Laman

Kamis, 31 Oktober 2013

nenek Mareta

Perlahan Karel mendorong kursi roda berisi seorang nenek berumur 70 tahunan menuju sebuah rumah kayu, dengan bunga tulip bertumbuhan di halamannya, memberi kesan asri dan damai. Saat melewati pagar, mungkin sekitar 20an orang tua seumuran nenek Mareta, nenek nya Karel bejubel memasuki pintu rumah dengan beranda berlantai kayu. Tapi yang memakai kursi roda hanya nenek Mareta seorang.

Perkumpulan ini adalah perkumpulan para orang tua lanjut usia, tetapi bukan panti panti jompo. Ya walaupun fungsinya mirip-mirip lah. Para orang tua lanjut usia ini dibawa oleh keluarganya setiap 3 hari dalam satu minggu, senin, rabu dan jum’at, dari jam 8 pagi hingga jam 10 untuk beraktifitas apa saja di dalam rumah yang ditempati seorang gadis bernama Anggun. Gadis yang menjadi guru kesenian di sebuah sekolah swasta terkenal di kota ini.

Kegiatan yang sering mereka lakukan banyak. Dipimpin oleh Anggun, mereka menyanyi paduan suara sembari diiringi dentingan piano yang dimainkan Anggun. Jangan kalian kira meski nenek-nenek dan kakek-kakek disini berasal dari budaya jadul alias jaman dulu, yang mereka nyanyikan justru lagu-lagu hits jaman sekarang. Sebut saja Bruno mars yang Just the way you are, atau  lagu rock ala Avenged sevenfold yang dear god, di tangan Anggun, sukses mereka nyanyikan. Ya suara mereka gak terlalu bagus-bagus amat sih, yang penting semangat dan keceriaan menyanyi mereka itu lah yang membuat Anggun, rela menyediakan waktu nya untuk berinteraksi dengan manusia yang 3 kali lipat lebih tua darinya, tentu tanpa bayaran. Kadang juga mereka melakukan berbalas pantun, berpuisi, bercerita mengenai kesan hidup, meditasi hingga menari-nari gaya bebas. pokoknya mereka bebas mengekspresikan apa yang ingin mereka lakukan. Semua begitu bahagia datang ke tempat ini. Pun dengan nenek Mareta, nenek yang merupakan satu-satunya keluarga yang sekarang dimiliki Karel begitu ceria saat datang ke tempat ini.

Sebenarnya Karel menganggap kegiatan ini biasa saja. Ia hanya ingin membuat nenek Mareta bahagia. Bagaimanapun, dahulu yang mengurus, membahagiakan, juga menyekolahkan adalah nenek Mareta seorang. Mana tega nenek Mareta diwaktu tuanya, tidak ia urus, tidak ia bahagiakan. Sambil sesekali mendengar nyanyi-nyanyi dari dalam ruangan, Karel menunggu di beranda rumah. Duduk di atas kursi dengan mata dan tangan tertuju pada laptop barunya. Pekerjan Karel adalah penulis. Dan walaupun tulisan2 nya penuh emosi, menggugah, ekspresif, sungguh berbeda sekali dengan karakter Karel di dunia nyata. Ia begitu dingin, datar, pesimis, tidak peka, dan mementingkan ego sendiri (diluar kepentingan neneknya yak).

Selesai pertemuan, seperti biasa sebelum beranjak pulang, Anggun, yang kentara sekali adalah seorang yang ekspresif, tersenyum manis kepada Karel dan Mareta. Dari bahasa tubuhnya, Anggun mungkin tertarik dengan Karel, begitu yang terlihat.

Di dalam mobil hybridnya, Karel menyetir pelan. Di sampingnya, nenek Mareta duduk sambil memandang kesibukan kota. Lalu memulai percakapan. “minggu depan kita ikut kompetisi paduan suara lho Karel, hari minggu jam 10 pagi. Nenek sudah tidak sabar menunggu hari itu”.
“Oya? Siapa yang mau menonton kakek2 dan nenek2 menyanyi lagu rock?” aura negative Karel mulai menyebar.
“Asal Karel dan Anggun yang nonton, itu sudah cukup membuat nenek bahagia.” Ucap nenek Mareta lembut, tidak pernah terpengaruh pesimistis melankolis Karel.
“Ngomong2 tentang Anggun, kau sudah lebih dari 30 tahun Karel?” sekarang nenek Mareta memandang Karel yang sedang focus menyetir.
“apa hubungannya umur ku dengan Anggun?” jawab Karel datar.
“kau belum menikah Karel, jangan jadi bujang lapuk, gak baik” nenek Mareta berubah jadi tukang ceramah. Membuat Karel gerah.
“belum waktu nya nek, aku masih ingin membujang dulu, mengurus nenek dulu,” jawab Karel sekenanya.
“justru itu, nenek akan mudah diurus kalau kamu sudah beristri. Nenek pikir Anggun gadis yang baik, dan dari cara dia melihat mu, nenek yakin dia suka sama kamu”
“oya?, kurasa gadis itu suka pada orang yang salah”
"sudahlah! lupakan masa lalu, kamu harus membuka hatimu, jangan terus2an seperti ini Karel"
“tidak bisa nek, maaf. Untuk saat ini, Karel hanya ingin menikmati kebersamaan kita. Cukup itu, nek."
nenek nya diam sejenak, lalu berucap pelan. "nenek ingin sekali menimang cucu Karel, emh, dalam kasus mu mungkin disebut uyut,"tersenyum sebentar, lalu melanjutkan "waktu nenek gak banyak lagi Karel", ia terus terenyum. Ucapan terakhir nenek Mareta tadi, menyedot perhatian Karel hingga memutuskan untuk menepikan mobil.
“plis, nenek jangan bilang begitu, Karel masih butuh nenek, Karel tidak punya siapa2 lagi selain nenek" mata Karel mulai berkaca, menatap perempuan yang paling ia sayangi disampingnya seperti anak kecil.
"berjanji lah Karel, kamu akan mencari pendamping hidup, atau gak usah dicari, nikahilah Anggun, dia gadis baik Karel" nenek memegang lembut tangan Karel, lipatan-lipatan kasar kulit nenek begitu terasa di tangan Karel.
"emh, ya mungkin, akan Karel pikirkan nanti, "ucap Karel bersiap menghidupkan lagi mobilnya, Neneknya kemudian menatap sendu, matanya berkaca, "owh, nenek, jangan menatap Karel seperti itu",
"maka berjanjilah Karel, nikahi Anggun" suaranya mantap terdengar.
"Baiklah, demi nenek, aku akan melamar Anggun,"
“Yes!” nenek Mareta mengepalkan tangan. Seperti anak TK saja.
"entah kapan tapi" pelan sekali Karel mengucapkan itu, tidak terdengar neneknya.
**

Sehari sebelum kompetisi, di suatu pagi, awan mendung menggelayut di rumah Karel. Nenek yang begitu ia cintai, terbujur kaku di atas tempat tidurnya. Karel tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia duduk memeluk lutur di pojokan kamar, menatap kosong ke arah nenek yang padahal kemarin malam masih sering menggodanya tentang Anggun. Pikirannya kalut, gelap, kesal, kecewa, marah, menyesal, semua bercampur dengan tangis yang memilukan siapa yang mendengar. Setelah 1 jam, saat dirasa mental nya sudah siap, barulah ia menelpon ambulance.

Di pemakaman, awan menitikkan air matanya ke bumi, seakan ikut berduka atas kematian nenek Mareta. Karel masih berdiri, menatap nisan neneknya. Anggun, orang terakhir yang menemani Karel di pemakaman, mendekati Karel dan meneduhinya dengan payung yang ia bawa. “yang tabah ya mas” ucap Anggun pelan tapi masih terdengar. Karel tetap tidak menggubris, tidak peduli. "tolong tinggalkan aku sendiri, kumohon" ucap Karel dingin tanpa memandang Anggun. Anggun pun pergi meninggalkan Karel sendiri dalam hujan. Ia tahu, Karel sedang butuh kesendirian saat ini, untuk mengobati kekosongan hatinya.
**

Hari rabu, saat jadwal pertemuan teman2 nenek Mareta, Karel datang dan duduk di beranda rumah Anggun. Ia tidak membawa laptop seperti biasanya, hanya terdiam mendengarkan aktifitas orang tua dalam ruangan. Ketika pertemuan selesai, Anggun begitu kaget mendapati Karel sedang duduk di beranda rumahnya.
"apa kedatangan ku mengganggu mu?" tanya Karel datar. Matanya ia alihkan menatap nenek2 yang melambaikan tangan dari dalam mobil.

Dengan mata berbinar, Anggun yang masih kaget sekaligus senang, menjawab antusias, "oh tidak, aku senang mas datang, ada apa?, Oya, aku ambilkan teh dulu ya"langsung Anggun berlari ke dalam dapur, meracik teh melati kesukaan Karel, membawa biskuit, dan dengan nampan membawa nya ke beranda rumah. Matanya melongo, saat menatap kursi di beranda kosong, Karel sudah pergi entah kemana.

Pun dengan hari jumat, Karel sekali lagi datang. Tapi kali ini, sebelum pertemuan selesai, ia sudah pergi lagi, Anggun yang kebetulan menatap keluar jendela, melihat punggung Karel menjauh.

Hari senin pun, Karel masih datang. Malah lebih sebentar. Datang, duduk di beranda, setelah 5 menit memejamkan mata, ia pergi lagi. Anggun masih menatapnya lewat jendela.

Di hari rabu, kali ini teh melati dan biskuit sudah tersedia di meja. Berharap Karel menunggu dan menyicipi teh melatinya. Dan alangkah senangnya, Anggun mendapati teh melati itu berkurang separuhnya saat pertemuan selesai.

Saat jumat kembali menyapa, kali ini Karel duduk lebih lama. Ia lupa membawa payung, dan malas pulang hujan2an. Jadilah ia menunggu lebih lama di beranda rumah Anggun, menunggui hujan sambil menyeruput teh melati hangat kesukaannya. Saat para orang tua beranjak pulang di jemput keluarga masing2, Karel masih termenung menatap hujan. Anggun yang saat itu memakai kemeja kuning cerah, dengan daster warna abu2, dan memakai rok panjang kotak2, keluar sumringah dan duduk di kursi lainnya, disamping Karel.
"maaf aku datang lagi kesini, terima kasih teh melati nya, aku suka" Karel berucap datar, membuka percakapan.
"ya, tidak apa2, aku senang mas datang, dan ya, nenek Mareta yang memberi tahu aku tentang teh melati itu". Beberapa menit kemudian tidak ada percakapan, hanya terdengar suara tetesan hujan jatuh menimpa tanah, bergemericik. Akhirnya Anggun berkata lagi. "boleh aku tahu alasan kenapa mas setiap jadwal pertemuan selalu datang kemari?" Anggun menyelidik, takut2 omongannya terlalu menusuk.

Karel menghela nafas panjang. Menatap orang-orang yang berlarian di jalanan sejenak, lalu berkata datar. "saat aku datang kesini, aku merasa nenek masih ada, hanya itu alasannya"
Sebenarnya Anggun berharap lebih dengan alasan yang diungkap Karel, tapi benar juga, Karel tipe orang yang datar, dingin, ketus, dan tidak peduli sekeliling. Tidak mungkin bisa berkata romantis.
"aku juga sebenarnya ada urusan dengan mu" lanjut Karel lagi, kali ini menatap sebentar Anggun, lalu memalingkan lagi menatap hujan.
"oya?, apa itu?" Anggun mulai berharap2 cemas.
"aku punya janji dengan nenek, aku akan melamarmu" diam sebentar, lalu melanjutkan, sesaat rona muka Anggun memerah, "tapi aku harap kau menolak lamaran ku". Anggun mengernyitkan dahi, bingung, keterus terangan ini begitu cepat baginya, satu kalimat menyanjungnya, dan kalimat lain menusuk tepat di ulu hatinya, menyakitkan.
"ke,,,napa?" tanya Anggun terbata. "aku ,,aku,, tidak mungkin menolak lamaran mu mas" matanya mulai berkaca-kaca.
"rasa ‘sayang’ dalam hatiku bertahan hanya untuk nenek, setelah itu ia lenyap bersama tanah yang mengurug nenek di pemakaman, kau akan sengsara saat menikah dengan ku"
"tapi,, tapi , aku mencintai mu mas, tidak bisa kah kita memulai sesuatu yang baru?"
"maaf, kau mencintai orang yang salah Anggun,"hujan mulai mereda, Karel bersiap2 untuk beranjak pergi, sementara Anggun mulai tepekur, buncah tangisnya tak tertahankan lagi.
"apa karena ayah ibu mas yang menelantarkan mas waktu kecil, hingga kasih sayang itu hilang tak berbekas?" Anggun memberanikan diri menatap Karel yang mulai berdiri. Karel terpaku sebentar, pasti nenek Mareta yang memberi tahu Anggun tentang masa lalunya.
"kau tidak tahu masa lalu ku," diam sebentar, lalu menatap Anggun, "terima kasih tehnya, semoga kau menemukan orang yang tepat, dan mungkin, setiap jadwal pertemuan kalian, aku akan selalu datang dan duduk di beranda ini, ku harap kau mengijinkan. Sampai jumpa" Karel sudah melangkah menuruni tangga beranda. Anggun dengan harapan yang masih ia percayai, berkata lirih, membuat Karel berhenti melangkah "dan aku akan selalu menunggu mas disini. Selalu"
Karel setengah menoleh, lalu berkata. "do whatever you want, I dont care". Ia pun pergi menghilang bersama kabut yang tersingkap sinar mentari.

mess putra LAJ JAMBI, 30 Oktober 2013

5 komentar:

  1. ijin kasih masukan ya Kak Imam. Tiap baca cerpen lo gue selalu terganggu sama typo dan penggunaan EYD. They're simple things tapi kalo salah terus-menerus agak sebel juga bacanya. Akan lebih baik diperbaiki dulu sebelum posting dan bakal jadi habits bagus kalo mau bikin novel. Terus kalimat 'kursi roda berisi seorang nenek' dan 'nenek nya Karel bejubel memasuki pintu rumah' agak gimana gitu, kok kursi roda harus diisi? bejubel itu apa? hehehe, pilih kata yang pas aja (susah tapi sih kalo udah biasa nulis kayak ngobrol gini). Konflik sampeyan memang bagus, gue salut sama idenya, tapi deskripsi ekspresi peran kurang nampol, misalnya mata sendu nenek bisa digambarkan lebih luas, nggak cuman sendu thok. Atau mau menyampaikan bahwa Anggun ada rasa dengan Karel (sebelum neneknya meninggal), bakal lebih terasa kalo nggak ditulis secara gamblang. Contoh gampangnya: Anggun selalu menyediakan kursi kosong untuk Karel duduk selama menunggu nenek atau Anggun bingung ketika pada pertemuan kesekian Karel tidak memakai sepatu yang sama saking perhatiannya Anggun pada Karel. Dan gue sebel juga saat Anggun kayak maksa banget suka sama Karel di bagian akhir, gender banget ini >,<. Di luar dari itu, semuanya lumayan lah hahaha, gue nulis juga nggak bagus-bagus amat -___-. Minta tips biar punya konflik kece dong?

    BalasHapus
  2. Makasi banyak udah ngasi masukan, nah ini dia masalah gw, rada susah maen d deskripsi, baik deskripsi ekspresi ato tempat. Pgimane cara ngelatihnya yak?
    Plus d kosa kata, stock kosa kata gw dikit,
    Klo di bilang maksa ya emang maksa, wong namanya juga cinta, gak kpikiran masalah gender sma skali.
    Ok, nanti tak coba rewrite dah. Atau mau berbaik hati, copy cerpen nya, trus warnai tinta merah kata2 yg harus gw perbaiki. Terus kirim ke email gw. Serius cerpen gw bakalan kya gini terus klo gak d perbaiki.
    Setelah baca komentar mu, berasa horor sekarang nengok novel gw. Amburadul.
    Masalah konflik mah, sense masing2 orang. Cuma gw seneng aja ngamatin banyak hal, film, orang, cerpen orang lain, kenalan baru, situasi baru, situasi yg diharapkan terjadi, masa lalu, cerita hidup orang lain. Dan bla bla bla lainnya

    BalasHapus
  3. santailah kakaknya, tapi ga bisa secepatnya, lagi numpuk kerjaan

    BalasHapus
  4. request buat cerluc dong (cerita lucu)

    BalasHapus
  5. Siap mba ulfah. Kita coba eksplor nanti.

    BalasHapus