepada istrinya, “percikanlah air ini kesekelilingku. Sekarang telah hadir dihadapanku makhluk Allah SWT yang tidak suka makanan, tetapi gemar wangi-wangian.”

Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya,”tutuplah pintu dan turunlah!”, perintah itupun dituruti oleh istrinya. Tidak lama antara waktu itu dan istrinya kembali masuk, ruh yang beroleh berkah itu telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Dia telah mencapai alam yang tinggi dengan sayap kerinduan. Rindu akan bertemu Rasulullah SAW, abu bakar, umar dan sahabat utama lainnya.

Salmannn…
Telah lama Salman menantikan itu dalam kerinduan dan dahaga
Hari ini rindu itu telah terobati dan dahaga itu pun telah hilang
Semoga ridha dan rahmat Allah SWT menyertainya.

Sumber : buku karya Khalid Muhammad Khalid. : Biografi 60 Sahabat Nabi versi Tahqiq” penerbit ummul qura’. 2012

Salman Al-Farisi Sang Pencari Kebenaran part 1



Salman Al-Farisi  Sang Pencari Kebenaran
Sahabat Rasulullah SAW yang satu ini, adalah sahabat yang paling jauh asalnya, yaitu dari Persia. Salman masuk islam ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, dan saat itu islam belum berkembang kemanapun selain Habasyah dan Madinah, apalagi tempat yang jauh seperti Persia. Lalu muncullah pertanyaan, bagaimana bisa cahaya hidayah merasuk sanubari Salman ini padahal ia berada di Persia. Mari kita simak ceritanya.

Salman berasal di Asbahan (kota di tengah Iran dan terletak antara Tehran dan Syiraz), ayahnya seorang kepala kampung dari desa yang bernama Ji (Jayyan). Agama disana saat itu adalah majusi dan Salman sangat taat menjalankan agama ini hingga diserahi tugas untuk menjaga nyala api.

Suatu hari, Salman diberi tugas oleh ayahnya untuk pergi ke sebuah ladang milik ayahnya. Dalam perjalanan, Salman melewati sebuah bangunan dimana didalamnya terdengar suara nyanyi-nyanyian, atau lebih dikenal dengan kata “kebaktian”. Salman pun tertarik masuk kedalam bangunan yang bernama gereja itu dan melihat apa yang dilakukan orang-orang didalamnya. Lalu Salman berkata dalam hati. “agama ini lebih baik dari dari agama ku”. Ia kemudian bertanya pada mereka. “Darimana asal agama ini?”, mereka menjawab “ dari Syria”.

Ayah Salman mengirim orang untuk menyusulnya gara-gara tidak juga pulang hingga matahari terbenam. Lalu setelah Salman berada dihadapan ayahnya. Ia menceritakan apa yang telah dilakukannya dan agama nasrani yang baru dipeluknya. Mereka berdebat dan akhirnya ayahnya marah dan mengikat Salman dalam sebuah ruangan. Salman pernah berpesan pada salah satu jemaat nasrani. Jika ada rombongan dari Syria datang, maka kabarilah ia. Dan saat itu, saat Salman diikat, kabar itu sampai juga pada telinganya. Dengan kejeniusan otaknya, Salman berhasil mengelabui penjaga dan ayahnya serta ikut dengan rombongan menuju syria.

Di Syria, Salman datang kepada uskup disana untuk berbakti dan belajar pada nya. Rupanya uskup ini tidak amanah. Ia menerima sedekah dari jemaatnya tapi kemudia ia ambil sedekah nya untuk kepentingan nya sendiri. Uskup ini kemudia wafat dan digantikan dengan uskup yang lain. Tidak ada yang lebih baik agamanya daripada uskup baru itu. Salman pun mencitai uskup baru itu sedemikian rupa sehingga tidak ada orang yang lebih dicintai sebelum itu daripada dirinya.

Ketika ajal uskup baru itu dekat, Salman bertanya padanya. “Siapakah yang harus aku ikuti sepeninggal dirimu?” ia menjawab. “tidak ada yang langkahnya sama dengan kita kecuali pendeta dari daerah Mosul. Maka Salman pun datang ke Mosul dan menghubungi pendeta yang diceritakan uskup baru itu. Salman tinggal dengan pendeta Mosul hingga waktu yang Allah SWT kehendaki.

Tatkala ajal pendeta Mosul sudah dekat, Salman bertanya kembali seperti pertanyaan kepada uskup sebelumnya. Ia diminta menghubungi pendeta di daerah Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat kesana dan tinggal hingga waktu yang Allah SWT kehendaki. Untuk bekal hidup, Salman beternak beberapa ekor sapi dan kambing.

Saat ajal hampir menjemput pendeta Amuria itu, Salman bertanya seperti pertanyaan kepada dua uskup sebelumnya. Ia menjawab.”anakku, tidak ada yang aku kenal serupa keadaanya dengan kita. Tetapi, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan sang nabi yang mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak diantara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandainya kamu dapat pergi kesana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan sedekah, namun bersedia menerima hadiah, dan dipundaknya ada cap kenabian yang bila engkau melihatnya, engkau pasti mengenalnya.

Suatu hari, datang rombongan dari jazirah Arab. Salman meminta pada mereka untuk membawanya pergi ke tempat asal rombongan tadi, sebagai gantinya Salman akan memberi semua sapi dan kambing miliknya. Salman kemudia ikut dengan rombongan hingga sampai di suatu negeri bernama Wadil Qura’, sebuah lembah yang terletak diantara Madinah dan Syam. Namun, rombongan tadi mendzolimi Salman dan menjualnya sebagai budak kepada yahudi disana. Mulai saat itu, Salman tinggal bersama yahudi hingga dibeli lagi oleh yahudi dari bani Quraizhah. Salman dibawa ke Madinah, dan baru saja negeri itu terlihat, Salman yakin bahwa ini negeri yang dikabarkan pendeta dulu.

Salman tinggal bersama yahudi bani Quraizhah sebagai pengurus kebun, hingga tiba waktu Allah SWT mengutus Rasulnya, lalu hijrah ke Madinah dan singgal di Bani Amir bin Auf di Quba.  Ketika sedang diatas pohon kurma, Salman mendengar teriakan seseorang. ”celakalah bani Qailah!, mereka mengelilingi seorang laki-laki di Quba dan mengaku seorang nabi dari Mekah.  Seketika tubuh Salman bergetas saat mendengarnya dan turun mendekati lelaki yang berteriak tadi. Majikan Salman tidak senang padanya dan meninju Salman hingga jatuh. “apa urusanmu, sana kerja lagi!”.

Selepas sore, Salman memberanikan diri untuk menemui laki-laki yang mengaku nabi. Setelah sampai, aku berkata kepada rombongan. “tuan-tuan, sepertinya sedang melakukan perjalanan, aku mempunyai bekal makanan, aku pikir, tuan-tuan lebih layak menerimanya, sehingga aku sedekahkan untuk kalian”. salman meletakan makanan itu dihadapan beliau.

“makanlah dengan menyebut nama Allah SWT”sabda Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Tepi beliau tidak menjamah makanan itu. Salman berkata dalam hati, “demi Allah SWT, ini satu dari tanda-tandanya, ia tidak mau memakan harta sedekah”

Salman lalu pulang dan esok harinya menemui mereka lagi. “aku membawa makanan lagi, dan aku lihat tuan tidak memakan sedekah ku kemarin, maka aku hadiahkan makanan ini.” beliau mengambil makanan itu dan memakan nya bersama para sahabat. “ini tanda yang kedua,ia bersedia menerima hadiah” pikirnya dalam hati.

Besok harinya, Salman datang kembali hingga menemukan Rasulullah SAW sedang mengiring jenazah dan dikelilingi oleh sahabatnya. Setelah mengucap salam, Salman menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Rasulullah SAW untuk melihat bagian atas tubuhnya. Rupanya Rasulullah SAW memahami keinginannya dan menyingkap kain burdah beliau dari lehernya hingga tampak pada pundaknya tanda yang dicari, yaitu cap kenabian seperti yang diceritakan pendeta dulu. Salman kemudian membalikan badan dan menciumi Rasulullah SAW sambil menangis.

Salman duduk dihadapan Rasulullah SAW dan menceritakan kisahnya hingga ia bertemu dengan beliau. Akhirnya Salman masuk islam, namun belum bisa mebersamai kaum muslimin dalam perang badar dan uhud karena perihal perbudakan yang menghalanginya.

Itulah jalan hidup Salman, kecintaan nya pada kebenaran melebihi kecintaan terhadap keluarga dan dirinya. Ia menempuh perjalanan yang jauh yang belum ia kenal sebelumnya. Bahkan ia pernah dijual menjadi budak, tapi itu tak menghalanginya untuk tetap mencari kebenaran. Semoga kita bisa mentauladani perjuangannya. Lalu bagaimana sepak terjang Salman untuk kaum muslimin. Mari kita mulai dengan perang khondak, perang yang menuntut siasat dan strategi yang benar-benar baru.
               
Perang khondak terjadi pada tahun 5 H. awalnya, beberapa orang yahudi pergi ke Mekkah untuk konsolidasi dalam pencabutan agama baru yang mulai meresahkan Madinah. Mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang ini. Siasat dan taktik perang diatur secara licik. Dua puluh empat ribu prajurit Quraisy dan Ghathafan di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn akan menyerang dari depan, sedangkan bani Quraizhah akan menyerangnya dari belakang barisan kaum muslimin sehingga mereka akan terjepit dari dua arah.

Saat itu kaum muslimin panik hingga keadaan mereka dilukiskan dalam alquran,, “Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika penglihatanmu terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah SWT (Al Ahzab:10)”

Kaum muslimin menyadari bahwa mereka sedang dalam keadaan gawat darurat. Rasulullah SAW pun mulai mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Ketika itulah, tampil laki-laki berbadan tinggi dan berambut lebat. Dialah orang yang dihormati dan disayang Rasulullah SAW. Dialah Salman Al-Farisi. Ia menyarankan untuk membangun sebuah parit. Hal ini tentunya berdasarkan analisis bahwa ternyata kota Madinah terlindung dari gunung dan bukit-bukit batu yang mengelilinginya. Namun, disana terdapat juga daerah terbuka yang luas dan terbentang panjang, hingga akan dengan mudah musuh menyerbu mamasuki benteng pertahanan. Karena itulah, Salman mengusulkan membuat parit di sepanjang daerah yang terbuka luas tadi.

Dalam penggalian parit, tentunya dilakukan secara bersama-sama. Lebar parit adalah 4,6 meter, panjang 5,6 km dengan kedalaman hingga 3 meter. Penggalian ini harus selesai dengan secepat-cepatnya dan harus dirahasiakan. Karena jika taktik perang lawan sudah diketahui, maka dengan mudah lawan bisa mengantisipasinya. Penggalian selesai dalam waktu 10 hari.

Hanya Allah SWT yang tau apa yang akan terjadi jika saat itu kaum muslimin tidak menggali parit. Ketika pasukan Quraisy datang, mereka tidak menyangka dengan taktik perang kaum muslimin. Selama sebulan kekuatan mereka hanya mendekam di kemah-kemah tanpa daya untuk menerobos Madinah. Akhirnya, pada suatu malam Allah SWT mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memorak-porandakan kesatuan mereka. Abu Sufyan pun memerintahkan anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka dalam keadaan putus asa serta menderita kekalahan pahit.

bersambung................

Minggu, 23 Desember 2012

Bakteri yang Dapat Memproduksi Emas Murni 24 Karat

Diberitakan dari situs DAILYMAIL, VIVA news dan Suara Merdeka, para peneliti akhirnya berhasil menemukan jenis bakteri yang dapat memproses zat kimia tertentu menjadi emas murni 24 karat.


Sekelompok Ilmuwan dari universitas Michigan, Kazem Kashefi dan Adam Brown, membangun sebuah laboratorium khusus (yang mereka namakan The Great Work of the Metal Lover) berhasil menciptakan emas dari limbah yang berbahaya bagi manusia. Mereka menggunakan bakteri Cupriavidus metallidurans (dulunya bernama Ralstonia metallidurans)untuk membuat butiran emas padat dari zat kimia gold chloride. Mikroba ini mampu mengubah zat beracun klorida emas untuk memproduksi gumpalan emas.
C. metallidurans memanfaatkan limbah beracun klorida emas sebagai makanan mereka. kotoran yang dihasilkan bakteri ini menjadi "pup" termahal didunia yang berupa 99,9% emas murni. waw,, Bakteri Cupriavidus metallidurans butuh waktu sekitar seminggu untuk merubah makanannya itu menjadi logam mulia.
Keberhasilan ini menandai terlahirnya alkimia modern (neo alchemi). setiap detil dari projek yang dilakukan oleh prof. kazem kashefi membuktikan bahwa mikrobiologi dan alkimia dapat dijembatani. 
Tapi, jangan terlalu bersemangat dengan temuan ini. Sama sekali ini bukan penangkal harga emas yang makin meroket akhir-akhir ini. Meski kedengarannya menarik, biaya yang dibutuhkan untuk mereproduksi eksperimen mereka dalam skala yang lebih luas, luar biasa mahal. rasio limbah dan emas yang dihasilkan juga sanggat berbeda. 




Job For Bem Faperta IPB 2011

video ini berisi kumpulan moment2 selama berada di BEM FAKULTAS PERTANIAN IPB kabinet Generasi Pembaharu 2011. Banyak kenangan yang telah terlewati disini.  
Video ini di buat pada tanggal 15 Desember 2011


Sabtu, 22 Desember 2012

Surat dari ibu


Surat dari ibu.
Asslamualaikumm,,”
“Ibu, ibu”
“waalaikum salam, ada apa Rifa,? Rifa sehat?”
“ibuuu, Rifa gak betah disini, Rifa ingin pulang, Rifa kangen sama ibu”
“iya ibu juga kangen sama Rifa, tapi Rifa tidak boleh pulang, kan Rifa mau jadi sarjana”
“Rifa gak mau jadi sarjana, Rifa mau ibu, Rifa takut sekali disini, semuanya serba baru, Rifa sendirian disini,”tidak terasa air mata sudah menetes.
Rifa gak sendiri, coba Rifa lihat ke sekeliling, ibu percaya pasti banyak orang baik yang akan menjadi teman Rifa, karena Rifa juga orang baik, Rifa hanya perlu tersenyum, dan cobalah untuk berkenalan”
“Rifa takut tidak diterima bu, Rifa kan miskin, Rifa juga tidak pinter”
“Kata siapa Rifa miskin, Rifa masih punya kekayaan hati yang lebih penting daripada kekayaan harta. Rifa nelpon dari mana?“
“dari wartel bu,”
“kita nanti berkirim kabar lewat surat saja ya Rifa, nelpon ke Belitung pasti mahal, dan juga gak enak ke pak Lurah kalo telponnya sering kita pakai”
“Tapi bu, Rifa pulang saja ya, Rifa janji akan bekerja keras disana, Rifa bisa jadi nelayan, Rifa bisa ja…”
“ssssttttt,, coba dulu satu semester, kalo nanti tetap tidak betah, baru nanti kita pikirkan jalan keluarnya, sekarang ibu tidak punya uang untuk ongkos Rifa pulang”
Seketika aku ingat wajah peluh ibu saat pulang minjam uang dari tetangga..
“iya ibu, Rifa coba dulu deh satu semester,”
“ya udah, hemat uang bekalmu , banyak-banyaklah berteman dengan orang baik. hanya satu pesan ibu, cita-cita Rifa adalah cita-cita ibu juga, ibu akan selalu berdoa untuk Rifa agar selalu diberikan yang terbaik. Mungkin dengan kuliah ini, bisa membuka jalan kesuksesan Rifa. Perbanyak beribadah ya Rifa, jangan lupa sholat duha. wasslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
“iya bu, terima kasih bu, wasslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Mahal sekali nelpon ke Belitung, jatah makanku hilang sudah selama seminggu. Tapi tidak apa-apa, demi mendengar suara ibuku, aku rela berhemat dan pasti bisa bertahan di kampus ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan lagi perjuangan ibu mencari pinjaman sana-sini demi kuliahku. Mulai detik ini, aku akan selalu jadi kebanggaan ibu, akan ku raih gelar sarjana ku di kampus hijau ini dengan IPK sempurna. PASTI BISA.
Dua minggu sekali aku rutin mengirim surat ke ibuku di rumah, menceritakan semua hal yang terjadi, menceritakan teman seasrama ku yang ternyata banyak yang anak orang kaya, menceritakan tentang dosen matematika ku yang mudah sekali aku cerna pelajaranya, walaupun kata teman sekelasku, dosen itu gak layak mengajar karena tak pernah sekalipun melihat mahasiswanya. Konsentrasinya hanya pada papan tulis saja. Aku juga pernah bercerita tentang gadis berkerudung biru yang sedikit banyak mengganggu konsentrasi belajar ku, dan aku ingat, ibu minta dikirimkan foto gadis itu disurat balasan ibu. Ah, malu sekali aku minta fotonya, akhirnya aku kirim saja coretan lukisan tanganku di kertas saat kuliah. Dan ibu bilang cantik, padahal teman-teman sekamarku bilang lebih mirip mpok Ati daripada gadis berkerudung biru itu.
Surat-menyurat dengan ibu menjadi kebiasaan yang menyenangkan selama tingkat satu di kampus ini. Memasuki tingkat dua, kesibukan ku mulai meningkat karena sudah mulai masuk ke jurusan. Laporan dan tugas lebih banyak lagi, mata kuliahnya bukan lagi mata kuliah SMA seperti ditingkat satu. Daya hafal ku yang kuat membantu sekali mendapatkan nilai dimata kuliah jurusan. Karena memang jurusan ini banyak menuntut daya hafal yang tinggi. Harus menghafal nama serangga lah, nama penyakit tanaman, nama hamanya juga hingga ke tingkat spesies. Akibat banyak nya nama-nama yang harus dihafal, kadang suka lupa dengan nama teman sendiri. Sepeti kata dosen, “satu nama serangga dihafal dan masuk kedalam otakmu, maka satu nama temanmu hilang”. Percaya atau tidak, tapi kadang itu sering terjadi
Kesibukan ini membuat jadwal surat-menyurat dengan ibu berubah menjadi sebulan sekali. Surat dari ibu selalu menjadi penyemangat ketika lelah belajar. Aku bisa tahu kabar terbaru dirumah seakan aku selalu berada disana. Ibu juga bisa tahu kabarku seakan ibu ada disini. Aku semakin betah dengan kehidupan kampus ini. Aku sudah bisa mandiri dan tidak berharap lagi pada uang kiriman dari rumah. Aku bisa mengajar privat, aku bisa berjualan apa saja yang aku bisa. Semua hasil jerih payahku terus kutabung demi membiayai perjalanan keluargaku nanti saat wisuda. Siapa yang tidak ingin keluarganya datang saat detik-detik nama kita disebut dengan IPK sempurna. Mereka pasti bangga sekali. Itu juga yang menguatkan ku untuk tidak pulang saat musim libur tiba, uang pulang nya lebih baik aku tabung. Bukannya tidak kangen dengan rumah, tapi aku hanya akan menjadi beban jika pulang.
Ditingkat tiga kampus ini surat untuk ibu lebih banyak bercerita mengenai kesibukan diorganisasi, aku dipercaya menjadi kepala departemen organisasi mahasiswa di tingkat fakultas. Bercerita mengenai Teman-teman baru, mengenai masalah baru, juga mengenai gadis berkerudung biru itu. Ah, tetap saja ibu minta dikirimkan fotonya. Dan aku tetap saja tidak berani meminta foto gadis itu. Sebagai gantinya, aku ceritakan saja semua tentang gadis itu yang aku ketahui. Dan ibu menjawab disurat balasannya, “kapan mau dilamar?,,”, dengan rona muka memerah, aku jawab saja, insya Allah, nanti diumur 25 bu, doakan saja semoga namanya yang tertulis dilauh mahfudz sebagai penyempurna imanku.
Ditingkat empat, aku semakin percaya diri, bukan Rifa yang dulu penakut dengan hal yang baru, bukan Rifa yang dulu sering menangis malam hari di bawah selimut. Kini Rifa sudah punya banyak teman baik bu, teman yang seperti kata ibu, selalu mengingatkan untuk berbuat baik, teman yang ada ketika susah dan senang.  Di salah satu surat, aku pernah bercerita mengenai dosen skripsiku yang juga sangat baik. Aku terbantu sekali melakukan penelitian tingkat akhirku. Dan rupanya ibu mengirimkan oleh-oleh khas Belitung disurat balasan ibu. Senang sekali dosen skripsiku menerima oleh-oleh ibu.
Ibu, kini anakmu telah menyelesaikan kuliahnya. Ijinkah lah anakmu mendengar suaramu ibu, ijinkanlah anakmu berjumpa dengan mu ibu. Maka di surat terkakhirku, ku kirim surat beserta tiket pesawat untuk 4 orang, untuk ibu, untuk ayah, untuk kakak Devi, dan untuk adikku Adji. Tak sabar sekali menunggu kedatangan kalian dikampus hijau ini. Nanti akan ku ajak kalian ke taman safari, akan ku ajak makan di restoran, jalan-jalan ke Dufan, ah, banyak sekali rencana yang ingin kulakukan bersama ibu dan keluargaku.
“sudah sampai mana?” pesan singkat yang ku kirim pada hape kakak Devi. Hape yang aku kirimkan bersama surat dan tiket pesawat kemaren.
“bentar lagi katanya sampai di Banarang siang?”,, pesan singkat masuk ke hape ku,aku tersenyum sedikit membaca kata banarang siang, mungkin barangan siang maksudnya.
Sip, dari jam 4 sore aku sudah berada di parkiran mobil damri di Baranang Siang. Sebentar lagi aku bisa mendengar suara ibu, aku bisa memeluk dan melihat wajahnya. Seperti apa wajah kakak Devi sekarang ya, dan pasti adikku Adji sudah tinggi sekarang. Ayahku, ya, ia pasti semakin beruban seperti yang Ibu ceritakan disurat-suratnya. Nah itu dia mereka.
Aku Kaget melihat ibu tidak ada, sosok yang sangat aku rindukan selama 4 tahun, sosok yang begitu memotivasi dengan kata-kata indah dari surat-suratnya,
“Ibu kemana?”tanyaku pada ayah setelah saling berpelukan.
“ka Rifa, ibu kan sudah ke surga duluan waktu dede kelas 3 sd ka Rifa lupa ya?” dengan polosnya adik ku Adji berucap.
Kata-kata itu menusuk sekali hingga terasa ke ubun-ubunku. Aku tatap mata ayahku meminta penjelasan. Wajah kerasnya terlihat meluntur menahan tangis yang sebentar lagi pecah. Ya, ayah ku ta kuasa menahan tangis dan memeluk ku erat, erat sekali.
“maaf kan ayahmu ini yang baru bisa mengabari mu hari ini,Rifa, ibumu sudah meninggal empat tahun lalu, sebulan setelah Rifa merantau ke Bogor,”
“Jadi, selama ini?, surat yang sering aku terima, dari siapa?, kenapa baru sekarang aku diberi tahu,?“
ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya, berlari sejauh-jauhnya, bahkan jika bisa ingin terbang setinggi-tingginya, apapun akan aku lakukan untuk melupakan apa yang baru saja ku dengar. Tapi otak rasional ku bilang, lihat keluargamu datang jauh-jauh dari Belitung, bukan untuk kau tinggalkan,
Ayah memberi ku sepucuk surat. Dari tulisannya, sama seperti tulisan dari surat yang sering aku terima dari ibu. Kulayangkan pandang ke arah kakak devi, ia mengangguk memahami isi pikiranku, ia yang menulis surat selama ini.

Untuk anak ku Rifa rusiva
di Bogor

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”
Duhai anak ku, apa kabar ? semoga selalu ada dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Taala. Kabar disini Alhamdulillah sehat semua, terutama ibumu ini Rifa, sangat sehat sekali, seperti biasa pekerjaan ibu sehari-hari ya menjahitkan baju untuk adikmu, mengajari kakakmu membuat masakan, atau menemani ayahmu pergi ke ladang. Rifa bagaimana pekerjaan sehari-harinya? Semoga selalu melakukan hal yang berguna ya Rifa. Terutama berguna untuk orang lain. Ingat, apa yang dulu pernah Rifa katakan saat pulang dari sekolah dulu?. Rifa pernah bilang, “ibu, ingin jadi manusia terbaik di muka bumi gak bu?, mau Rifa ceritakan caranya gak bu?, baru dikasih tau sama guru baru di sekolah lho bu”, kalau tidak salah ibu jawabnya, “mau sekali Rifa, ayo ceritakan bagaimana caranya?” lalu Rifa dengan riang menjawab,,”kata guru baru Rifa, caranya adalah dengan selalu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain”. Semenjak itu, ibu selalu memegang teguh apa yang Rifa ucapkan, ibu harap Rifa juga memegang teguh kata-kata Rifa dulu itu ya,,
Mata ku tak kuasa menahan tangis yang terus membuncah. Ingatan-ingatan waktu dulu seakan berlarian menjumpai memori otak untuk segera dikenang.
Rifa, ibu sangat rindu sekali dengan Rifa, setiap selesai solat, tak lupa ibu selalu mendoakan Rifa dan keluarga, semoga selalu diberikan yang terbaik. Dan sepertinya waktu ibu sudah tidak banyak lagi Rifa, ingin sekali ibu memeluk Rifa saat ini, masak sayur asem lagi untuk Rifa. Tapi, penyakit ini menurut dokter semakin parah, maaf ibu dan keluarga tidak memberi tahu perihal ini. Ibu tak mau Rifa mengkhawatirkan ibu, ibu takut Rifa malah tidak mau kuliah lagi. Jadi ibu berpesan kepada kakak mu,jika ibu nanti sudah tiada, selalu balas surat dari Rifa, ibu juga berpesan kepada ayahmu, untuk memberikan surat ini kepada Rifa saat kuliah Rifa sudah selesai.
Rifa, doakan juga ibu dan keluarga disini ya, walaupun mungkin nanti ibu sudah tiada, tapi ibu akan selalu ada di hati Rifa, jangan salahkan ayahmu kalau nanti ternyata telat memberi tahu Rifa tentang ibu. Jadikan selalu Ayahmu sebagai panutan. Hormati kakakmu, dan bimbinglah adikmu. Selamat wisuda anak ku, selamat berbakti untuk keluarga dan bangsamu.

Wasslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,,

Yang selalu menyayangi mu,
ibumu

….

RIFA RUSIFA, DARI KELUARGA BAPAK MANSYUR DAN IBU AMINAH, LULUS DENGAN IPK 4.00. PREDIKAT CUM LAUDE………gemuruh tepuk tangan membahan di gedung Wisuda Kampus.
Ibu, anak mu kini telah bergelar sarjana. Ibu selalu ada di hati Rifa. Dan Rifa selalu ada di hati Rifa. Aku janji akan berbakti pada keluarga dan bangsaku. Seperti kata ibu.

Sabtu, 15 Desember 2012

MUSH’AB BIN UMAIR Duta Islam Pertama

Duta Islam Pertama

Sahabat Rasulullah SAW yang satu ini, sebelum masuk islam, adalah bunga yang selalu mengharumi jalan-jalan Quraisy, hadirnya selalu dinanti disetiap perkumpulan karena kecerdasan otak dan penampilannya yang anggun. Ia pemuda tampan, serba kecukupan, selalu dimanja serta selalu menjadi buah bibir gadis-gadis Quraisy. Lalu bagaimana pemuda idaman para gadis ini bisa mengecup indahnya islam. Mari kita lanjutkan sirahnya.

Berita mengenai datangnya seorang utusan tuhan dikalangan Quraisy menjadi trending topic saat itu, dan karena  Mush’ab sering mendengar berita ini lewat perkumpulan yang sering ia datangi, otak cerdasnya tertarik untuk mengetahui seperti apakah utusan tuhan yang bernama Muhammad SAW ini.

Ia tahu bahwa pertemuan yang sering dilakukan oleh Muhammad SAW dan pengikutnya diadakan di tempat yang jauh dari gangguan Quraisy, yaitu di bukit Shafa di rumah Al-Arqam bin Abul Arqam. Tanpa pikir panjang, disuatu senja ia mendatangi rumah itu dan duduk melihat apa yang dilakukan dalam rumah Al-Arqam ini.

Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an mengalir dari hati Rasulullah SAW dan bergema melalui bibir beliau hingga masuk meresapi kalbu Mush’ab. Seketika itu, Mush’ab seakan terbang oleh perasaan gembira. Rasulullah SAW mengerti perasaan pemuda ini dan mengulurkan tangannya yang penuh kasih sayang kemudian mengurut dadanya hingga perasaan Mush’ab mulai damai, tentram bagai lautan dalam. Ia pun masuk islam di senja itu juga.

Satu hal yang paling dikhawatirkan oleh Mush’ab setelah masuk islam adalah ibunya. Seandainya mekkah dengan segala patung, tokoh2 Quraisy dan padang pasirnya mengepung dan memusuhinya, Ia anggap tidak seberat apabila ibunya sendiri yang menjadi musuhnya. Ia pun menyembunyikan keislaman dari ibunya. Rupanya di Mekkah tiada rahasia yang tersembunyi. Banyak mata dan telinga dimana-mana.
Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab masuk ke rumah Al-arqam secara diam-diam dan sholat seperti Muhammad SAW. Ia pun dilaporkan oleh Utsman kepada ibunya.

Dihadapan ibunya dan pembesar-pembesar Quraisy, Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah didengarnya dari Rasulullah SAW untuk mencuci hati nurani mereka. Ibunya hendak memukul untuk membungkam mulut Mush’ab, namun malah terkulai karena tidak tega melihat wajah yang berseri cemerlang itu kian berwibawa dan tenang. Akhirnya Mush’ab dipenjarakan di rumahnya hingga sekian lama.

Akhirnya datang perintah hijrah dari Rasulullah SAW ke Habasyah, Mush’ab berhasil mengelabui penjaga dan ibunya hingga bisa hijrah dengan penuh ketaatan bersama saudaranya kaum Muhajirin.

Suatu hari datang Mush’ab kepada sahabat yang sedang mengelilingi Rasulullah SAW, para sahabat tertunduk prihatin dan berlinang air mata karena terharu. Betapa tidak, Mush’ab yang dulu sebelum masuk islam pakaiannya bagaikan bunga-bunga ditaman hijau yang terawat dan menyebarkan bau wangi, kini ia hanya memakai jubah usang dengan penuh tambalan. Rasulullah SAW memandangnya dengan penuh rasa syukur dan kasih sayang. Beliau menyunggingkan senyum seraya bersabda : “Aku telah mengetahui Mush’ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Mekkah yang lebih dimanja oleh orangtuanya seperti dirinya, kemudian ia meninggalkan itu semua karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.:”

Ketika pulang ke Mekkah, ibunya hendak mengurungnya kembali. Namun, ia telah mengetahui kebulatan tekad Mush’ab. Tidak ada cara lain selain harus melepaskan kepergian Mush’ab dengan cucuran air mata. Dan Mush’ab pun tak kuasa menahan tangis. Ibunya yang gigih luar biasa dalam kekafiran sedangkan Mush’ab dengan kebulatan tekad yang sangat kuat dalam mempertahankan keimanan. Ibunya akhirnya mengusir Mush’ab dari rumah seraya berucap.. “pergilah sesuka hatimu, aku bukan ibumu lagi”

Mush’ab menghampiri ibunya seraya berkata, “ibunda, ananda ingin menyampaikan nasihat kepada ibunda, ananda merasa kasihan pada ibunda. saksikanlah bahwa tiada Ilah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya”.

Ibunya menjawab dengan penuh emosi dan kesal/ “demi bintang, aku tidak akan masuk agamamu, bisa-bisa otak ku rusak”.

Mush’ab kini meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang ia nikmati selama ini. Ia kini lebih memilih hidup miskin dengan pakaian kasar dan usang. Adakala ia makan, adakala beberapa hari ia lapar. Namun jiwanya yang telah diisi dengan akidah yang suci dan memancarkan cahaya Ilahi, telah mengubah dirinya menjadi manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.

Suatu saat, Mush’ab dipilih oleh Rasulullah SAW untuk mengajarkan agama di Madinah kepada sahabat Anshar yang telah berbaiat kepada Rasulullah SAW, mengajak yang lain agar menganut agama Allah dan mempersiapkan Madinah untuk hijrah yang agung. Sebenarnya saat itu banyak sahabat-sahabat yang lebih tua dibanding Mush’ab, namun Rasulullah SAW menyerahkan tugas agung ini dipundak “Mush’ab yang baik”.

Dengan bekal kearifan pikir dan kemuliaan akhlak yang dikaruniakan Allah pada nya, serta kezuhudan, kejujuran dan kesungguhan hatinya telah berhasil melunakan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk islam. Pada musim haji berikutnya, sebanyak 70 mukmin laki-laki dan perempuan berngkat ke Mekkah dengan dipimpin sendiri oleh guru mereka. “Mush’ab yang baik”.

Mush’ab sebenarnya ketika tinggal di Madinah banyak sekali menemui rintangan. Ia pernah ditodong belati oleh pimpinan kabilah Abdul Asyhal, yaitu Usaid Al Hudhair. Usaid sangat murka dan sakit hati menyaksikan Mush’ab menyelewengkan kaumnya dari agama mereka. Tuhan-tuhan yang selama ini mereka sembah bisa dilihat dan diketahui keberadaanya, sehingga jika ada kesulitan dengan mudah bisa tau kemana harus mengeluh. Sedangkan tuhan Mush’ab ini, tiada seorangpun yang mengetahui keberadaaNya atau melihatNya.

Walaupun ditodong belati, Mush’ab tetap tenang dan dalam; laksana cahaya fajar yang ceria dan damai. Ketulusan hatinya telah menggerakan lidahnya untuk mengeluarkan ucapan yang lembut/ “ mengapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu?, seandainya anda menyukai, anda dapat menerimanya. Sebaliknya, jika tidak, kami akan menghentikan yang anda benci.”

Usaid adalah orang yang cerdas. Ia mengetahui Mush’ab ingin mengajaknya berdialog dan meminta pertimabangan kepada hati nuraninya. Ia tahu, Mush’ab hanya memintanya untuk mendengarkan, tidak lebih, jika ia setuju, akan membiarkan Mush’ab, jika tidak, Mush’ab telah berjanji akan meninggalkan kampungnya. Ia pun insaf dan melemparkan belatinya serta duduk mendengarkan Mush’ab.

Ketika Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, dada usaid bergemuruh mulai terbuka dan bercahaya. Belum selesain Mush’ab menyampaikan uraiannya. Usaid sudah berseru, “alangkah indah dan benarnya ucapan itu, apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk agama ini?”

Dengan disertai gemuruh tahlil, Mush’ab menjawab, “hendaklah ia menyucikan badan dan pakaiannya, serta bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah selain Allah”.

Berita keislaman usaid menyebar cepat diseluruh Madinah, diikuti dengan keislaman Sa’ad bin Mu’adz, serta Sa’ad bin Ubaidah. Persoalan dengan berbagai suku pun selesai. Dan warga Madinah saling berdatangan  kepada Mush’ab dan beriman bersamanya. Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah gigi Mush’ab.

Demikianlah duta Rasulullah SAW pertama telah mencapai hasil yang gemilang. Hari berganti hari dan tahun demi tahun berjalan hingga tiba waktu Rasulullah SAW bersama para sahabat hijrah ke Madinah.
Kaum Quraisy pun terbakar dendam, kezaliman terus berkobar hingga meletuslah perang badar. Perang pertama kaum muslimin yang berhasil dimenangkan.

Kemudian perang uhud pun menjelang dan kaum muslimin pun bersiap mengatur barisan. Rasulullah SAW berdiri di tengah barisan dan menatap wajah orang beriman, untuk memilih siapa yang berhak membawa bendera perang. Beliau pun memanggil “Mush’ab yang baik”. Dan Mush’ab menjadi pembawa panji perang kaum muslimin.

Rupanya berkecamuknya perang uhud tidak sesuai dengan strategi yang dicanangkan. Pasukan pemanah melanggar perntah Rasulullah SAW dan turun dari bukit. Sementara pasukan Quraisy yang awalnya mundur ternyata hanya tipuan, berhasil naik keatas bukit yang awalnya ditempati oleh pemanah muslim. Kaum muslimin yang tengah lengah kaget dengan serangan balik dan dadakan dari pasukan Quraisy hingga menjadi sasaran dari pedang-pedang yang haus darah. Begitu melihat pasukan muslim porak poranda, mereka mengalihkan serangan menuju Rasulullah SAW, saat itu Mush’ab menyadari ancaman yang berbahaya itu. Diapun mengangkat panji perang setinggi-tingginya dan bertakbir bagai singa yang meraung. Ia memfokuskan semua upaya untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW.

Sungguh, walau seoarang diri, Mush’ab bertempur laksana pasukan besar. Sebelah tangan memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sebelah lagi menghunuskan pedang dengan matanya yang tajam. Namun, musuh datang semakin banyak. Ibnu Qamiah datang dan menebas tangan kanannya hingga putus. Mush’ab mengucapkan,” Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan”. Kini ia memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula.

Mush’ab membungkuk kearah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan, ia mendekap bendera ke dada sambil mengucap. ” Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan”. Musuh menyerangnya kembali dengan tombak dan menusuknya hingga patah. Mush’ab akhirnya gugur dan bendera perangpun jatuh.

Mush’ab gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Saat itu mushab, yakin bahwa sekiranya ia gugur, tentu jalan musuh akan terbuka lebar menyerang Rasulullah SAW. Karena cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah SAW, dan cemas memikirkan nasib beliau seandainya ia gugur, maka setiap sabetan pedang menbas tangannya ia mengucapkan, ” Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan”.kalimat yang kemudian dikukuhkan menjadi ini ini selalu diulang dan dibaca sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Qur’an yang selalu dibaca orang.

Rasulluah bersama para sahabat meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan kata perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad mush’ab, air mata beliau mengucur deras. Beliau membacakan ayat dihadapan nya :

Dan diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (Al Ahzab:23)

Kemudian dengan penuh rasa iba beliau memandangi kain yang digunakan untuk menutupi jasadnya. Jika kami menutup kepalanya, kedua kakinya tersingkap dan jika menutup kakinya, kepalanya tersingkap, rasululluah pun menyuruh menutup kepalanya dengan kain dan menutup kakinya dengan idzkhir (rumput berbau harum yang biasa digunakan dalam penguburan).

Setelah itu pandangan beliau tertuju ke medan pertempuran dengan pemadangan jasad rekan2 Mush’ab yang tergelatak diatasnya. Rasulullah SAW bersabada. “sungguh, Rasulullah SAW akan menjadi saksi pada hari kiamat ananti bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah”.

Kemudian beliau berpaling kearah sahabat yang masih hidup, dan bersabda, “wahai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka. Ucapkanlah salam untuk mereka. Demi dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tiada seorang muslim pun yang mengucap salam kepada mereka sampai hari kiamat, kecuali mereka pasti membalas salamnya”
             Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, wahai Mush’ab
Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kalian, wahai para syuhada,
Semoga keselamtan, kerahmatan,dan keberkahan dilimpahkan kepada kalian semua..

Sumber : buku karya Khalid Muhammad Khalid. : Biografi 60 Sahabat Nabi versi Tahqiq” penerbit ummul qura’. 2012






Selasa, 11 Desember 2012

Janji untuk ayah dan ibu


Janji untuk ayah dan ibu
Hari ini hari yang berbahagia untuk Heru, perjuangan nya di SMA selama tiga tahun ini, doa disepertiga malamnya tiga tahun ini, serta tekad kuat nya mengejar mimpi tiga tahun ini, akhirnya bisa terjawab dengan lulusnya ia masuk ke salah satu universitas terkemuka di Bogor, Institut Pertanian Bogor. Jurusan nya kehutanan, karena memang ia senang sekali berinteraksi dengan alam. Baginya alam adalah tempat yang paling seimbang di muka bumi, hanya saja manusia banyak merubah keseimbangan itu. Berbeda dengan perkotaan yang penuh dengan ketidak seimbangan. Polusi yang dikeluarkan, tidak seimbang dengan penyerapan karbondioksida oleh pepohonan yang ada. Jumlah manusia tidak seimbang dengan daya tampung kota itu sendiri. Ah nanti saya akan kerja di hutan saja lah,pikirnya sebelum memasuki gedung pendaftaran ulang di kampus hijau itu.
Hari ini hari yang berbahagia juga untuk ayah Heru, seorang pedagang bakso dapat menyekolahkan anaknya hingga kuliah, adalah sebuah prestasi terbesar baginya. Ia bangga dengan anak nya, ia bangga dengan jurusan nya, ia bangga dengan kampusnya. Bagaimana tidak, ia pernah mendengat obrolan pelanggan saat makan bakso di warungnya, “presiden kita itu, pa esbeye, kuliahnya di IPB, wah, saya ingin anak saya kuliah disana, biar jadi presiden juga, hahahaha”. Semenjak itu, keinginan pelanggan baksonya pun menjadi keinginan ia juga. Ah, mulai sekarang, aku akan bekerja keras untuk menyekolahkan si Heru di IPB. Pikirnya dalam hati.
Hari ini hari yang berbahagia juga untuk ibu Heru, kelelahannya mencari pinjaman sana-sini untuk mencukupi uang pendaftaran Heru masuk kuliah, seperti tidak pernah terasa. Ah, aku juga akan bekerja keras untuk membayar hutang-hutang itu, ucapnya mantap saat menemani Heru melakukan pendaftaran ulang. Ia bangga sekali dengan anaknya, Heru, anak semata wayangnya bisa meneruskan mimpinya dahulu, mimpi untuk masuk kuliah yang terganjal karena biaya dan keinginan orang tua. Doa dan tangis Heru di setiap sepertiga malam yang sering ia dengar, membuatnya selalu semangat mencari jalan untuk kuliah anaknya.
**
Di kampus hijau itu, Heru masuk Tingkat Persiapan Bersama selama satu tahun, pada tingkat ini, ia dan teman-temannya wajib tinggal di asrama kampus dengan satu kamar berisi empat orang. Teman-teman sekamar Heru termasuk golongan orang berada. Yang satu, ayahnya seorang pemilik kebun sawit di Medan sana, yang satu, ayahnya pemilik peternakan sapi di Bandung sana, dan yang satu lagi ayahnya seorang kepala cabang sebuah bank di Banten sana.  Cuma Heru yang ayahnya seorang tukang bakso.
Satu bulan pertama uang kiriman Heru masih berlebih, sehingga ketika ia terbawa pola makan teman-teman sekamarnya ia masih bisa bertahan. Dua bulan kemudian, uang kiriman Heru mulai terasa kurang karena pola konsumsi Heru mulai meningkat. Tiga bulan kemudian, uang kiriman Heru malah sudah habis dipertengahan bulan. Akhirnya ia berencana untuk pulang dan meminta bekal lagi.
Kepulangan Heru memang sengaja tidak memberi kabar terlebih daluhu, karena ia berencana pulang malam akibat kesibukan kuliah dan tugas yang mulai menggunung, “takut nungguin nanti,” pikirnya. Setelah sampe rumah, dilihatnya ruang tamu lenggang, hanya ada kursi dan meja kayu tertata rapi dengan vas bunga ditengahnya. Dilihat kamar orangtuanya, lampunya belum dinyalakan, pasti ayah ibu Heru sedang keluar. Warung bakso depan rumah pun tadi sudah dirapikan, memang jam 9 biasanya warung sudah tutup. Heru kemudian pergi ke dapur dan mengambil segelas air minum, lalu berjalan menuju kamarnya di depan ruang tamu. Lampu kamar sengaja tidak ia nyalakan agar mudah memejamkan mata. Bukan karena omongan peneliti yang mengatakan jika tidur dalam kondisi gelap lebih sehat dari pada tidur dalam kondisi lampu menyala, tapi karena memang dari kecil ia dididik untuk tidak menyalakan lampu saat tidur. Alasan lebih tepat untuk hemat bayar listrik sepertinya.
Pintu rumah terdengar dibuka secara perlahan. Suara-suara kecil saling bersahutan setelah pintu terdengar ditutup. Mungkin itu ayah dan ibu pikirnya, ya, suara nya sudah jelas terdengar. Orang tua Heru sedang duduk diruang tamu dan tidak sadar kalau malam itu Heru sudah pulang.

                Heru seperti tersambar gledek mendengar obrolan ayah ibunya.  Nafas nya tidak teratur setidak teraturnya emosinya saat ini. 
“Bodoh,, bodoh,, bodohh” hatinya tidak terima dengan semua yang telah dilakukan Heru selama di kampus. Antara marah, menyesal dan sedih bercampur aduk dalam tatapan kosong Heru. Langit-langit kamar pun seakan jatuh tiba-tiba menghimpit dan menambah beban yang akan ia tanggung setelah ini. Bagaimana tidak, selama tiga bulan, ia berhura-hura makan dan jajan sepuasnya, sementara disini, dirumahnya, ayah ibu nya berjuang, membanting tulang, meminjam sana-sini untuk membiayai kuliahnya.
“anak durhaka kamu ru,,, dengar, ayahmu yang tak pernah kamu dengar menangis, dengar Heru,, sekarang ia menangis memikirkan uang kuliah mu bulan depan akan didapat dari mana,” ia dalam hatinya menyalahkan,,
“bulan depan dari jualan bakso lah” ia yang lainnya membela Heru.
“dari bakso katamu??,, kamu tuli ya, gak dengar ibu mu bilang ia akan menjual gerobaknya untuk melunasi pinjaman saat membayar uang pendaftaran mu dulu,, atau memang kamu sudah tidak punya hati lagi Heru? Tidak peka dengan sedikit gurat sedih yang dulu sempat sesaat terlihat saat mereka meninggalkanmu di asrama?, ah iya,, rupanya teman-teman mu sudah menyilaukan matamu, pantas kamu mulai kendor solat malamnya akhir-akhir ini”
Tak kuasa lagi Heru menahan rembesan air mata kepipinya. Meski tanpa suara, tangisan ini yang sering ia tunjukan pada tuhannya saat berdoa dulu di SMA menjadi saksi bersama gelapnya kamar Heru.
“kamu harus berjanji Heru, janji untuk berhemat, janji untuk selalu bilang cukup berapapun uang yang dikirim orang tua mu, janji untuk selalu berprestasi dan mendapat beasiswa, janji untuk mencari pekerjaan sampingan dan janji untuk tidak selalu menjadi beban buat orang lain” hatinya mulai berdamai.
“ingat Heru, perjuangan mu di kuliah, akan allah balas tidak hanya untuk mu, tapi untuk ayah ibu mu juga. Jadi jangan menyerah dan Allah pasti memberikan jalan” ujar hatinya menenangkan.
Heru memutuskan akan pulang malam ini juga, ia malu jika sampai bertemu dengan ayah ibu nya. Tidak peduli cape, tidak peduli jika tidak ada kereta atau angkutan ,malam ini juga harus pulang ke asrama.
Setelah orang tua Heru tidur, jam 12 malam, ia mengendap-ngendap keluar rumah. Jika saja ada orang lain melihat ia keluar rumah seperti itu, pasti akan diteriaki maling. Namun, Ia tidak peduli dan tidak terpikirkan hal itu.
Esok harinya,,di asrama,, Heru mengirim sebuah pesan singkat pada ayahnya..
“Asslam, Ayah,,ibu,, bulan depan ayah ibu tidak usah memikirikan uang bekal Heru lagi ya, ada beasiswa yang insya Alloh Heru pasti dapatkan, dan sekarang Heru juga mau daftar jadi guru les privat, mohon doa nya ya ayah ibu, semoga Heru selalu diberikan yang terbaik,, jaga kesehatan ya ayah ibu, Heru sayang ayah ibu karena Alloh,, wasslam”
Send…
Heru tau belum tentu ada beasiswa yang bisa ia dapatkan, mencari informasinya saja belum, Heru juga tau, belum tentu ada lowongan jadi guru les privat, hanya keyakinan pada Tuhannya, kemauan yang kuat dari dirinya serta doa setiap ba’da solat dari orang tuanya yang meyakinkan Heru bahwa selalu ada jalan untuk orang yang berusaha. PASTI BISA,,, ucapnya mantap, Bismillah

Rabu, 05 Desember 2012

Anak ku bukan anak sewaan


Seharusnya aku senang menjadi seorang ayah, seperti keluarga lain, saat pagi menyapa, sang bayi menangis minta diganti popoknya, sekedar minta diberi air susu, atau minta digendong ayahnya ketika ibunya sibuk memasak. Siang menjelang ia ditelepon ibunya, mendengar celoteh “ba, bi, bu” dari sang bayi, sejenak melupakan kesibukan pekerjaan. Sore menjemput ia pulang dengan wajah penuh kerinduan pada keluarga, saat pulang disambut teriakan kecil istrinya, “hoyee, ayah sudah pulang” sambil menggerak-gerakkan lengan sang bayi. Malam pun berisi canda tawa, tangisan bayi atau apapun yang menyenangkan yang dialami keluarga baru.

Namun tidak dengan ku, saat pagi datang, aku yang pertama bangun, mana istriku?, masih terlelap dengan selimut tebalnya, aku juga yang pagi-pagi mengganti popok dan memasak juga membuat air susu dalam botol. Aku berangkat kerja, kalau aku boleh menyebut memulung adalah sebuah pekerjaan, ketika istriku sudah bangun. Tentunya agar aku bisa tenang meninggalkan bayiku. Siang menjelang, mana ada telepon-telepon, lha teleponnya saja tidak ada, jadi tetap dengan kesibukan memulung hingga sore menjemput. Biasanya aku pulang sebelum magrib daan tak ada celoteh sambutan atau tawa candaan dalam rumah kami. 
Hanya ada seorang istri yang menggerutu karena bersuamikan pemulung. Begitulah hidupku, biasa saja, sederhana, dan tidak banyak kebahagiaan di sini, hanya bayi kecilku satu-satunya sumber harapan aku bisa bersabar dengan istri sepertinya.

Pagi ini seperti biasa aku bangun pagi, pergi ke dapur untuk memasak air hangat juga menyiapkan air susu botol. Begitu ingin memberikan air susu botol, baru tersadar kalau tidak ada bayi di samping istriku, kucoba mencari-cari ke bawah ranjang barangkali terjatuh, ke seluruh penjuru rumah barangkali merangkak, oh iya dia belum bisa merangkak, pintu pun di kunci, jadi tak mungkin dia bisa keluar, perlahan kubangunkan istriku,

“bu,bu, Dede bayi mana?” tangan ku mencoba mendorong perlahan tubuhnya, tidak ada respon

“bu, bu, Dede bayi ke mana?” dorongan tangan ku mulai kasar

lu ganggu tidur gue aja, gue sewain tadi subuh ke pengemis, udah gue tidur dulu, nanti gue jelasin”istriku menjawab dan langsung melanjutkan tidurnya.

Sebenarnya ingin sekali mengganggu tidur istriku dengan segudang pertanyaan, tapi pengalaman dulu, saat aku pernah mencoba mengganggu tidur istriku, bukan mengganggu sebenarnya, hanya ingin mengingatkan untuk cek kandungan sebelum aku berangkat memulung, ia mendadak marah dan memutuskan tidak bicara selama seminggu lebih, hanya karena itu??, entahlah, setelah menikah, tabiat buruk istriku mulai terlihat, di cerai? Oh aku masih butuh sedikit kasih sayangnya untuk bayiku, mungkin ketika bayiku sudah besar, akan aku pikirkan hal itu.

Akhirnya aku memutuskan tidak memulung hari ini, bagaimana bisa di saat ketidakjelasan seperti ini, aku nyaman memulung, walau aku tahu sebenarnya memulung itu tidak nyaman

“kemarin saat ke rumah tetangga, gue ditawarin sewa bayi” istriku memulai percakapan setelah bangun, mandi dan berias.

“tega banget sih bu, nyewain anak sendiri”ucapku ketus

lu mau bahas ini lagi?, lu yang gak bisa nafkahin gue dan bayi lu, setidaknya uang pemasukan gue bisa bertambah, lumayan 25 ribu perhari, dikembaliin sebelum magrib, kalau telat ngembaliin di denda 5ribu, lumayan kan”

“ibu gak nyadar ya?, bayi kita kepanasan, mungkin juga kehujanan,  kalau sakit gimana?”

“udah lu gak usah takut, bayi lu aman, dan sekarang bisa berguna buat gue, pergi mulung sana, AWAS KALAU GAK ADA SETORAN HARI INI!”matanya mendelik tajam sesaat sebelum bergegas meninggalkan rumah, entah ke mana ia pergi dengan dandanan menor seperti itu, aku juga tidak tahu. Setidaknya dicoba dulu sehari ini pikirku, semoga tidak terjadi apa-apa dengan bayiku.

Tuhan ternyata berkehendak lain. Di malam ke 25 bayiku dikembalikan,oh iya aku mulai sering menghitung malam semenjak bayiku disewakan, ia pulang dalam keadaan batuk-batuk kecil, dan yang membuat ku ganjil adalah bayiku sering tertidur dan bahkan jarang menangis.

“lihat bu, bayi kita demam dan batuk-batuk nih gara-gara ibu sewakan”tangan ku meraba keningnya sesaat sebelum ku ambil dari pengemis rutinan kami. Malam ini telat dua jam, istriku sekejap sudah menyabet uang dari tanganku, ucapku tidak dianggap.

“ah, besok juga sembuh, sudah tidurin saja di kasur, gue mau pergi lagi”ia langsung berlari membuka pintu dan melesat pergi entah ke mana lagi dengan dandanan masih menor.

Semalaman aku menggantungkan pikiranku di langit-langit kamar, bukan karena istriku mulai sering keluar malam dengan dandanan menor, itu aku tidak peduli, walaupun terkadang terbersit pikiran negatif juga. Ini tentang bayi kecilku, aku saja yang sering kepanasan dan kehujanan, satu ketika pasti sakit, bagaimana dengan seorang bayi. Ah besok aku coba bawa ke puskesmas. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan bayiku.

“Bayi bapak sepertinya sudah lama batuk-batuknya, ini resepnya, sering kepanasan ya pak?, tanya bu dokter sambil menyerahkan resep obat.

“iya sih bu, anak saya sering dibawa ibunya jalan-jalan”jawabku berbohong.

“oya pak, Hanya memberi informasi, sekarang kan lagi marak penyewaan bayi Di Jakarta, kemarin ada pasien bayi yang sama gejalanya dengan anak bapak, tapi ia terlambat membawa bayinya ke puskesmas,ia terlalu banyak di beri obat CMT, hingga ginjal dan hatinya rusak, seminggu kemudian anaknya meninggal. Saya tahu kalo bayi bapak disewakan,

“tidak disewakan ko bu, hanya kepanasan biasa, lagian,,, dan,, obat CMT itu obat apa?” ragu-ragu ku potong kalimat bu dokter. Tidak terima dengan pernyataan terakhirnya

“saya ini dokter pak, saya tahu mana bayi yang kepanasan biasa, dengan bayi yang terlalu lama kepanasan,saya tahu bayi bapak sering tertidur dan jarang menangis kan?, sebelum semuanya terlambat, hentikan persewaannya pak, CMT adalah obat alergi yang bisa menyebabkan kantuk, kalau bayi bapak terlalu sering mendapatkan obat ini, ginjal dan hatinya akan rusak, dan jika ia mempunyai alergi, ia akan kebal terhadap obat ini.jadi pikirkan baik-baik”

“baik bu, terima kasih banyak infonya,akan saya pikirkan”. Sepanjang perjalanan pikiranku terus melayang memikirkan ucapan bu dokter. Baik, aku putuskan gak akan nyewain bayi ku lagi, masalah istri gak setuju nanti dibicarakan dirumah.

Dan benar saja, istriku tidak setuju,

“bodo amat dengan ucapan dokter, tau apa dia dengan bayi, dia tuh cuma tau resep doang gak ngerti cara ngerawat bayi”

“bu, bu dokter jelas bilang bayi kita sering diberi obat CMT, jadi bayi kita sering tidur dan jarang nangis, jadi mohon pengertian ibu demi kebaikan bayi kita, nanti masalah tambahan pemasukan, saya coba nyari kerja tambahan“

“bisa apa lu, sd aja gak lulus, nyesel gue kawin sama lu,”

“saya masih bisa jadi kuli bangunan bu, atau jadi buruh sapu,”

“alah, emang gampang nyari kerja gitu,lu gak bakal bisa, udah, lu mulung aja,bayi tetep gue sewain

“POKOKNYA BAYI SAYA GAK BOLEH DISEWAIN LAGI BU, TITIK”

LU BERANI NGEBENTAK GUE, SINI BAYI LU, GUE YANG NGELAHIRIN, GUE YANG SUSAH, GUE YANG HARUS NENTUIN MAU DIAPAIN NI BAYI”tangannya mulai mendekat hendak mengambil bayi di gendonganku,

“enggak bu, BAYI INI BUKAN BAYI SEWAAN.!”refleks tanganku menepis dan tak sengaja mendorong nya hingga terjatuh..

“BERANI LU YE,”tanggannya menjangkau pisau dimeja.
Tanpa pikir panjang, aku berlari keluar rumah, masih menggendong bayiku, aku tau dari belakang istriku mengejar, tujuanku hanya satu, lari secepat yang aku bisa walau penerangan malam di gang kami redup. Sempat ku dengar, istriku berteriak-teriak “PENCULIK BAYI !” . Beberapa derap langkah juga teriakan masa sepertinya juga mulai mengejar, jika sampai tertangkap, tamatlah riwayatku dan bayiku, aku yang pasti babakbelur, dan bayiku pasti disewakan lagi,

Tidak, jangan sampai tertangkap, tapi suara mereka semakin mendekat,mungkin berjarak 10 meter. aku takut, sejenak aku berhenti dan melihat wajah bayiku, memastikan ia baik-baik saja, tiba-tiba saja teringat, di ujung gang ada tempat sampah besar,mungkin aku bisa bersembunyi disana,

“KEJAR, BAKAR,,”, suara mereka semakin mendekat,

“tadi liat laki-laki gendong bayi tidak mas, dia penculik bayi,” Tanya salah satu pengejar pada pejalan kaki samping wadah sampah,

Owh tidak, bayi ku mulai bergerak-gerak,aku ingat ia belum di beri susu malam ini, tuhan, jangan sampai bayiku bangun dan menangis saat ini, aku gak mau ia disewakan lagi, tuhan pun masih berbaik hari pada kami, bayi ku mulai tertidur lagi, atau mungkin obat CMT nya terlalu kuat, hingga lapar pun ia terus tertidur.
Baiklah, sepertinya kondisi diluar sudah aman, perlahan kubuka penutup tempat sampah kuning kebanggaan ibu kota ini, setelah keluar, aku berjalan cepat menuju stasiun pasar minggu, tujuan ku satu, ke bogor, berharap kenalanku dulu masih tinggal disana, hanya ia harapan ku, semoga tuhan juga masih berbaik hati pada kami hinga nanti sampai di Bogor. Manusia hanya bisa berharap dan berikhtiar seperti kata ceramah yang sering kudengar saat khutbah jum’at.

Waktu menunjukan pukul 22.15. Aku akhirnya sampai di desa Galuga kecamatan Cibungbulang kabupaten Bogor, di rumah kenalan ku. Rupanya mereka masih ingat dengan ku, bagaimana tidak, aku sempat menyelamatkan mereka saat penjambretan uang pensiunan ayah nya di Jakarta tempo hari. Dengan sambutan hangat dan ceritaku mengenai bayiku aku bisa tinggal sementara di rumah mereka. Pekerjaanku tetap memulung, dan Jika bayiku tidak bisa dititipkan pada istri kenalanku, maka bayiku tetap setia menemani dengan payung anti kehujanan dan kepanasan tentunya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan tatapan aneh orang-orang, seorang pemulung dengan bayi di gendongan dengan tangan kiri membawa karung dan tangan kanan membawa payung. Yang penting bayiku sudah bukan lagi bayi sewaan dan aku sudah tidak dan tidak peduli dengan istriku.