Laman

Kamis, 22 Agustus 2013

gw, lu dan kholif



Cerita ini gw buat awal tahun 2012, saat gw sama sekali belum pernah ke semeru dan ke rinjani. Tulisannya sih masih kacau-baru belajar nulis, yang jelas saat itu kayanya gw pengen ngebuat cerpen ala traveler dah. Dan satu lagi, gw seneng ngelihat tulisannya bertumbuh dari tahun ke tahun, 

Gw, lu, dan kholif
Terdengar suara indah menyapa telingaku, sayup-sayup tapi jelas kata-kata yang terucap. Melukis sejuta warna dalam otak kananku, menginterpretasikan makna dibalik momen ini. Sepanjang jalan kenangan dari Glenn fredly bersuara dari mp3 playerku.

Oke, aku akui, aku kangen padamu saat ini. Entah seberapa besar batinku merasa tersiksa sejak kejadian itu. Kejadian yang menjadi awal dari perpisahan kita. Sejenak aku merenung, membayangkan wajahmu saat menjitak kepalaku di jalan itu. Tidak sakit, memang jitakkanmu adalah manipulasi dari tanganmu yang ingin membelai rambutku. Dan aku tertawa. Pura-pura tidak mengerti.

Perlahan kabut mulai turun. Bebas ku lukis wajahmu dengan tinta awan putih diatas kanvas langit biru. Cahaya mentari menghangatkan wajahku yang merona merah saat ingat kau pernah jatuh gara-gara kutinggalkan motor tanpa kuturunkan standar. Dan kau tersenyum manja menyalahkan aku yang seharian memboncengmu keliling pasar. Aku hanya bisa minta maaf sambil ngeles gak merasa bersalah. Berharap kau terus tersenyum manja. Biasa tapi lucu.

“yok zen, kita turun sekarang. Semua uda beres dikemas” ucap teman naik di gunung Guntur ini.
“sip,lewat jalur kita naik kan turunnya?” tanyaku sambil berdiri dan mengangkat ransel.
“yoi, eh  lu dari tadi gw perhatiin senyum-senyum sendiri, inget cewe ya?
“entahlah, setiap gw naik gunung, gw inget seseorang mulu, seseorang yang selalu semangat jika gw ajak naik gunung, dan gak pernah ngeluh saat ia kecapean ato manja saat ia kedinginan”
“hebat banget tuh cewe, cocok tuh lu jadiin pacar”
“sekarang dia uda gak ada boy, gw nyelakain dia”
“maksud lu?”
“dia meninggal karena kecapean saat pulang dari semeru dulu, dia gak bilang kalo dia lagi sakit saat gw ajak ke semeru. Dia juga biasa aja saat naik, begitu perjalanan pulang dia pingsan dan jatuh dengan kepala membentur batu”
“astajim, sory ya boy, pasti tuh cewe sayang banget ama lu, sampai demi deket ama lu, dia rela sakit-sakitan nemenin lu naik gunung”
“entahlah, yang jelas, gw selalu ngerasa bersalah, makanya gw selalu naik gunung untuk ngelepas rindu gw”
“sip lah, lu pasti nemu lagi yang terbaik, yok turun sekarang”

Bertiga kami menuruni gunung Guntur yang terkenal tandus ini pas sore hari. Kenapa sore hari?, karena sepanjang perjalanan setelah curug citiis jarang sekali ditemukan pohon. Jalan berkerikil, tumbuhan alang-alang yang menyemak, pohon pinus yang jarang-jarang, dan puncak yang semakin tinggi didaki semakin banyak berbohong. Dikira sudah dekat, ternyata ada puncak lain lagi. Membuat para pendaki tidak sabaran mencapai puncak.

Diperjalanan kami juga bertemu dengan pendaki lain baik yang sedang beristirahat sebelum turun gunung, atau berpapasan ketika pendaki lain baru naik gunung. Semua saling menyapa seakan sudah pernah bertemu. Bukan sok kenal, tapi alam yang menyatukan kami. Menyamakan kondisi kami dan membuat kami saling mengerti. Begitu juga dengan rombongan yang baru naik ini. Sambil beristirahat, kami berkenalan dengan pendaki yang ternyata berasal dari Jakarta, mereka berlima, dan satu orang lagi masih tertinggal di curug Citiis untuk mengambil persediaan air. Memang hanya di curug Citiis-lah persediaan air terakhir gunung Guntur ini.

“nah tu dia datang”salah satu pendaki yang baru kami kenal berkata sambil menunjuk kearah jalan setapak.
Deg,,,,
jantungku seakan mengerti akan kecemasan saat kulihat seseorang keluar dari semak-semak. Berkacamata, badan tegap, kaos oblong, dan celana kargo.
“a deki?” suaraku terdengar parau saat ku tatap wajahnya.
“lu ngapain disini” jawab a deki saat melihat ku
“hanya melepas kerinduan terhadap seseorang”
“owh,, jadi kalian udah pada kenal” ucap temen nya a deki mencairkan suasana.
“jelas, gw kenal banget sama ni bocah, dia yang ngebunuh adik gw”
“gw gak bunuh adik lu!, gw Cuma gak tau kalo adik lu sakit saat gw ajak ke semeru”
“bullshit, harus nya lu tau, adik gw lagi sakit, lu malah ngajak dia naik gunung. Gak nyadar lu bunuh adik gw”
“JADI MAU LU APA?” akhirnya gw membentak a deki dengan muka geram.
“gw mau lu ke semeru, dan lu bawa adik gw kembali”
“okeh, gw akan ke semeru minggu depan, tapi gw Cuma mau ziarah ke nisan adik lu, Karena gw bukan tuhan, gw hanya bisa berdoa untuknya, gw tau lu gak bakal maafin gw, tapi gw minta ama lo, jaga harapan adik lu yang ingin banget naik rinjani, buktikan lo sayang ama dia, buktikan kalo lu bisa mewujudkan cita-cita adik lu, walaupun dia sudah gak ada, tapi cita-cita dia akan ikut di setiap langkah lo saat ke rinjani”
“rinjani?”
“Ya, rinjani, adik lu pengen banget ke rinjani, jadi setelah gw ke semeru minggu depannya lagi gw bakal ke rinjani dan teriakin nama dia di puncak rinjani.  gw gak akan ngerasa bersalah lagi”
“ok, gw juga akan ke rinjani, tapi demi cita-cita adik gw”
“okeh, ayo sep kita berangkat lagi” seraya menoleh pada teman ku yang bernama asep.

Sepanjang perjalanan pulang, di dalam kepala terus berpikir bagaimana mencari uang untuk pergi ke semeru dan rinjani dalam waktu dekat ini. Beruntung kedua teman ku berbaik hati mau menamani saat pendakian semeru dan rinjani nanti. Walau mereka juga belum tau dari mana dapat uang untuk membiayai perjalanan kami.
sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangan,
sepanjang jalan kenangan, kau peluk diriku mesra
hujan yang rintik-rintik, diawal bulan itu,
menambah nikmatnya malam syahdu

lagu sepanjang jalan kenangan dari yuni shara menemani perjalanan pulang ku dari Garut menuju Bogor. Antara tidur dan tidak, antara sadar dan tidak, yang jelas aku hanya ingat senyuman nya dikantin kampus saat melihat aku datang menjemputnya. Biasa tapi lucu.

***
Seminggu sudah kami mencari sponsor untuk mendanai ekspedisi kami. Ekspedisi menaklukan 5 gunung tertinggi di Indonesia selama dua bulan. Dan beruntung kami didanai oleh perusahaan pembuat alat-alat petualang terkenal dari luar negeri. Jelas, pasti mereka terarik mendanai ekspedisi kami. 5 gunung tertinggi dalam dua bulan oleh mahasiswa. Cocok untuk bahan promosi di kalangan mahasiswa maupun kawula muda yang semakin besar partumbuhan pasarnya. Namun, bagi ku, pendakian ini adalah bentuk tanggung jawabku atas perasaan bersalah terhadap seseorang. Juga kakaknya.

Sesuai rencana, pendakian pertama adalah gunung tertinggi di Jawa - Gunung Semeru. Setelah melakukan 
perjalanan selama dua hari dari kota Malang, kami bertiga dan dua orang dari sponsor sampai di danau Ranukumbolo. Kenangan itu seakan berkelabat memenuhi rongga pikiranku. Disini, seseorang yang kupanggil Kholif, tiba-tiba berwajah pucat, tersenyum getir menatapku, setengah berlari mencoba menggapai tanganku, namun tidak sampai. Dia terjatuh dengan kepala menghantam batu. Berdarah dan aku panik. Secepat mungkin kubangunkan tubuhnya yang terasa dingin. Masih terngiang dalam telingaku apa yang dia katakan. “Rinjani”. Aku hanya bisa tercengang saat itu, tidak memperdulikan kedua temanku yang mulai memeriksa keadaan tubuh nya. Tidak memperdulikan tatapan simpati dari pendaki lain yang mulai mengerubuti kami. Terdengar salah satu pendaki dengan telpon satelitnya memanggil petugas pos pendakian. Karena keterbatasan alat transportasi. Kami hanya bisa menunggu jemputan petugas yang mulai naik.
Setelah mengucap doa bersama teman sependakian di tempat ini. Kami melanjutkan perjalanan untuk mencapai puncak semeru. Kawah gunung yang masih mengeluarkan debu dan asap hitam membuat kami terpana melihatnya. Rencananya kami akan mendapatkan sunrise di puncak, membiarkan kedua orang dari sponsor kami mengambil apapun yang mereka inginkan dan setelah itu kembali lagi ke ranukumbolo untuk ngecamp semalam sebelum perjalanan pulang.

Dari kota Malang, kami bertolak ke Banyuwangi menggunakan bis. Dari Banyuwangi menumpang kapal feri menyebrang ke Bali. Di pantai Kuta kami beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju gunung tertinggi di kepulauan Sunda kecil-gunung Rinjani. Selanjutnya perjalanan akan kami lanjutkan dengan menumpang mobil sewaan ke pelabuhan Bali dan menumpang speed boat menuju Lombok tepatnya daerah Gili Trawangan. Dari sana kami akan membeli keperluan dan memulai pendakian.
“eh zen, A deki jadi ngikut ke Rinjani kagak” tanya agus, salah satu teman ekspedisi.
“gak tau tuh. Kalo emang dia serius menyayangi adiknya, dia pasti datang ke Rinjani.” Jawabku seperlunya.
“lu gak ngehub dia zen?, barangkali dia mau naik bareng” tanya asep, menoleh beberapa saat dan melepaskan pandangan lagi ke arah pantai.
“kagak lah, ngapain gw hubungi dia, toh dia juga pasti ngajak temen-temennya.”

Betiga kami menghabiskan sore di pantai Kuta. Menatap 47 detik sunset tanpa pernah bosan. Semua punya lamunan masing-masing, dan aku, mencoba melukis wajahnya dengan semburat jingga yang mulai meredup di langit sore ini. Dua teman kami lainnya sibuk mengotak atik notebook nya. Mereka sibuk mengirim laporan perjalanan dari Semeru kemaren. Mengirim foto-foto karya mereka. Begitupula foto sunset sore ini. Berhasil mereka rekam untuk menambah bahan iklan mereka.

Tepat pukul 08.00 kami sudah sampai di Gili Trawangan. 1 jam sudah mengendarai speed boat dari Bali.  Berbekal peta jalan dan bekal seperlunya. Kami mulai melanjutkan perjalanan mendaki gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia. Untuk mencapai puncak gunung ini bisa dicapai dari desa Sembalun dan desa Senaru yang bisa di akses dari kota Mataram. Kedua jalur tersebut adalah jalur normal yang sering dipakai oleh pengunjung yang akan mendaki.
“kata petugas pendakian, kemaren ada satu orang dari Jakarta yang naik gunung rinjani” ucap asep menghampiri dan mengambil botol air dari tas ranselku.
“dari Jakarta? jangan-jangan?, A Deki?”
“iya mungkin”
“tapi mana mungkin dia nekad naik Rinjani sendirian, ah pasti orang lain”
“gak penting siapa yang naik, yang penting kita selesaikan ekspedisi ini, yuk lanjutin perjalanan”

Setelah 8 jam perjalanan, kami tiba di danau yang paling terkenal dari gunung Rinjani, danau Sagara Anak.  
Danau berwarna biru dikelilingi oleh puncak gunung-gunung kecil. Sampai sekarang disini masih banyak ikan jika mau memancing. Karena hari ini bukan hari libur, jadi tidak terlihat pendaki lain selain kami di sekeliling danau ini. Rencananya kami akan bermalam disini dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

“Permisi, Permisi, Mas, Bang Tolongin Saya” terdengar suara dari luar tenda dan menggerak-gerakan tenda.
“siapa itu?” tanyaku menyahut suara dari luar tadi
“saya Deki dari Jakarta bang, saya kehabisan makanan, boleh minta sedikit untuk perjalanan pulang”
“deki”, tanpa banyak berpikir, langsung kubuka resleting tenda, lalu kusorotkan senter pada seseorang berjaket dan berkacamata. Aku mengenalnya. Dialah A Deki,
“A Deki, ngapain sendirian disini” tanya ku lalu menyodorkan roti padanya. Tadinya dia canggung mau mangambil roti dari tanganku.
“ini ambilah, lupakan masalah pribadi, ini gunung, kita harus saling membantu untuk bertahan”
Dia pun mengambil roti dan langsung memakannya.
Aku langsung menyalakan api unggun dari sisa semalam. Jam menunjukan pukul 1 pagi. Dan dari wajahnya, dia terlihat kelelahan.
“maafin gw zen, gw egois, gw baru nyadar, di gunung bisa terjadi apa aja dan kapan aja kepada kita,”
A deki mendongak melihat langit penuh bintang.
“ya sudah, gak papa, yang penting kita bisa bertahan dan saling membantu dalam keadaan  sesulit apapun, gunung yang menyatukan kita dan menyamakan kondisi kita, lu baru pulang dari puncak?, kenapa malam2”
“gw lupa masukin makanan kemaren pas naik. Gw Cuma bawa air 1 liter dan roti dua bungkus. Saat nyampe puncak, gw cari-cari di ransel kaga ada sedikitpun makanan. Karena gak tahan lapar, gw pulang malem-malem berharap ada pendaki lain yang mulai naik,”
“ko bisa lupa?”
“mungkin karena pikiran gw lagi kesal zen. Kagak ada temen gw yang bisa gw ajak ke Rinjani. Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing. Karena gw udah janji sama lu dan adik gw, gw maksa naik Rinjani sendirian, dan buat gw gak terlalu memperhatiin persiapan logistik. Oya zen, boleh gw minta betadine ama perban?”
“kenapa lu?, niih”, ku sodorkan betadin, alcohol, tissue dan perban kearahnya.
Ku perhatikan dia membuka sepatunya dan menyingsingkan celananya.
“coba lu senterin ke arah sini zen”sambil menunjuk ke pergelangan kakinya, A Deki meringis menahan sakit.

Terlihat luka sobek pada pergelangan kakinya. Sepertinya luka itu didapat karena terjatuh dan kakinya pasti menghantam benda tajam seperti dahan pohon atau batu. Dan kalau dia telat mendapat perawatan, maka kakinya akan terkena infeksi. Dia harus segera turun ke kota Mataram pagi ini juga untuk mendapat perawatan.
“kapan lu dapat luka ini?”
“tadi malem gara-gara gw terpleset di lereng yang banyak pohon pinus, senter gw abis, lupa gw charge, jadi gw ngeliat seadanya, kalo gak balik sekarang gw kelaparan, balik sekarang senter abis, untung gw liat api unggun kalian, jadi gw memberanikan diri turun malem-malem”

Dari dalam tenda menyembul teman-teman ku yang baru bangun karena mendengar suara obrolan kami.
“A Deki, kenapa kaki lu? Tanya Asep dan Agus melihat luka dai kaki A Deki yang baru di bersihkan
Mereka hanya bisa ikut merasa menahan sakit yang tidak mereka derita sembari mengernyitkan kening.
“gw harus pulang sekarang zen, gw takut kenapa-napa dengan luka gw,”suara A Deki memecah keheningan di pagi buta itu.
“tapi lu gak bisa pulang sendiri kan, lu gak bakal bisa dan gak bakal kuat, harus ada yang nemenin lu turun” sergah agus masih memandang luka A Deki.
“gw mungkin gak bisa, tapi gw harus nyoba,kalian gak usah hawatir, gw uda sering naik gunung, dan perasaan gw sekarang lebih tenang”
“baiklah, gw yang akan nemenin lu, agus , asep, kalian lanjutin ekspedisi ini dan temenin temen2 sponsor sampai puncak Rinjani. Gw tunggu kalian di kota Mataram.”
“gak usah zen, gw bisa sendiri ko, gak enak kan lu ninggalin sponsor kalian.”
“denger A Deki, gw gak mau ngulangin kesalahan gw kaya dulu, gw akan sangat ngerasa bersalah biarin lu sendirian turun gunung dengan keadaan seperti ini. Dan gw bangga ama lu yang rela naik gunung rinjani sendirian demi memperjuangkan cita-cita adik lu,”

A deki lansung menunduk mengiyakan aku yang akan menemaninya turun gunung. Setelah berpesan pada Asep dan Agus apa yang harus dilakukan, berkemas bawang bawaan seadanya dan pamit kepada dua orang sponsor yang baru bangun. Agus langsung menjelaskan pada mereka apa yang terjadi. sekarang, ketua tim diserahkan pada agus, sambil tergopoh-gopoh membopong A Deki, kami bergegas berangkat pulang. Jika keadaan seperti ini, perjalanan membutuhkan sehari semalam. Di kota mataram kami akan langsung mencari poliklinik terdekat untuk mendapat perawatan.

“lu gak jadi ke puncak dong zen?”
 “yang penting abang nya udah mewujudkan cita-cita adiknya nya kan, kalo gw, nanti bisa kesini lagi kapan-kapan,”
“tau gak zen, dulu gw pengen banget naik gunung Cuma kita bertiga, lu, kholif dan gw”
“dan keinginan lu udah terwujud A Deki, gw, lu dan kholif” sambil gw letakian telunjuk gw di dada A Deki
“dia ada disini, di hati kita masing-masing”
                                                                                                                                   Bogor, maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar