Laman

Sabtu, 17 Mei 2014

Nasib si Payung Kecil

Riko sudah 30 menit berdiri di depan sebuah toko. Ia membawa tas selempang, yang terus ia pegangi dengan tangan kanannya, seakan ingin terus memastikan bahwa ada sesuatu dalam tas itu yang tidak boleh tidak ada. Matanya yang lentik, bergerak-gerak mengikuti setiap wajah perempuan yang mendekat, atau hendak masuk kedalam toko. Apalagi kalau yang mendekat itu adalah perempuan berjilbab dengan tinggi 160 cm dan berkacamata, pasti pegangan di tas selempangnya akan mengeras seketika.

Sepeda ontel tiba-tiba melaju pelan melewati Riko, menimbulkan irama gemerencing tidak beraturan dari klakson manual stang sepeda itu. Seirama dengan detak jantung Riko yang semakin tidak beraturan juga. Berualangkali ia menundukan pandangan sembari mengucek mata yang tidak berhenti berkedip, padahal ia tidak sedang kelilipan.

“Sudah lama nunggu nya ya mas Riko?” ucap perempuan berkacamata dengan tinggi 160 cm di depannya. Wajahnya tidak terlalu tirus, tapi juga tidak terlalu tembem, lalu giginya yang gingsul tetap terlihat serasi dengan senyum berkentit pipinya.

“aa, enggak ko, baru beberapa menit yang lalu ko nunggunya, abis dari mana Fitri? Oya ini bukunya” Riko menyodorkan sebuah buku bersampul biru muda yang ia ambil dari tas selempangnya. Fitri, yang saat itu ditemani teman perempuannya, langsung mengambil buku itu dari tangan Riko. Ayu, temannya Fitri, berdeham agak keras, menghentikan momen saling pandang beberapa detik saat mereka berdua berpegangan buku tadi.

“Makasih ya bukunya Fitri, bagus banget” ucap Riko sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Fitri hanya bisa menunduk dan berlirih pelan “iya sama-sama mas”

Riko mengerling sebentar ke arah Ayu, berdehem dan menelan ludah, lalu menghirup napas panjang. "Saya mau bertanya, ini serius tapi, dan tolong jangan ketawa" wajahnya mulai memerah. Keringat berbulir mulai menderas mengucur dari pelipis. Semakin jarum jam melangkah, semakin banyak bulir keringat berjatuhan.

"Maukah Fitri menikah dengan ku?" ucap Riko dengan rana suara bergetar, tidak terlalu keras, tapi tidak cukup pelan juga karena si penjaga toko yang dari tadi kesal dengan 3 orang yang menghalangi jalan masuk ke tokonya, jadi terkekeh takjub. Riko seketika menundukkan pandangan, menganggap lalu lalang jalan di sekitarnya seperti halnya semilir angin dari kipas mesjid saat jumatan kemarin, ada tapi seakan tidak ada.

Riko masih menunggu apapun jawaban dari Fitri. Tidak perduli diterima, atau ditolak sekalipun. Ia hanya butuh jawaban. Ya atau tidak. Dan kalau pun tidak, kenapa? Tapi suara begitu mahal rupanya untuk dikeluarkan. Fitri masih menunduk dengan bahu terguncang. Ayu yang sedari tadi memeluk bahu kawan sekuliahnya itu, hanya bisa berlirih lemah. "Jawablah Fit, sebelum mang Jajang ngusir kita gara-gara ngalangin jalan ke tokonya"

"aa..aku tidak bisa mas, maaf" Fitri mengerling sebentar, sebelum akhirnya bergegas hendak melangkahkan kaki, menjauhi Riko.

"Kenapa? Tidak boleh kah saya tahu alasannya?" agak lantang Riko berucap demikian. Membuat Fitri menghentikan langkah sejenak. Ayu yang membuntuti dari belakang, segera memegang tangan Fitri, mencoba menenangkan. Butiran air mata, semakin deras membasahi kerudung, Fitri tetap menunduk, tidak berani bersuara. Ia semakin melajukan langkah kaki, meninggalkan Riko dalam kegalauan tingkat dewa. "Harus tau, harus tau alasannya" batin Riko menyemangati, tidak berani menyusul Fitri sekarang.
**
"Teteehh, tungguin aku!" teriak seorang gadis berkerudung putih. Langkahnya kecil-kecil menimbulkan suara khas dari lipatan rok yang bergesek. Tangannya menenteng tas punggung bergambar hello kitty, sedangkan tangan satunya lagi menenteng sepatu yang baru ia cuci kemarin. Biasanya hari minggu memang menjadi waktu untuk mencuci sepatu dan seragam putih merahnya. Ia memang sangat suka sekali mencuci, emm, lebih tepatnya ia tidak suka melihat barang yang ia pake kotor. Lihat saja, saking sering nya di cuci, sepatu kets yang dulunya hitam, berubah sudah menjadi abu-abu. Beruntung ibu guru masih menganggap abu-abu itu sebelas dua belas dengan hitam.

"Iya teteh tungguin, cepat atuh pakai sepatunya" suaranya lebih lembut. Adalah umurnya sudah 18 tahun. Duduk di kelas 3 SMA dan menjadi kakak satu-satunya dari Fitri, si gadis yang kini sedang bingung karena lupa bagaimana cara mengikat tali sepatu.

"Ya ampun, dek, dek, teteh sudah ajarin kamu berulangkali dah, masak masih lupa juga?" sang kakak pun berjongkok menyejajari Fitri yang malah nyengir kuda, membantu mengikatkan tali sepatu.

"Besok-besok pasti aku sudah bisa teh, tenang aja"

"Halah, kamu, dari kemaren bilang nya gitu mulu" Fitri semakin nyengir kuda. "oya, teteh ada hadiah untuk kamu, nih!" sang kakak memberikan bungkusan berplastik kepada Fitri. Kening Fitri yang awalnya berkerut, langsung melempar senyum terlebarnya saat membuka bingkisan itu, lalu memeluk kakak tersayang nya "teteh kan pernah janji, bakal ngasih hadiah kalau kamu ulangannya dapat 100"

"Makasih banyak teteh, suka banget sama payung kecil hello kitty nya, aku lupa sih sebenarnya sama janji teteh itu, hehe"

"Yaudah, yuk berangkat! hujannya udah gak terlalu deras keliatannya"

"Yuk, kak. si payung kecil dan si payung besar, berangkaatt!"
**

Kenapa? tidak bolehkah saya tahu alasannya?
Jemarinya bergetar. Niatnya hendak menjawab isi pesan singkat yang barusan ia baca. Tapi entahlah, ia lupa bagaimana cara menekan keypad, atau jemari nya sudah lumpuh? sampai ia harus menggenggam erat handphone mungilnya dengan kedua tangan. Ia terus duduk di sudut ranjang. Berulangkali memejamkan mata, lalu menangis, memeluk Ayu yang setia menemani disampingnya, lalu tersedu saat mengarahkan pandangan ke sudut kamar, menatap payung kecil Hello Kitty kesayangannya.

"Jadi ini tentang si payung kecil dan si payung besar?" Ayu berusaha memecah keheningan. Mulai menerka apa yang terjadi dengan sahabat karibnya itu. Ya, Ayu selalu bisa membaca apa yang dipikiran Fitri. Sudah sering. Jika kita sudah terlalu dekat dengan seseorang, ya begitulah. Susah sekali menyembunyikan apapun, termasuk tentang perasaan. Yang Ayu tau tentang si payung besar, adalah bahwa ia sedang berjuang membantu mamak sendirian di rumah, bahwa si payung besar yang banyak mengirimi uang kuliah Fitri, bahwa si payung besar adalah si penyemangat hidup Fitri yang paling ia banggakan.

Fitri mengangguk lemah, lalu beringsut mengambil payung kecil hello kity dan memeluknya, erat sekali.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan, Fit?
Fitri masih terpejam, menikmati momen menenangkannya. Ayu tahu, saat sedang memeluk payung kecil hello kitynya, adalah saat Fitri sedang berpikir dan merencanakan sesuatu.

"Aku akan pulang saja, Yu. Bantu mamak di rumah. Mungkin minggu depan berangkatnya" lirih Fitri dengan senyum yang dipaksakan.

"Secepat itu? Tapi, tapi, nanti akan kembali kesini lagi, kan?" Ayu tidak terima dengan keputusan cepat Fitri.

Fitri lalu memeluk Ayu erat, berucap banyak terima kasih sambil membisikkan sesuatu. Seketika Ayu langsung membalas lembut pelukkan Fitri. Keduanya terisak hingga adzan ashar memecah keheningan.
**

Teh Rosmaa,, assalamualaikuummm” teriak Fitri sembari berlari kecil menuju pagar sebuah rumah. Seorang perempuan berjilbab ungu, sedang membawa nampan kosong berteriak girang begitu Fitri memeluknya. Dari belakang, mamaknya Fitri menghambur ikut memeluk dua perempuan kebanggaanya itu, saling mentransfer kerinduan yang berbulan-bulan membuncah dalam dada masing-masing.

“aku pulang mak, teh Rosma aku pulang” beberapa bening air mata lolos dari sapuan tangan Fitri,

“iye, payung kecil, yuk, makan dulu” ucap Rosma menenangkan. Bertiga saling berpegangan tangan memasuki rumah bercat hijau di salah satu perumahan pinggiran kota hujan.

“Kemarin mas Riko datang lho!” ucap Rosma memulai lagi percakapan saat keduanya sedang duduk di meja makan,

“eh, mas Riko?” tiba-tiba aliran darah dalam tubuh Fitri terasa panas. “tuh bocah senekad itu? bener bener” batin Fitri dalam hati.

“mau ngapain dia teh?”

“mau ngelamar teteh”
Fitri langsung batuk-batuk karena ada nasi tersedak di tenggorokan, “astagfirulloh, beneran teh?” wajahnya tetiba cengo.

“cemburu ya Fitri?”
Wajah Fitri memerah. Sambil memain-mainkan sendok, kaki kirinya terus dihentak-hentakkan ke lantai "nggak lah, Fitri mah, atuh seneng"

Senyum menggantung terlihat di wajah Rosma, bintik-bintik hitam jelas sekali terlihat mengumpul saat cahaya pagi menerpa pelipisnya. Berbeda dengan adiknya, wajah Rosma lebih tirus, dengan hidung terlampau mancung membuatnya sangat cocok mengambil peran antagonis di film Cinderella. Semenjak di tinggal ayahnya pergi, Rosma lah yang paling banyak jadi tulang punggung keluarga, membuat ia berulangkali menolak menikah, sebelum adik kesayangannya lulus kuliah.

"hehe, kalau cemburu pun teu apa-apa ko Fit, mas Riko nanyain kamu sebenarnya" Rosma mengambil kue toples dari lemari, dan meletakkannya di atas nampan.

“terus ka?”

"ya dia mau ngelamar kamu. Aku sama mamak setuju, dan liat dari respon kamu tadi, kamu juga kayaknya suka sama mas Riko, ya kan? hayo ngaku hayo," Rosma iseng nyolekin mentega ke mukanya Fitri, 

“ih jail banget si teh Rosma, aku nggak mau ngelangkahin teteh, jadi maaf, aku nggak bisa nerima mas Riko”

"kamu nikahnya bulan juni ya? tanggal 14, aku sama mamak sudah nyari-nyari tempat jahit baju pengantin, sudah nyari sewa tenda, sudah nyari,,, "

"teeehhhhh! aku nggak akan ngelangkahin teteh. Titik!" muka Fitri tambah seperti cecurut yang lagi cemberut, untuk urusan ke-keras kepala-an, Fitri memang jagonya. Rosma memeluk kepala Fitri dari belakang. Lalu mencium ubun-ubunnya. Ia bergeser menghadap wajah Fitri, mengusap air mata yang menderas di pipi Fitri, lalu memeluk nya erat dan berkata dengan suara agak serak karena menahan sedu.

"teteh juga sudah nanya-nanya ke KUA, bagaimana persiapan administrasi nikah. Jadi 2 bulan cukuplah, untuk kita mempesiapkan"

Fitri melotot hendak merah, tapi marah untuk apa? “aih, gara-gara mas Riko ini” ucap Fitri dalam hati

“udah ah nangis-nangisan nya” Rosma menyubit lembut pipi adik kesayangannya, dan menggoyang-goyangnya. Fitri masih menggeleng sambil melengkungkan bibir.

"bentar lagi kamu akan jadi mamak-mamak, nggak boleh cengeng, ayok siap-siap, tuh mas Riko nya udah datang"

Sekejap Fitri langsung menoleh ke pintu, yang ternyata tidak ada siapa-siapa, lalu menatap bingung Rosma, "ciee, kangen ya sama mas Riko, cepet bener nolehnya"

"teeeteeeehhhh, aku mau kabur lagi ke Jogja ah"

"eh jangan, itu mas Riko nya udah dari tadi duduk di ruang tamu nungguin kamu, hayuk kesini"

Fitri mengerut kan kening, menatap tajam ke arah Rosma. Gigi nya gemeretuk. Rosma walaupun jahil, ia gak pernah bohong.
**

Fitri masih berwajah gusar saat membalas salam dari Riko. Ia duduk di kursi panjang di antara mamak dan Rosma. Meski Riko berpanjang tanya sana sini, Fitri hanya menggeleng dan menganggukan kepala sebagai jawaban "Dan siapa pula ini, wajah kebapakan, jenggot lebat, berpeci dekil disamping mas Riko? apa ayahnya? lebih pas jadi kakaknya tapi" pikir Fitri dalam hati.

"Jadi bu Desi, maaf jika kami lancang, jadi bagaimana jawaban atas rencana lamaran kami?" akhirnya Riko angkat bicara, berdeham sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika diterima, kami rasa kita bisa menentukan tanggal. dan kalau tidak diterima, kami bersiap untuk pulang saja"

"insya Allah kami menerima, bagaimana kalau tanggal 14 juni saja menikahnya?" ucap mamak lembut, menganggukkan kepala pada Rosma dan Fitri.

"alhamdulil.."

"tunggu mak, tunggu. Aku nggak mau dijodohin begini, ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya mak. Aku nggak suka cara mamak. Aku nggak mau ngelangkahin teh Fitri mak. Maaf, aku mau pergi ke Jogja lagi sekarang" kalau tangannya tidak disambar Rosma, Ftiri sudah berlari keluar pintu.

"Yang melangkahi teteh itu siapa, dek?"

"ya aku lah teh, aku nggak mau nikah sama mas Riko selama teh Rosma belum menikah" ucap Fitri ketus.

"berarti kalau teh Rosma sudah menikah, kamu mau menikah sama saya?" mas Riko ikut bertanya.

"Fitri, yang akan menikah itu teh Rosma, sama mas Bambang ini, jadi tidak ada langkah melangkahi, Ayo duduk lagi, malu sama mas Riko, sama mas Bambang" ucap mamak menenangkan.

"jadi, jadi, lamaran ini, untuk teh Rosma?"

"iye adik manis"

Seketika atap rumah runtuh di kepala Fitri

Mess putra LAJ Jambi, 16 Mei 2014

2 komentar:

  1. hahaha.... xD

    eh kayanya bulan juni si empunya blog ini emang mau nikah ni. ehem... kabari yooo ;D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, insya Alloh, doa nya saja,
      Nanti kami banyak ngunjungi blog nya mba ayu, belajar masak. Hahaha

      Hapus