Laman

Kamis, 11 Juli 2013

Mungkin ini berkah Ramadhan


Meski saat ini suhu di Jambi panas menggila, bagiku adem nian rasanya. Benar kata pepatah sunda yang pernah ku dengar dari kawan kerjaku di tangerang, “jika hati keur senang, tikotok ge ek siga coklat”. Pasti lagi jatuh cinta ya?, aihh, sempit kali pikiran kau. Hati senang itu bukan hanya milik para pecinta. Para perindu pun bisa memiliki hati senang tak terperi. Setelah 23 tahun tak pernah bertemu dengan adik kandung, bahkan tidak tahu wajahnya seperti apa sekarang, terakhir bertemu saat dia masih bayi. Dan kini tuhan akan menakdirkan pertemuan ini. wahai mobil traveelllll!!!!,, pinjam lah sayap burung di langit sana biar aku bisa cepat bertemu dengan satu-satunya keluarga kandungku. Aaaaakkkkk,, Ok yang ini terlalu lebay.

Adalah pakde Imron yang mengurus ku waktu kecil yang mengabarkan berita hebat itu padaku.  Katanya tak sengaja ia bertemu dengan pakde sukri dalam bis saat mau pulang ke prabumulih Palembang kemaren. Entah sebenarnya kedua orang ini bersaudara dengan ayah ibu ku atau tidak. Yang jelas, orang2 yang berjasa dalam hidupku, ya aku panggil mereka ‘pakde’. Dan pakde Sukri adalah orang yang mengurus adikku sedari buaian. Semenjak tinggal dengan pakde Imron, aku sudah tidak tau lagi kabar adikku di pakde Sukri. Terakhir aku tanyakan padanya, pakde sukri sering berpindah-pindah. Jadi pertemuan dalam bis itu aku simpulkan saja info pentingnya, sudah jelas orang tua yang tlah lama tak berjumpa ya pasti ngalor ngidul obrolannya. Ternyata adikku yang bernama Leni Marlina sekarang tinggal di dusun Pemberian kabupaten Tebo Jambi. Inilah yang membuat perjalanan pertamaku ke Jambi, tak peduli hawa panas, tak peduli antrian mobil di Merak, tak peduli mabuk laut di Bakau heuni, hingga hampir di rampok saat mau buang air kencing di sebuah restoran tengah malam, semua terasa begitu ringan menyenangkan. Apalagi bisa lepas dari tekanan pekerjaan dengan target-target gila di penatnya Jakarta, menambah sumringah wajahku.

Maka sampailah aku di Dusun Tuo, sebuah dusun tepat di pinggir sungai Batanghari. Setelah menyebrang menggunakan tempek-perahu kecil mirip sepit di Kalimantan, dan membayar uang 7 ribu rupiah, aku menunggu di sebuah warung kecil. Dari sini, rencananya tinggal menunggu mobil perusahaan karet yang dekat dengan dusun Pemberian tujuanku, nebeng mobil perusahaan lah singkatnya. Karena memang tidak ada kendaraan umum kesana.
“ngopi mas” tawarku pada seorang laki-laki tanggung yang baru saja duduk di ujung lain bangku panjang warung ini.
ida bang, awak lagi puaso”tolaknya sopan.
“owh, uda mulai puasa sekarang ya”, ucapku datar
“ini udah 5 hari puasonyo bang”, timpalnya juga datar.
“owh,,”ucapku gak peduli, males membahas tentang puasa. “mas lagi nunggu ponton nyebrang ya, kenapa gak naik tempek aja?”tanyaku mencoba lebih akrab.
“iya bang, aku troma bang kalo naek tempek, pernah jatuh sekali dulu. Jadi ya mending naik ponton, walupun kalau sedang sepi ya kaya gini, nunggu penuh dulu.”
“owh, kenapa pemda sini gak ngebangun jembatan aja, kehidupan disini nanti pasti lebih maju?”
“mana mau lah mereka buat jembatan, coba tengok berapo penghasilan ponton perhari. Satu mobil bayar 50ribu, honda bayar 6 ribu, satu kali nyebrang bisa muat 10 mobil, belasan honda, dalam sehari bisa hingga 20an kali bolak balik nyebrang. Kalo ado jembatan, dari mano mereka dapat duit,”

Obrolan terus mengalir hingga satu jam lebih, dari mulai kabar perambah perusahaan, hingga kabar gosip pemerintah yang tega menaikan harga BBM. Memang orang leasing rada-rada pinter ngajak ngobrol, wong kerjanya nyari konsumen sebanyak mungkin.

“oya, abang mau kemana, kerja di perusahaan karet sini ya?” Tanya nya terasa lebih akrab.
“bukan, aku mau ke dusun Pemberian, sambil nunggu mobil tumpangan milik PT” jawabku antusias
“wah, awak orang dusun Pemberian bang, mau ketemu siapa disana bang?”tanyanya mulai penasaran
“aku mau ketemu adik kandung, namanya Leni,”
“Leni marlina?,” dahinya berkerut memastikan
 “iya, mas tau adik aku,?” aku ikut penasaran
“Berarti abang namanya Candra Dwi Putra,?” ucapnya setengah berteriak
“ iya, mas siapa?”
“Owalahhh,, awak suaminya Leni bang,” tangannya menjulur mengajak salaman, senyum terkembang dari bibirku. Ya tuhan, Rupanya Leni sudah menikah.
“Leni sudah nungguin abang dari dulu, yasudah, hayok kita ke rumah sekarang,”
“Lah, katanya mau nyebrang,?”
laaahh, itu gampang, nganterin abang lebih penting,” aku mengekor mas yang belum tau namanya ini mengambil motor.

Setelah hampir dua jam bermotor ria-rasa senang gelisah rindu makin membuncah, bertemu Suku Anak Dalam kucel, dekil item tak bersandal yang ngecamp menggunakan terpal biru, melewati kantor perusahaan karet yang mobilnya tadi mau aku tumpangi, kaget melihat pohon akasia melintang dengan batang terkuliti bersih yang katanya itu dirobohkan gajah, nyemplung sungai karena jembatan kayunya roboh-untung sungainya dangkal coba, dan sampailah kami disebuah papan yang disusun membentuk rumah kecil beratap seng namun asri. Perlu waktu hampir 2 jam untuk sampai di dusun Pemberian dari ponton Dusun Tuo tadi.

“Assalamualaikum, Leni-leni, ini abang bawa orang sepesial buat leni, sini cepat sini, ada mas candra” teriak mas yang masih belum aku tau namanya, ini ngapain aja aku di motor ampe lupa terus nanya nama.
Perempuan yang di panggil Leni itu membuka pintu, mengenakan baju kain coklat dan tangannya terlihat sedang menggendong bayi, tertegun, ia tertegun menatap ku, dan matanya mulai berair.

Lihatlah tuhan, bukan kah dia mirip sekali dengan ku. Dulu ia yang aku gendong, kini malah sudah menggendong, kejam nian orang tua yang tega membuat saudara kandung tak pernah bertemu selama hidupnya. jangan kan peduli anak makan apa hari ini, ada tidak nya kami pun mereka tak peduli. Bodo amat!, aku juga sudah gak peduli dengan kabar mereka.

Leni langsung mencium tanganku, mendekap erat dadaku, dan berlafal syukur berulang kali. Aku yang tak pernah menitikan air mata semenjak ditinggal orangtua cerai dulu, kini deras tak tertahankan mengalir. Mungkin kalian tak pernah merasakan pedihnya diumur balita sudah ditinggal orang tua, tak pernah merasakan irinya melihat teman sebaya berebut mainan dengan saudara kandung, juga beratnya hidup harus membanting tulang diusia sangat muda. Tapi sekarang aku sudah menemukan mu Leni. Dan semoga tuhan juga menakdirkan kami bertemu dengan 3 kakak kami yang lain. Batinku dalam hati.
**
“aku senang sekali lho mas, bisa berbuka puasa dengan saudara kandungku sendiri” ucap leni pelan, pipi merahnya tersamarkan temaram lampu cempor diatas meja serba guna ini, mebuat suasana sederhana ini malah terasa syahdu. Sebenarnya aku malu tadi ikut berbuka bareng mereka, lah aku gak puasa hari ini. besok!, pasti besok aku puasa!
“iya mas juga senang, maafin mas ya tidak datang ke pernikahan kalian, mas harusnya yang jadi wali sah kalian” suara ku tercekat diujung kata, lalu menelan ludah.
“Gak pa2 mas, yang penting saiki wis ketemu mas. Itu aja aku udah seneng.”

Langit malam Jambi menyuguhkan gemilau parade gemintang yang tak terbantahkan kecantikannya, berpadu dengan keelokan putihnya cahaya bulan, menjadi penonton dongeng cerita hidup yang saling sahut menyahut mengalir dari bibir kami. Tak luput bangku panjang di beranda rumah yang kami duduki berdua-hanya berdua, menjadi perekat kebersamaan kami.

“Leni sekarang umur berapa?”
“gak tau mas, dari kecil aku gak pernah dikasih tau tanggal lahirku,” aku tercenung mendengarnya, kebencian pada orang tua mulai muncul kembali.
“yasudah, dulu mas pernah gendong kamu, kalo gak salah mas umur 5 tahun dan kayanya leni baru berumur 5 bulan dah, jadi biar kita deketan tanggal lahirnya, kamu lahir tanggal 29 april 1993 ya, nanti minta suamimu buat akta lahir dan KTP” kataku dengan nada selembut mungkin, mencoba menganggap hari-hari berat kami dulu biasa saja.

