BRUUUKKK, suara cangkul membentur
tanah. “keras nya bukan main tanah jambi ni, biasa megang pensil, ini sekarang
megang cangkul”, pikirnya dalam hati.
4 bulan sudah ia bekerja di bagian
riset sebuah perusahaan karet di Jambi. Wah, keren ya, pekerjaan nya sebagai
peneliti. Ya ya ya, memang boleh dibilang dia adalah seorang peneliti. Walaupun
kastanya berada di kasta paling bawah dari hirearki perusahaan ini. mau saya
jelaskan hirearki nya?, baiklah, khusus untuk yang tinggal dikebun saja, paling
atas ada general manager, lalu ke manager, lalu ke asisten, ke mandor dan
terakhir ke PHL atau pekerja harian lepas. Laki-laki yang sudah bergelar
sarjana syariah ini bekerja sebagai pekerja harian lepas. Jangan tanyakan gaji
selangit, tunjangan, uang makan atau uang kesehatan, ia dapat upah dengan
hitungan per hari. Miris sebenarnya untuk seseorang lulusan sarjana.
Nafasnya makin tersengal, ia duduk
sebentar diatas rumput mucuna yang merambat tak terkendalikan.
“penelitian tai”, ia menirukan
ucapan manager bermarga hutapea saat memarahinya kemaren. Kenapa pula karet
yang mau mati ini harus lah di selamatkan. Bukankah tanaman juga seperti
manusia, kalo mau mati ya mati saja, bukannya bikin susah orang. Ia teringat
perjuangannya mencari pekerjaan sebelum akhirnya terdampar di perusahaan yang
tergolong masih balita ini.
Adalah sebuah bank syariah di kota
jambi pernah ia kirimkan sebuah lamaran perkerjaan. Berbekal nilai IPK 3,15 dan
ijasah yang kemaren lusa ia dapatkan dari salah satu universitas swasta di
Jambi, juga kepercayaan diri yang berhasil menggebu akibat do’a dari orang tua,
lamaran itu ia serahkan langsung ke meja HRD nya. Sebulan kemudian, saat harapan
mulai meredup, datanglah surat panggilan wawancara dari bank syariah yang
dimaksud. Meski saat menjawab pertanyaan terbata-bata, ia tetap senang, yakin
dan percaya diri akan diterima di bank tersebut. Banyak uang pinjaman sudah ia
keluarkan sekedar untuk transportasi Kerinci-kota Jambi, atau biaya warnet dan
sebagainya. Sebulan kemudian, panggilan untuk tes medis membuat harapanya
semakin membuncah. Tak pelak, ia pun berani meminjam uang lagi pada abangnya
dengan janji dikembalikan dua kali lipat, ya, tes kesehatan bukankah memang memerlukan
uang lebih banyak?. Anehnya, setelah itu tidak ada panggilan selanjutnya hingga
3 bulan lebih. Mau ditanyakan langsung ke kantor di Jambi, sudah tidak ada uang
lagi. Baiklah, mungkin memang bukan rizki saya disitu, hiburnya dalam hati.
Sempat juga sebenarnya dia
ditawari kerja di Kantor urusan agama kerinci. Tapi menilik gaji yang
ditawarkan sebesar 1,5 juta per 3 bulan dan itupun tidak menentu. Mau makan apa
selama tiga bulan?, tak maulah awak.
“YUKA, udah setengah jam kau
istirahat, kerja lagi oy” teriak mandor mengagetkannya. Kali ini ia menggali
parit dengan jarak 1,5 meter mengelilingi tanaman karet yang sakit. Sekilas ia
dengar dari asisten, tujuanya biar jamur tidak kabur katanya. Hah, emang jamur
mau kabur kemana?, bisa lari apa dia?, ato jamur nya lagi pada gulat dalam akar
karet, jadi biar saling serang dan tidak kabur harus di kasi belerang di
sekelilingnya,?, pikiranya mulai panas.
Kenapa pula awak bisa terdampar
disini, “malu”, ya, kata itu sangat sederhana, tapi berat sekali di tanggung.
Malu sama siapa?, nanya pula kau ni, jelas lah malu sama orang tua, 4 tahun
sudah mereka membiayai kuliahnya, minta ini itu, main sana sini, dan sekarang
ijasahnya bahkan tidak ditanyakan saat masuk perusahaan ini, pekerja harian
lepas mana ditanya ijasah. Dan kasarnya tidak perlu dapat ijasah sarjana dulu
untuk bisa jadi pekerja harian lepas.
“berangkat lah nak, barangkali
rizki mu memang disana” bujuk mamak nya bijak.
“barangkali juga ijasahmu nanti
beguna buat kau diangkat jadi mandor, yang penting kau besungguh-sungguhlah disana”tambahnya
menentramkan hati yuka.
Terdampar lah ia disini, mengerjakan
semua yang disuruh mandor, asisten kadang manager nya pun ikut-ikutan nyuruh.
Dari mulai nyangkul, nanem karet, nebas, nyemprot, pengamatan hama penyakit,
mengumpulkan dan mengolah data hingga memegang absensi pekerja harian lain
pernah ia lakukan. Belakangan malah ia dipercaya jadi admin dari departemen
riset tempat ia bekerja, tentunya menjadi orang yang paling sering kena marah
juga memang. Salah data lah, salah pengamatan lah, lupa timbangan pupuklah,
pulang tidak ijin lah hingga insiden cangkul lepas yang hampir menimpuk sang
manager. Cape?, dulu dua minggu pertama hampir saja minggat kalo tidak ingat
orang tua di rumah.
“harus bersungguh-sungguh”
batinnya mengingat pesan mamaknya, berhasil memberinya kekuatan untuk terus
mencangkul dan mencangkul, lalu menebarkan belerang dan menutup kembali parit
dengan tanah.
“YUKA,” teriak asisten memanggil.
“Ya A”jawabnya tegas lalu menoleh mencari yang
memanggil. Kebetulan asisten yang memanggilnya adalah orang sunda, entah siapa
yang memulai hingga semua memanggilnya “aa”.
“minggu depan siap wawancara ya?,
mau diangkat jadi mandor kau” ucap sang asisten kalem sambil menyodorkan air
minum dari dalam tas nya.
“SIAP A” jawabnya sumringah, langsung
menjabat tangan si asisten.
“mak, do’a mu terkabul mak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar