Laman

Kamis, 01 Mei 2014

Ajruki ‘ala qadri nashabik, pahalamu sesuai kadar payahmu

may day may day, yeah! This month is may.

Bukan satu mei nya sih yang buat saya senang, tapi libur nya itu lho. Alhamdulillah, ada juga kesempatan satu hari saya bisa lepas kekuangenan saya pada menulis. Maklum cuy, beberapa hari, minggu, bulan kemaren, banyak banget yang harus dipikirkan dan dikerjakan. Dari mulai kerjaan di hutan yang mulai membuahkan hasil dan mulai "diakui" bos-bos besar, membuat harus all out menenggelamkan siang hari saya ke dunia perkaretan. Hingga memikirkan dan mengerjakan persiapan semua hal untuk masa peralihan kehidupan saya beberapa minggu mendatang.

Fiuuh, alhamdulillah. Baik sekali Allah kepada saya. Dari dulu juga Allah memang teramat sangat baik sekali sama saya. Meski saya belepotan dosa pun, Ia tetap berkenan memilihkan jalan yang terbaik untuk saya. Subhanallah walhamdulillah, wa laailaaha illallah, wallahu akbar.

Selain banyak berpikir, saya juga mulai sering merenung. Eh, berpikir dan merenung emang beda ya? Mungkin beda. Menurut saya berpikir itu lebih ke pencarian solusi. Sedangkan merenung lebih ke introspeksi, menurut saya ya.

Jadi saya merenungi apa?

Banyak hal, terutama tentang fase peralihan kehidupan saya.

Baik, kita mulai dari jaman saya masih SD (maaf, ingatan saya mentok saat masa SD doang. Masa sebelum SD sekeras apapun mengingat, lupa euy). Jadi tuh saat saya masih SD di desa, mungkin kelas 5an lah, sempat terpikir bahwa saya akan SMP keluar dari desa. Saya belum berpikir bagaimana cara saya berusaha masuk SMP terfavorit sekecamatan itu. Terbersit dalam pikiran saya waktu itu, saya pasti akan berSMP di kecamatan, SMPN 1 Bayongbong.

Dan rupanya Allah mengabulkan itu. Baru lah saat kelas 6, saya mempersiapkan semuanya untuk masa peralihaan kehidupan saya, dari SD yang males banget mandi pagi, ke SMP yang bangun nya aja harus pagi banget, karena saya harus terbiasa naik angkot karena jarak dari desa agak jauh.

Lalu masuk ke jaman saya SMP. Saat kelas 2, terbersit juga dipikiran bahwa saya akan berSMA ke level kabupaten. Pilihannya lebih banyak sekarang, dari SMA 1 Tarogong dan SMA 1 Garut sebagai SMA favorit, lalu SMA 2 tarogong dan 3 tarogong siap jadi pilihan cadangan. Di kelas 3 saya mulai ragu, bisa kah saya masuk SMA 1 Garut? Bisa meureun.
Allah lalu memilihkan jalan untuk saya. lepas UN saya di terima di SMA 3 Tarogong. SMA yang rata-rata betis kaki para alumninya berotot kabeh lantaran dari turun angkot hingga gerbang sekolah harus nanjak dulu sejauh 150an meter dengan kemiringan 40an derajat.

Lantas kenapa? kenapa Allah tidak mengabulkan pinta saya untuk masuk SMA yang letaknya di tengah kota itu? SMA yang mau ke mall Yogya tinggal berjalan beberapa langkah, mau pulang tinggal naik angkot, mau nongkrong tinggal ke masjid agung, mau maen game tinggal ke timezone di Asia. Mau cuci mata gampang, karena pasti banyak yang cantik-cantik di SMA favorit mah, eh.

Ini malah saya di masukkah ke SMA yang sekeliling nya sawah semua, cuci matanya ke ibu-ibu yang lagi nandur. Gak ada suara angkot, gak ada polusi, yang ada suara cicit burung dan dengkur katak yang jelas banget kedenger saking fokusnya belajar matematika. Semilir angin juga seenaknya hilir mudik masuk ruang kelas. Mau nongkrong ya di pematang sawah itu lah. Hadeh hadeh.

Waktu SMA sih pertanyaan ini belum terjawab. Saya nikmati saja semuanya. Lalu kelas 2, lagi-lagi terbersit dalam pikiran. Saya pasti kuliah di luar daerah, di kota besar lah. Bandung, Bogor, atau Jakarta. Gak boleh saya kuliah di kampung sendiri. Entah bagaimana caranya belum terpikirkan. Dan pilihannya semakin banyak. Universitas-universitas bagus di kota-kota besar menggoda saya untuk dikuliahi.

Saat kelas 3, SNMPTN atau yang dulunya SPMB menjadi pilihan penyebrangan saya ke universitas. Disini walau pun saya pengen banget kuliah di luar daerah. Tapi saya sadar, kemampuan keluarga saya gak mungkin bisa menguliahkan saya ke universitas berbiaya mahal. Pupus sudah keinginan masuk ke kedokteran UI. Akhirnya paman menyarankan saya masuk IPB , biar nanti bisa ikut kerja ke paman di karantina pertanian. Begitu yang dipikirkan ayah saat merestui saya mencontreng pilihan IPB di kolom pilihan universitas di lembar pendaftaran SNMPTN. Pilihan kedua kemana coba? ke pendidikan matematika UNJ Jakarta. Waktu SMA demen banget sama matematika.

Di hati saya, masih terbersit pikiran akan kuliah di kota besar. Walaupun cara berpikirnya lebih rasional sekarang. Diterima yasudah, gak diterima lanjut mesantren di Ciamis. Setelah kelulusan, jadi saya berangkat nyantren sambil, ya, nunggu pengumuman SNMPTN nya.
dan alhamdulillah, kabar itu datang. Sepulang mengaji, paman nelpon. "mam, kamu di terima di IPB! jurusan Proteksi Tanaman" pergi lah saya dari pesantren langsung ke Bogor tanpa pulang dulu ke rumah di Garut, untuk pendaftaran ulang.

Sekarang saya bisa menjawab pertanyaan waktu SMA saya. Kenapa harus masuk SMA 3 Tarogong? karena kamu akan masuk Fakultas Pertanian IPB, jadi kamu harus terbiasa dengan sawah, dengan petani, dengan semilir angin, dengan suara cicit burung dan katak, dengan nongkrong di pematang sawah. Tidak boleh kamu terkontaminasi dengan ke"hedon"an lingkungan di tengah kota. Kamu harus bersih. ya ya ya, I see I see.

lalu muncul pertanyaan selanjutnya? kenapa harus Bogor? kenapa IPB? yang terpenting kenapa harus Proteksi tanaman?

Ada tulisan nanti yang membahas tentang ini. not yet. mendahului takdir kalau disampaikan sekarang mah.

Intinya, saya sangat berterima kasih pada Allah yang telah banyak memberi keajaiban pada hidup saya. Memilihkan jalan untuk saya yang itu memang adalah yang terbaik untuk saya. Walaupun ada beberapa pilihan yang tidak sejalan dengan keinginan.

Eh tapi masih ada pertanyaan. Apakah pikiran-pikiran selintas atau saya bilang tadi "terbersit pikiran" kok mudah sekali Allah wujudkan. Maksudnya kok bisa sesuai dengan apa yang saya pikirkan. SMP di kecamatan, SMA di level kabupaten, kuliah di Proteksi Tanaman IPB, kerja di Jambi, dan sekarang terbersit calon istri akan seperti apa, eh. hahaha. Saya juga manusia, ada keinginan punya masa depan yang begini dan begitu.

Hasil perenungan saya menjelaskan begini. Pertama kita tidak boleh sombong. Mentang-mentang sebelum-sebelumnya Allah selalu wujudkan yang menjadi “terbersit dalam pikiran” saya, bukan berarti calon istri kita nanti akan sesuai dengan apa yang kita harapkan? aih ini kenapa jadi bahas istri lagi. Ampun dah ampun.

Usaha dan kerja keras cuy. Inti jawabannya itu. Saya pikir kenapa Allah memberi ini itu kepada kita, karena usaha dan kerja keras kita layak untuk diberikan reward yang sesuai. Ajruki 'ala qadri nashabik, pahalamu sesuai kadar payahmu.

Kamu terbersit masuk SMP favorit, itu karena usaha kerja keras kamu di SD, payah nya mempersiapkan ujian, payahnya rajin belajar, layak Allah beri reward yang sesuai. Pun jika kamu tidak diterima di SMA 1 Garut, bisa jadi reward yang pantas untuk kamu ya bukan disitu. Allah ingin kamu cinta pertanian misalnya. Masuk IPB apalagi. Perjuangan kamu di SMA, doa orang tua juga jangan lupa, Allah beri sesuatu yang indah untuk hidup mu. Sesuatu yang harus mendukung proses peralihan kamu dari masa remaja yang labil di SMA, ke masa pencarian jati diri di perkuliahan. Dan sesuatu itu adalah kuliah di IPB. Reward yang pantas kan?

Kini, perjuangan di masa kuliah telah usai. Dan pasti Allah juga sudah siapkan reward yang terbaik untuk kamu. Yang terbersit di pikiran sekarang adalah, punya istri yang begini begitu, punya usaha yang begini begitu, dan masa depan yang begini begitu.

Apakah Allah akan mewujudkan ini?

Perjuangan bro, perjuangan. Tetap Allah akan melihat dulu seberapa serius kita berjuang. Seberapa payah kita berusaha. Seberapa jauh kita mempersiapkan.
Apapun ingin kita, berusaha sebaik yang kita bisa, all out. Hasil nya kita serahkan pada Allah. Biar Ia saja yang memilihkan jalan, biar Allah beri kita reward yang pantas dari letih perjuangan. Surganya. Amin.

Semoga bermanfaat dan semangat berusaha.

Mess putra LAJ Jambi 1 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar