Laman

Jumat, 24 Januari 2014

solat dulu yuk?

"lu gak dijemput Heru, yu?” Tanya Sarah, rekan sepekerjaan ku yang baru saja keluar dari gedung kantor. Pakaiannya yang modis, dengan lekuk tubuh menggoda laki-laki yang memandang, berjalan santai ke arahku. Ia kemudian mengapit tas kulitnya dan duduk di bangku halte bis-di sampig ku. Wanita yang betinggi 180 cm ini sebenarnya tidak sedang menunggu bis seperti ku. Dia menunggu jemputan dari suaminya. Mungkin sebentar lagi akan datang. Ya, sebentar lagi hati ku akan kembali menjerit iri.

“halah, benci gue sama si Heru. Payah. Penipu. Kemaren tau gak lo, Katanya udah pisah sama istrinya, eh kepergok lagi makan di restoran” ucapku ketus sambil menatap laju mobil yang terus berseliweran.

“serius lu? Si Heru yang tampangnya kalem, agak alim, sering ngasi lu hadiah itu, nipu elu?” sarah kini focus menatapku. Keningnya berkerut penasaran.

“hooh” aku hanya bisa mengangguk nanar.

“bener-bener tuh anak, terus lu labrak dia?” ucap sarah yang kini sedang mendempul pipinya dengan sekotak produk kecantikan kebanggannya. Ini kelebihan sarah yang tidak aku punya. Ia sangat memerhatikan penampilan kapanpun, dimanapun dan bagaimanapun kondisinya. Aura diri, selalu nomor wahid.

“Gak lah, ntar gue disangka cewe gak bener lagi ngerebut suami orang. Udah ah, jangan bahas si Heru. Ilfiil gue”

“oke lah, santai aja. Terus rencana lu sekarang mau sendiri dulu?”

“entah nih, umur gue udah kepala tiga. Gak kuat sebenernya terus hidup sendiri kaya gini. Apalagi anak gue udah sering nangis gara-gara iri sama temennya yang punya ayah. Gue butuh sosok suami yang baik. Doain gue yak, rah”

“sip, gue doain dah, semoga cepet dapet, eh, suami gue udah datang tuh, capcus dulu gue nih, dagh”

Kalau bukan karena teman, aku sangat benci melihat keromantisan Sarah dengan Andi, suaminya. Saat bertemu, cipika cipiki, saling senyum manja, ah, Ya Allah. Aku pasrah. Aku serahkan semuanya pada Mu.

Di dalam bis, pikiran ku terus menerawang, memikirkan sosok laki-laki yang sangat aku harapkan menjadi imam untuk aku dan anakku. Tidak perlu ganteng, kaya, atau berkuasa. Cukup ia yang mau berkomitmen membangun keluarga yang baik. Ia yang selalu mencium ku saat hendak berpisah atau saat pulang ke rumah. Ya Allah, aku sama sekali tidak meragukan kasih sayang mu. Aku tidak kuat lagi menjalani hidup tanpa imam seperti ini. Beri aku petunjuk Ya Allah. Beri aku jawaban.
**

Jam 8 pagi, aku sudah duduk di kantor. Memeriksa kembali laporan keuangan yang aku buat untuk aku serahkan nanti siang ke atasan. Masalah keuangan adalah hal paling sensitif di perusahaan manapun. Salah sedikit bikin laporan, siap-siap kena damprat dari atasan dan bawahan.

Sebenarnya bukan bidangku mengurusi keuangan seperti ini, tapi karena memang aku dari semenjak kuliah senang menganalis hal berbau uang dan tabel, apalagi kondisi saat itu sudah berpisah dengan suami. Jadilah aku berada disini mengurusi laporan keuangan, merancang kebutuhan keuangan perusahaan di lapangan, memeriksa budget Rencana kerja tahunan, dan banyak pekerjaan lainnya yang sangat membutuhkan kecermatan. Intinya bagian keuangan adalah bagaimana membuat uang perusahaan termanfaatkan semanfaat-manfaatnya.

Jam 10 pagi, atasan ku memperkenalkan satu karyawan baru di bagian lingkungan. Katanya baru lulus kuliah. Tidak banyak kesan yang aku tangkap dari dia selain janggut tipis dan badannya yang agak kurus. Selebihnya yang aku ingat, karyawan baru yang bernama Zeid itu, ruangannya tepat disebelah ruanganku. Okelah, Selamat bergabung tetangga baru.

Jam 12.30, saat aku hendak pergi untuk makan siang, Zeid berjalan melewati ruanganku. Wajahnya yang tidak bisa kupungkiri mulai nyaman untuk ditatap, tiba-tiba berhenti di depan ruanganku. Ia mematung sejenak, sebelum akhirnya memberanikan diri menyapaku.

“udah solat belum bu?”Dari bibir tipisnya, keluar kata tanya yang membuat aku tertegun sejenak. Tidak pernah ada yang bertanya tentang solat sebelumnya. Karena memang rata-rata karyawan di lantai 6 gedung ini adalah nonis. Ya, mungkin karena jilbab ku ini dia memberanikan bertanya. Aku tebak, dia tidak tahu dimana letak mushola perusahaan berada.

“belum,” jawab ku sesingkat mungkin.

“solat dulu yuk, bu! sekalian boleh minta tolong tunjukan dimana musholanya, hehehe“ aku sama sekali tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Kata-kata yang sangat aku rindukan dari dulu. Bahkan mantan suamiku pun tidak pernah berkata seperti itu. Bibir ku terkatup beku, hanya mata yang tidak bisa berhenti untuk berlama menatap mata teduhnya. “ya sudah, saya duluan yak bu,”ucapnya lagi, memecah lamunanku.

“eh, iya, musholanya di lantai 4, lihat aja beberapa orang yang menuju satu koridor, mereka pasti menuju mushola. Oya, maaf hari ini aku sedang berhalangan” kenapa ada getar grogi dari suaraku.

“terima kasih bu” ucapnya sambil lalu, selintas terlihat ia tersenyum tipis.

Tiba-tiba saja aku menjadi tidak berselera untuk makan siang. Aku kembali duduk, menghidupkan komputer, lalu bingung mau mengetik apa. Ada apa dengan wajah karyawan baru tadi? Dan kenapa aku merasa senang tanpa alasan seperti ini? ntahlah.
**

Di hari berikutnya, dan berikutnya lagi, Zeid mulai sering mengajak aku untuk solat. Bukan, rupanya bukan hanya aku yang ia ajak solat. Beberapa karyawan lain, yang aku tahu juga beragama islam, tak luput setiap masuk waktu dzuhur, ia menyempatkan sejenak menyapa mereka, dan mengajaknya solat.

Walaupun menurutku ajakan solat ini adalah hal biasa, tapi diriku yang lain mengatakan ada yang salah dengan ucapan persuasive lembutnya itu. Terbukti saat dia turun lapang selama dua minggu, terasa seperti ada titik yang hilang. Dan aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa Zeid adalah pelengkap titik yang hilang itu.

Ya Allah, apakah ini jawabanMu? Tapi hey, pandanglah wajahmu di cermin. Bukankah beberapa guratan di sudut mata mulai semakin jelas terlihat? Ya, aku paham. Aku tidak boleh egois. Tidak layak aku meminta Zeid menjadi pendamping hidupku. Baiklah, mungkin aku bisa jadi senior yang baik.

Saat ia kembali, aku sekarang yang berinisiatif menyambangi ruangannya, dan berkata, "udah solat?" kulihat mulutnya terbuka sedikit sambil mematung menatapku, “belum” pelan sekali kata itu terucap, tapi masih bisa aku dengar.

"Solat dulu yuk?" ucap ku menirukan suara khasnya, lalu tersenyum semerekah yang aku bisa. Dia hanya mengangguk lembut sambil ikut tersenyum. Aku tahu dia sekarang yang mengekor mengikuti aku menuju mushola kantor.

Dan anehnya, cerita kami berikutnya menjadi terasa menggelikan. Tidak sadar, kami seakan sedang berlomba siapa yang duluan mengajak solat. Tidak jarang, saat aku, dan dia keluar meja secara bersamaan, kami mendapati masing-masing sudah berdiri diluar ruangan. Selanjutnya mata kami pasti saling bersitatap beberapa detik. Dan yeah, kami akan terkekeh menertawakan sikap kami yang mungkin kekanakan.

Ya Allah, kenapa perasaan ini tidak juga hilang. Apakah memang dia yang terbaik untuk ku. Beri aku petunjuk Mu ya Allah, beri aku jawaban. Jika memang iya, tolong cepatkan ya Rabb, kalau pun bukan, tolong hilangkan perasaan ini. Tolong ya Allah.
**

Entah kenapa aku ingin berangkat pagi hari ini, menyapa satpam, tersenyum ke resepsionis gedung, lalu menekan tombol lift menuju lantai tempat kantor ku berada. Di lantai dua, pintu terbuka, dan wajah Zeid menyembul dari luar pintu lift –hendak masuk, tapi tertahan saat melihatku. Pipinya kentara sekali terlihat memerah. Dia kemudian menghela nafas sebentar, lalu terdengar pelan ucapan ‘bismillah’ dan mantap melangkah kan kaki memasuki lift.

"kamu lucu hari ini Zeid, naik lift, muka merah, melangkah bak mau maju ke medan perang saja, hehe" kucoba untuk menyapanya dengan guyonan. Seiring tertutupnya pintu lift, lantaipun mulai bergerak ke atas. Tak lama, Ku dengar Zeid berdeham sebentar.

"bagi saya, ini memang sebuah medan perang, bu” tidak ada nada balasan guyonan seperti biasanya. Sedang seriuskah dia?

"hah? gak ngerti saya, eh, itu kertas apa?" mataku tertuju pada kertas A4 yang dibawa Zeid. Ia menoleh sebentar, menghela nafas lagi. Dan menyerahkan lembar kertas A4 terlipat itu.

Tulisan ini, ya tulisan di kertas ini. Lebih tajam dari seribu pedang tajam manapun. Merobek pita suara ku hingga tercekat tak bisa bersuara, padahal sejuta tanya meledak dalam dada. Tapi, ah,

"tadinya aku mau menyimpannya dalam amplop, terus tak taruh nanti di meja ibu” ia terdiam sejenak, memasukan tangannya ke dalam saku celana bahannya, lalu berkata lagi. “ah, ibu malah datang kepagian, gak jadi deh.” Senyumnya terlihat semakin merekah. “Tapi saya sudah siap dengan jawaban apapun. Iya atau tidak, bu?"

Lift sudah sampai di lantai 6. Pintu kemudian terbuka. Ia dan aku melangkah keluar dan berdiam diri di depan pintu kantor. Aku belum berkata apapun dari tadi. Masih bingung dengan semua keserba-mendadak-an dan tak terduga ini.

"kenapa kau mau menikahiku?" akhirnya kupaksa suaraku bergetar. Tapi mataku hanya tertuju pada kertas yang aku pegang, tak berani menatap sejuk matanya.

"karena adik saya banyak dan masih kecil-kecil. Orang tua saya pun sudah meninggal, bu. Saya butuh sekali seseorang seperti ibu yang selain bisa jadi partner hidup, bisa juga jadi teladan untuk adik-adik saya” sejenak ia tersenyum kepada satpam yang hendak mempersilahkan kami masuk. “oya, maaf, saya beberapa minggu kemarin melihat ibu mengajar anak-anak jalanan di hari minggu, itu semakin membuat saya mantap memilih ibu” Sekarang ia menghadap kan wajahnya padaku. Tapi tetap tidak pernah berani menatap mataku langsung “aku juga punya banyak alasan lain yang kalau aku sebutkan sekarang, ibu pasti pegal mendengar sambil berdiri di depan kantor seperti ini. Jadi maukah ibu menjadikan aku seorang pria paling berbahagia di dunia ini?"

Ya Allah, inikah balasan kesabaran ku? Engkau begitu baik sekali ya Rabb, sangat baik.

"ibu kenapa menangis? apa perkataan ku menyinggung ibu, saya minta maaf kalau begitu" kali ini kami sempurna saling bersitatap. Aku menyeka tetesan air mata yang terlanjur sudah melewati pipi. Menghela nafas dan berkata pelan.

"tidak, tidak, ibu menangis karena,,” aku ragu harus melanjutkan kata berikutnya. Ah, tapi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik ini ”,,, tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia" ucapku semakin pelan, tapi mungkin masih terdengar olehnya.

"jadi ibu mau menerima saya"nada suaranya terdengar tegas sekarang. Seperti bukan Zeid.

"tapi kan umur kita berbeda? kamu tidak apa?"

"hehehe, Rasul aja menikahi khadijah umurnya terpaut jauh. Mau ya, bu?"

Seperti wanita lainnya, dalam situasi seperti ini, kami tidak pernah berani untuk berkata “iya” lidah kami mendadak kelu, beku, atau seperti ditancap paku. Hanya anggukan kecil saja yang bisa kami berikan. Dan tahukah kalian? aku tidak pernah melihat wajah seberseri itu selama hidupku. Semoga saja wajah berseri itu juga yang akan terus ku lihat sepanjang sisa hidup ku.
**

Dalam balutan kesederhanaan, di temani sorak sorai kawan sekantor juga handai taulan. Resmi sudah label janda ku hilang. Ku tatap wajah bercahaya di samping ku. Ia semakin melebarkan senyumnya, membuat aku mencubit pipi sendiri. Ia lalu menertawai ku "ini bukan mimpi sayang, ini nyata" Aduh kapan ini tamu habisnya, tak sabar ingin di kecup oleh pelipur lara ku, keluhku dalam hati.

"ibu! Ibu! ayah datang ibu" ujar anakku sambil menarik-narik kebayaku. Aku langsung tersentak begitu melihat sosok itu mendekat. Sosok yang menghancurkan hidup ku. Bagaimana bisa dia keluar penjara secepat itu?

"aku tidak ingat pernah mengundang mu" kataku ketus, sementara laki-laki berewokan tak terurus yang menempelkan label janda padaku, tersenyum sinis. Tangannya seperti biasa, selalu dimasukan ke dalam saku jaket. 5 tahun aku dibuatnya sengsara, tak akan kubiarkan ia menghancurkan hidup ku lagi.

"gue memang gak diundang. 6 bulan gue nyariin lu, ketemu juga lu disini. Gue mau bayar hutang lu, plus bonusnya, nih"

Seketika mata ku berkunang-kunang, semua tiba-tiba menjadi berjalan lambat. Ku rasakan nyeri tak terperi di bagian perut. Saat kuraba, ada bercak darah di telapak tangan. Ada apa dengan perutku, ya Rabb? Meski pelan, sejenak aku mendengar Zeid memanggil namaku. Lalu semua menjadi gelap. Segelap-gelapnya gelap.
**

Saat kesadaran ku kembali, tiba-tiba banyak alat seperti selang masuk ke dalam mulutku. Susah sekali aku bernafas. Aku berbaring, dimana? ah, pasti di rumah sakit. Tangan ini, ini tangan siapa, yang menggenggam erat tangan ku. Aku paksa otakku untuk mengingat. Zeid, Ya ini pasti tangannya Zeid. Aku coba untuk menggerakan tangan Zeid. Ia kemudian terbangun, matanya sembap, di tangan yang lain ia pegang Al quran. Peci putih yang biasa ia kenakan saat solat, melingkar di kepalanya.

Banyak yang ingin aku tanyakan, tapi selang ini menghalangi ku. Akhirnya, aku hanya bisa memegang erat tangannya, sambil terus menatapnya. ya Allah, kenapa seperti ini. Kenapa aku harus melihat wajah orang yang baru saja aku putuskan untuk aku sayangi sepenuh jiwaku, terlihat murung seperti itu. Meski susah, aku coba menganggkat tanganku. Zeid mengerti. Ia dekatkan tanganku ke wajahnya. Maaf kan aku sayang, maaf kan aku.

Suara adzan pun terdengar, entah ini sudah masuk waktu sholat apa.

"udah solat belum?" meski menitikkan air mata, ia tetap bertanya dan tetap tersenyum padaku. Aku yang mengerti, menggeleng lemah. “Solat dulu yuk?”

ya Allah, kata-kata itu, kata-kata yang selalu aku rindukan, kini benar-benar keluar dari mulut sosok sandaran hidupku. Terima kasih ya Allah, Engkau Maha baik sekali.

Aku pun mengangguk pelan. Ia menggelar sejadah di samping kiri ku. Berucap takbir, sementara aku hanya bisa menggerakkan mata sebagai isyarat takbiratul ihram. Saat solat selasai, Zeid melipat sejadah, dan kembali duduk di sampingku. Ia mengecup tanganku, lalu mengecup mesra keningku. Membuat air mataku meleleh seketika.

Zeid kembali membaca Alquran sambil tangan kirinya memegang erat tanganku. Suaranya yang mengalun indah, membuat ku larut dalam bacaan tartilnya. Dan tiba-tiba di belakang suamiku, ada seseorang berserban putih. Ia memandang ku teduh dan tersenyum tulus. Ia menyentuh kepala ku, dan seketika dunia terasa menyempit, tapi aku masih sempat melihat Zeid disampingku.
Sampai jumpa Zeid.

Mess putra LAJ JAMBI 23 jan 2014

5 komentar:

  1. hmm.. ibarat kurva nih, ketika sedang berada dipuncak bahagia, langsung terjun bebas kejurang sengsara..
    tapi bukankah dalam setiap kisah manusia itu selalu ada alasan yang baik? dengan pemahaman yang baik pula tentunya.. hehe

    #keepwriting

    BalasHapus
  2. benar sekali. sengsara bahagia sebenarnya hanya terkait dengan cara kita melihat. belum tentu di mata orang bahagia, dia sengsara.
    ah, menulis itu, seni mempelajari kehidupan.
    #keepwriting
    makasi ya udah baca

    BalasHapus
  3. ini ya cerpen yang (katanya) ada namaku? padahal ke luarnya dikit banget. haha... si Imam tulisannya punya alur yg "berani", keren lah :D

    BalasHapus
  4. Ya berani lah, tokoh utamanya meninggal. Hhehe

    BalasHapus