“iya mas, makasih”jawabnya sambil menggenggam erat tanganku.
“mas masih ingat wajah orang tua kita?” Tanyanya penasaran.

“entahlah, mas udah lupa, dan gak mau cape2 juga ngingat2, buat apa?, mereka aja udah gak peduli sama kita, ngapain kita peduli,?” jawabku datar, tak terasa rahang mulai mengeras.
“Kita ini sebenarnya 5 bersaudara, mas Cuma tau ada mbak kita di Kediri, namanya Indah Ningtias, tapi kalo wajahnya mas juga belum pernah liat, kalo dua lagi, namanya pun mas gak tau, sejak kecil kita memang ditakdirkan berpisah semuanya, ini gara-gara orang tua kita yang gak pernah peduli sama kita,” terdengar sedikit nada kebencian dari suaraku.

“mas benci orang tua kita?” tanyanya lagi,
“Kalo dulu, iya, sekarang mas udah gak peduli lagi,”
“Kalo aku masih berharap mas, seburuk-buruknya seorang ibu, dalam hatinya, pasti masih ada kasih sayang untuk anaknya, sekarang aku sudah merasakan perasaan itu mas, sedih memang tidak pernah bertemu ayah apalagi ibu, tapi aku yakin, mereka sebenarnya masih sayang sama kita, hanya saja keadaan tidak menunjukan itu pada kita” ucapnya dengan nada keibuan.

“pahit sekali hidup kita ya nduk?” keluhku sambil menatap kerlip lampu cempor di setiap rumah-rumah papan dusun ini.

“namanya juga hidup mas, ya kalo ndak mau ada masalah ya ndak usah hidup”, ucapnya membuat ku mengernyitkan dahi-berpikir, apakah memang perempuan itu cepat sekali dewasanya, hingga dengan mudahnya bisa berdamai dengan pahitnya kehidupan?, atau mungkin kehidupan dia lebih berat daripada ku?, ya, sepertinya kehidupan dia lebih berat daripada aku, lihat saja, aku beruntung bisa menamatkan kuliah meski Cuma D3, adikku malah SD saja tidak tamat.

“tau gak mas, semenjak aku dapat kabar dari pakde Sukri tentang mas, aku setiap abis solat selalu berdoa bisa bertemu mas, kata pa kiyai, doa dibulan ramadhan itu mudah dikabulkan” ucapnya lagi, lalu terdiam sejenak,

“Alloh kini mengabulkan doamu Len, dan mungkin pertemuan kita ini memang berkah Ramadhan” kataku sok tau-menirukan gaya ustad yang sering tampil di tipi tipi, gak mau kalah dengan omongon bijak adikku tadi.

“mas juga gak boleh benci lagi sama orang tua kita, bagaimanapun sikap mereka ke kita, tetaplah mereka yang melahirkan kita. Nanti juga mas akan menjadi seorang ayah, Pasti akan ngerti bagaimana perasaan seorang ayah terhadap anaknya, dan mumpung ini lagi bulan ramadhan, selain kita meminta maaf terhadap orang lain, kita juga harus berani memaafkan orang lain, iya kan mas?” matanya menatap manja, dengan mudah aku menemukan keteduhan seorang ibu disana, ah, bukan, itu keteduhan seorang adik yang menyayangi kakaknya.

Aku menghela nafas perlahan, lalu berkata “ya, nanti mas coba memaafkan mereka,”
“yasudah mas, aku masuk dulu, sepertinya si abang gagal jadi tukang diemin tangis bayi tuh, hehe” ia pun mengecup tanganku lagi. Aku hanya tersenyum mengangguk. Sesaat sebelum masuk ke rumah, ia tiba-tiba menoleh, “makasi mukena ya mas, aku suka warna birunya, hehehe”, ya ampun, senyum manjanya berhasil membuat aku salting gini. “eh,, ya sama-sama”

Berkah ramadhan?, bukankah aku malah jarang berpuasa?, tapi di ramadhan kali ini Engkau mempertemukan aku dengan Leni, malah Engkau mudahkan?, apakah itu artinya aku boleh mendapatkan berkah ramadhan?, ya Tuhan,,, kenapa aku malah rindu ayah ibu, meski aku tidak tahu kabar mereka, mudah-mudahan mereka baik-baik saja ya Rabb, aku sudah memaafkan mereka. Amiin.

Dan memang BERKAH RAMADHAN itu adalah nyata, dibelahan Indonesia sana, seorang ibu menghembuskan nafas terakhirnya, setelah berjibaku dengan kanker yang sebelumnya tak pernah berhenti menggerogoti dadanya.
Mess putra LAJ no 4, 11 juli 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar