Laman

Minggu, 13 Oktober 2013

Jaga baik-baik putri ayah nak, Tolong


Lihatlah, laki-laki tua itu menatap sendu ke arah gadis di depan cermin. Ia perhatikan, begitu cekatan penata rias memoles, mendempul, memutihkan wajah gadis itu. Sesekali gadis yang ia pandang, tersenyum manis ke arah yang menatapnya.
“aku cantik kan ayah?” Tanya si gadis memandang laki-laki tua di dalam cermin. Dibalasnya dengan anggukan dan senyuman oleh lelaki yang dipanggilnya ayah.

Lelaki tua itu terus saja memerhatikan gadis kecilnya dipasangi bedak ini itu, lipstick sewarna bibir hingga gincu yang membuat wajahnya berbeda sekali dengan hari-hari biasa. Meski matanya tetap memandang ke arah si gadis, pikirannya menerawang melompati ruang dan waktu. Mengingat wajah kecil berkepang dua yang selalu merepotkannya. Punya anak gadis satu-satunya memang selalu merepotkan.

Gadis kecil berkepang dua itu bernama Dinara. Saat itu, ibu Dinara sedang sakit. Maka tugas mengantar Dinara pergi sekolah menjadi milik si ayah. Sesampainya di sekolah taman kanak-kanak, setelah mengantarkan Dinara masuk ke dalam kelas, si ayah beranjak pergi untuk bekerja.

“Ayaahhhhh” teriak Dinara sambil berlari kecil menghampiri ayahnya.
Si ayah lalu berjongkok menyejajari Dinara. “ada apa Dinara?, ayah harus bekerja dulu, nanti siang ayah jemput ya”ucap si ayah lembut.
“sinikan kunci motornya!” perintah Dinara tegas. Membuat ayahnya bingung dan memberikan kunci motor begitu saja. Dengan cekatan Dinara langsung menyambar kunci motor dari tangan si ayah, lalu berlari kecil masuk kedalam ruang kelas. Tidak memedulikan tatapan berkerut kening si ayah.

Bukan Bisri kalau tidak mengerti maksud Dinara, si ayah tahu kalau Dinara tidak mau ditinggalkan. “bolos sehari gapapa lah”gumam si ayah pelan. Lalu berjalan ke arah jendela melongok Dinara dari luar.

Guru Dinara memulai pelajarannya, kali itu adalah jadwal kelas bercerita. Pelajaran yang paling disukai Dinara. Eh, ko Dinara malah celingak celinguk mencari sesuatu. Dan sepertinya yang dicari tidak ia temukan. Dinara mulai menangis. Yupp, ia akhirnya menemukan yang dicari, -ayahnya- yang sedang asik duduk mengobrol dengan penjual bakso di luar kelas. Dinara cepat2 keluar kelas, berlari menghampiri ayahnya.

“ayah, sini masuk!, orang tua temen2 Dinara pada masuk semua, ayah juga harus masuk, Dinara gak mau sendirian ayah” rengek Dinara sembari menarik-narik lengan ayahnya, masih manangis.
“ayah malu Dinara, di dalam ibu-ibu semua”bujuk si ayah pelan, lalu mengusap pipi Dinara dengan baju kemejanya.
“gak mauuu, ayah harus masuk!, temeni Dinara, ayokk” tangis Dinara makin menjadi. Aihh, ayah mana yang tega melihat putri semata wayang nya menangis seperti itu. Ia buang ia punya rasa malu, menggendong Dinara, mengecup keningnya dan menghiburnya. “iya ayah temenin Dinara deh”. Yang digendong sesegukan senang lalu tersenyum dan memegang erat tangan si ayah, erat sekali. Aduhai, walau masih kecil, manis nian senyum Dinara. Jangan kan seharian, seumur hidup pun si ayah rela menemani Dinara.


Si ayah juga ingat, Dinara kecil begitu pemalu sekali kalau mau di foto. Entah kemana Dinara selalu berhasil kabur saat ada sesi pemotretan sekolah. Si ayah kelimpungan saat itu mencari Dinara yang ternyata ngumpet di kantin. Eskrim, ingat sekali si ayah membujuk Dinara untuk foto bersama teman sekelas dengan janji akan dibelikan eskrim. Dan Dinara mengangguk setuju. Tapi rupanya rasa takut Dinara belum hilang. Dinara menghampiri si ayah dan bersembunyi dibelakang kakinya.

“ada apa Dinara?, kan nanti ayah belikan eskrim,” bujuk si ayah sambil mengelus-elus rambut yang tidak dikepang dua lagi.
“Dinara fotonya ingin ditemani ayah”rajuk Dinara terbata tanpa membalas tatapan si ayah. Ujung bajunya ia plintir-plintir meminta persetujuan.
"ayah dikira masih SD nanti Dinara"canda ayah. Tapi dinara tetap menggeleng lemah. Setelah berdiskusi dengan guru kelas, jadilah si ayah terpampang pada selembar foto yang kini dipegangnya. Aih, lihatlah, beda sekali dengan Dinara yang sekarang.
**

Semua sudah berkumpul. Wali hakim, perwakilan KUA, keluarga mempelai laki-laki maupun perempuan, sahabat, mas kawin, dan Alif, laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga si ayah. Wali hakim meminta Si ayah menjabat tangan Alif, tanda ijab kobul pernikahan akan segera dimulai. Terlihat si ayah mulai gundah, posisi duduk berulang kali berubah, banyak sekali yang ia pikirkan. Apalagi kalau bukan mengenai permata hati semata wayangnya, Dinara.

Bagi si ayah, ijab kobul adalah proses penglepasan tanggung jawab. Menyerahkan sepenuhnya buah cintanya, kepada lelaki yang ia jabat tangannya sekarang. Buah cinta yang sedari kecil ia rawat dengan segala cinta yang ia punya, ia bina, ia besarkan dengan peraturan-peraturan yang mungkin menurut orang lain terkesan mengekang. Bukan, bukan mengekang, baginya Dinara adalah jalan cintanya menghadap sang pencipta kelak. Tidak ingin Dinara disakiti oleh lelaki yang belum tentu jadi suaminya. Tidak ingin ada celah Dinara menjadi penggusurnya ke neraka. Dinara harus tumbuh menjadi perempuan baik, perempuan terhormat yang menjaga aurat tubuhnya juga keluarganya. Ia harus bisa jadi calon ibu yang kelak membawa cucu-cucu nan lucu penghafal Alquran. Ia ingin Dinara selalu dekat dengan Tuhannya.

Maka jangan salahkan si ayah yang terus sesegukan menahan haru tangis, terbata mengeja kalimat ijab yang tak rampung jua terkata. Aduhai, siapa yang tak terharu melihat sang ayah masih tergugu. Ada yang menatap sendu, ada yang terpaku tak bisa menahan sedu, ada juga yang tidak mengerti kenapa laki-laki yang biasa tegas, ko’ jadi begitu. Wali hakim, sekali lagi mengingatkan. “Ini yang terakhir ya pak, yang ketiga. Pak Bisri harus bisa”

Dengan lembut, Alif menjabat tangan si ayah dengan kedua tangannya. Menatap lamat-lamat laki-laki yang masih tertunduk di depannya. Ia sungguh mengerti apa yang terjadi dengan si ayah. Ia berujar pelan, dengan intonasi selembut dan semeyakinkan yang ia bisa.

“wahai ayahanda,” yang dipanggil masih tetap menunduk, tapi mendengarkan.
“saya tahu begitu berat melepas putri kecilmu. Meski saya belum menjadi seorang ayah. Sungguh saya sangat mengerti perasaan ayahanda. Demi Tuhan dan Agama Muhammad yang saya yakini, tidak akan seujung rambut pun saya sakiti putri ayahanda, tidak akan. Wahai ayahanda, akan saya buat bidadari2 surga disana cemburu pada Dinara. Saya janji ayahanda, saya janji, insya Alloh. Maka sekarang lepaskanlah tanggung jawab itu, biarkan saya yang memikulnya. Menjaga Dinara dengan seluruh hidup saya.”Alif masih menjabat erat tangan si ayah yang sudah balas menatap. Lalu si ayah menghela nafas panjang.

“Saya nikahkan putri saya Dinara binti Bisri dengan saudara Alif bin hasan, dengan maskawin seperangkat alat solat dibayar tunai”, dengan lantang, sigap dan penuh penekanan Alif menyambar kata terakhir si ayah, tanda penerimaan, “saya terima nikahnya Dinara binti Bisri dengan maskawin seperangkat alat solat dibayar tunai”

"SAH", teriak wali hakim, di sambut ucap tahmid dari setiap mata yang menyaksikan.
Si ayah langsung menghambur memeluk Alif, lelaki yang ia percaya pantas membawa gadis kecilnya ke surga. “jaga baik-baik putri ayah nak, Tolong.”. Alif dengan haru membalas pelukan si ayah. "baik ayahanda, saya janji, Insya Alloh"

Dari balik tirai, aduhai perempuan manis berbalut baju pengantin putih berulangkali menghapus lelehan air mata di pipinya. Tak perduli omelan penata rias yang mengeluhkan make up yang mulai luntur.
“tolong bersihkan saja wajahku, tak mengapa. Aku tak ingin membuat suami ku juga ayah, menunggu untuk melihat wajahku”

Kawan, Sejatinya memang pernikahan adalah proses penglepasan tanggung jawab seorang ayah terhadap anak gadisnya, menyerahkan sepenuhnya ia yang dari kecil Engkau besarkan, kepada lelaki yang engkau percayai bisa mengemban tugas menjaganya. Tapi meski begitu, kau masih tetap berhak dihormati si gadis dan suaminya. Berhak juga dimintai saran untuk kelangsungan rumah tangga mereka. Jadi tetap kau ada tanggung jawab terhadap mereka.

Untuk mu wahai suami, beban mu kini bertambah, malah semakin berat. Tetapi jika kau dekat dengan Tuhan, dan paham bagaimana membimbing istrimu, sungguh tidak akan terasa beratnya. Maka cintailah ia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saling melengkapi dan menyempurnakan.

Dan untuk mu wahai si gadis kecil. Kini kepatuhan mu murni untuk suami. Ridho tuhanmu ada di ridho suami. Kau tidak lagi sebebas hari kemarin. Kau bertanggung jawab menjaga aib suami, membuat ia selalu bahagia diatas kebahagiaan dirimu. Maka cintailah ia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saling melengkapi dan menyempurnakan.

Mess putra, Jambi. 13 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar