Laman

Minggu, 12 Mei 2013

YUKA S.Sy

laki-laki bertopi coboy itu mengusap peluh di dahi jenong nya, diambilnya air minum dari botol kemasan yang sering ia bawa. Lalu satu tegukan terakhir, air dalam botol meluncur deras memenuhi kerongkongan pendeknya-karena dia berleher pendek. Tepat jam dua siang, matahari disini memang sering menggila panasnya, sepanas tatapan mandor yang membulat saat ia terlalu banyak istirahat.

BRUUUKKK, suara cangkul membentur tanah. “keras nya bukan main tanah jambi ni, biasa megang pensil, ini sekarang megang cangkul”, pikirnya dalam hati.

4 bulan sudah ia bekerja di bagian riset sebuah perusahaan karet di Jambi. Wah, keren ya, pekerjaan nya sebagai peneliti. Ya ya ya, memang boleh dibilang dia adalah seorang peneliti. Walaupun kastanya berada di kasta paling bawah dari hirearki perusahaan ini. mau saya jelaskan hirearki nya?, baiklah, khusus untuk yang tinggal dikebun saja, paling atas ada general manager, lalu ke manager, lalu ke asisten, ke mandor dan terakhir ke PHL atau pekerja harian lepas. Laki-laki yang sudah bergelar sarjana syariah ini bekerja sebagai pekerja harian lepas. Jangan tanyakan gaji selangit, tunjangan, uang makan atau uang kesehatan, ia dapat upah dengan hitungan per hari. Miris sebenarnya untuk seseorang lulusan sarjana.

Nafasnya makin tersengal, ia duduk sebentar diatas rumput mucuna yang merambat tak terkendalikan.
“penelitian tai”, ia menirukan ucapan manager bermarga hutapea saat memarahinya kemaren. Kenapa pula karet yang mau mati ini harus lah di selamatkan. Bukankah tanaman juga seperti manusia, kalo mau mati ya mati saja, bukannya bikin susah orang. Ia teringat perjuangannya mencari pekerjaan sebelum akhirnya terdampar di perusahaan yang tergolong masih balita ini.

Adalah sebuah bank syariah di kota jambi pernah ia kirimkan sebuah lamaran perkerjaan. Berbekal nilai IPK 3,15 dan ijasah yang kemaren lusa ia dapatkan dari salah satu universitas swasta di Jambi, juga kepercayaan diri yang berhasil menggebu akibat do’a dari orang tua, lamaran itu ia serahkan langsung ke meja HRD nya. Sebulan kemudian, saat harapan mulai meredup, datanglah surat panggilan wawancara dari bank syariah yang dimaksud. Meski saat menjawab pertanyaan terbata-bata, ia tetap senang, yakin dan percaya diri akan diterima di bank tersebut. Banyak uang pinjaman sudah ia keluarkan sekedar untuk transportasi Kerinci-kota Jambi, atau biaya warnet dan sebagainya. Sebulan kemudian, panggilan untuk tes medis membuat harapanya semakin membuncah. Tak pelak, ia pun berani meminjam uang lagi pada abangnya dengan janji dikembalikan dua kali lipat, ya, tes kesehatan bukankah memang memerlukan uang lebih banyak?. Anehnya, setelah itu tidak ada panggilan selanjutnya hingga 3 bulan lebih. Mau ditanyakan langsung ke kantor di Jambi, sudah tidak ada uang lagi. Baiklah, mungkin memang bukan rizki saya disitu, hiburnya dalam hati.

Sempat juga sebenarnya dia ditawari kerja di Kantor urusan agama kerinci. Tapi menilik gaji yang ditawarkan sebesar 1,5 juta per 3 bulan dan itupun tidak menentu. Mau makan apa selama tiga bulan?, tak maulah awak.

“YUKA, udah setengah jam kau istirahat, kerja lagi oy” teriak mandor mengagetkannya. Kali ini ia menggali parit dengan jarak 1,5 meter mengelilingi tanaman karet yang sakit. Sekilas ia dengar dari asisten, tujuanya biar jamur tidak kabur katanya. Hah, emang jamur mau kabur kemana?, bisa lari apa dia?, ato jamur nya lagi pada gulat dalam akar karet, jadi biar saling serang dan tidak kabur harus di kasi belerang di sekelilingnya,?, pikiranya mulai panas.

Kenapa pula awak bisa terdampar disini, “malu”, ya, kata itu sangat sederhana, tapi berat sekali di tanggung. Malu sama siapa?, nanya pula kau ni, jelas lah malu sama orang tua, 4 tahun sudah mereka membiayai kuliahnya, minta ini itu, main sana sini, dan sekarang ijasahnya bahkan tidak ditanyakan saat masuk perusahaan ini, pekerja harian lepas mana ditanya ijasah. Dan kasarnya tidak perlu dapat ijasah sarjana dulu untuk bisa jadi pekerja harian lepas.
“berangkat lah nak, barangkali rizki mu memang disana” bujuk mamak nya bijak.
“barangkali juga ijasahmu nanti beguna buat kau diangkat jadi mandor, yang penting kau besungguh-sungguhlah disana”tambahnya menentramkan hati yuka.

Terdampar lah ia disini, mengerjakan semua yang disuruh mandor, asisten kadang manager nya pun ikut-ikutan nyuruh. Dari mulai nyangkul, nanem karet, nebas, nyemprot, pengamatan hama penyakit, mengumpulkan dan mengolah data hingga memegang absensi pekerja harian lain pernah ia lakukan. Belakangan malah ia dipercaya jadi admin dari departemen riset tempat ia bekerja, tentunya menjadi orang yang paling sering kena marah juga memang. Salah data lah, salah pengamatan lah, lupa timbangan pupuklah, pulang tidak ijin lah hingga insiden cangkul lepas yang hampir menimpuk sang manager. Cape?, dulu dua minggu pertama hampir saja minggat kalo tidak ingat orang tua di rumah.

“harus bersungguh-sungguh” batinnya mengingat pesan mamaknya, berhasil memberinya kekuatan untuk terus mencangkul dan mencangkul, lalu menebarkan belerang dan menutup kembali parit dengan tanah.
“YUKA,” teriak asisten memanggil.
“Ya  A”jawabnya tegas lalu menoleh mencari yang memanggil. Kebetulan asisten yang memanggilnya adalah orang sunda, entah siapa yang memulai hingga semua memanggilnya “aa”.
“minggu depan siap wawancara ya?, mau diangkat jadi mandor kau” ucap sang asisten kalem sambil menyodorkan air minum dari dalam tas nya.
“SIAP A” jawabnya sumringah, langsung menjabat tangan si asisten.
“mak, do’a mu terkabul mak” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar