Laman

Rabu, 07 Agustus 2013

Nasi Tiwul Lebaran


Biasanya setelah solat Iedil Fitri, setiap orang akan berlalu lalang mengunjungi sanak sodara atau kerabat dekat juga tetangga untuk saling bersilaturahmi. Tapi tidak dengan kampung kami. Entah sejak kapan, ritual setiap keluarga setelah solat ied adalah menunggu. Ya kah? ya,, menunggu di dalam rumah sudah menjadi kebiasaan saya dan keluarga yang lainnya selepas melaksanakan solat ied. Apa yang ditunggu? Nasi tiwul lebaran!.
Adalah bi Saesih, seorang janda yang tidak mempunyai anak, tinggal sendirian di gubuk kayu dekat pemakaman kampung. Setelah solat ied, ia akan berkeliling membawa boboko (bakul) berisi nasi tiwul lebaran dan membagikannya ke setiap keluarga di kampung kami. Kenapa diberi nama nasi tiwul lebaran? karena memang nasi tiwul ini sungguh sangat spesial dan hanya ada saat lebaran saja. Menurut apa yang saya dan keluarga rasakan juga cerita-cerita keluarga lainnya, nasi tiwul lebaran bi Saesih membawa keberkahan bagi yang memakannya. Tidak sedikit juga yang kebetulan sedang sakit, bisa sembuh setelah memakan nasi tiwul ini.
Sempat saya iseng bertanya saat bertandang ke rumahnya tentang resep yang digunakan dalam membuat nasi tiwul ini. Katanya nasi tiwul yang terbuat dari gaplek singkong ini menggunakan resep keluarga yang turun temurun digunakan dari penjajahan Belanda dulu. Ia tidak mau menggunakan beras, karena menurut ia dan keluarganya beras adalah makanan bangsawan, tidak cocok dimakan rakyat sepertinya. Jelas ia tidak mau berbagi resepnya, tapi karena menurutnya saya termasuk keluarga dekat, dan sering membantunya malah, ia memberikan rahasia nasi tiwul lebaran nya.
Ujang ulah beja-beja kabatur nyak, rahasiana aya dina cai nu dipake ngarebus gaplek na. Cai na wadahan kana kendi, terus ti mulai taraweh kahiji, eta kendi nu aya cai an, kudu dibawa ka masjid. Supaya caina jadi berkah. Pas taraweh eta kendi dibuka tutupna, mun ek dibawa balik, kudu ditutup rapet deui eta kendi, nah dina malem takbiran cai dina eta kendi dipake nyien tiwul.” Ucapnya dengan logat sunda, Saya sebenarnya tidak mengerti, dan tidak berniat juga mencobanya.
Translate
“Ujang jangan ngasih tau ke yang lain ya, rahasianya ada di air yang digunakan merebus gaplek. Air nya dimasukan ke dalam kendi, lalu dari mulai tarawih pertama, kendi yang berisi air tadi harus dibawa ke masjid agar airnya menjadi berkah. Saat sedang tarawih kendi dibuka tutupnya dan saat hendak dibawa pulang harus ditutup rapat lagi kendinya, nah saat takbiran, air dalam kendi digunakan dalam pembuatan tiwul”.
Saat kami menunggu, Bi Saesih akan berkeliling menyapa dan bercengkrama ke setiap rumah lalu memberikan 5 centong (sendok bakul) nasi tiwul lebaran per kaluarga. Biasanya selain ucapan terima kasih, kami juga sering menyelipkan uang saat berjabat tangan dengan nya. Ia tidak pernah minta sebenarnya, toh keluarga yang tidak memberi uang pun tetap ia beri nasi tiwul lebaran, itu hanya bentuk ungkapan terima kasih kami saja.  Oya, bi Saesih tidak akan memberi nasi tiwul lebaran, kalo di rumah sedang tidak ada orang. Meskipun nanti menyusul ke rumahnya untuk minta jatah, tetap ia tidak akan memberi nasi tiwul lebarannya. Jadi kalau mau dapat nasi tiwul lebarannya, ya harus nunggu giliran di rumah masing-masing, barulah setelah semua mendapat nasi tiwul lebaran, kami saling bersilaturahmi.
                Sudah hampir 2 jam lebih, bi Saesih tidak juga mengucap salam khasnya-tanda menyapa setiap rumah yang ia kunjungi. Biasanya ia memerlukan waktu 2 jam untuk sampai di rumah terakhir. Saya dan keluarga lainnya pun berhamburan ke jalan-saling bertanya sana-sini. Sama!, mereka juga belum mendapat nasi tiwul lebaran bi Saesih. Akhirnya dengan gelisah berbondong-bondong semua orang memutuskan untuk datang ke rumah Bi Saesih, khawatir ia sakit atau mungkin malah meninggal.
               
Rumahnya teduh dibawah rindangnya pohon meranti, pekarangan sayuran menghijau indah di depan rumah ditemani petok ayam dalam kandang di samping kirinya. Sepi! ya memang sepi, kan bi Saesih hidup sendiri. Sempat kami tawarkan ia untuk pindah ke rumah jompo di kota. Dengan halus ia menolak. Katanya ia justru tidak merasa sendiri, ia ingin terus dekat dan bersilaturahmi dengan kalian, dengan kita, dengan kami. Ya, silaturahmi. Sepertinya saya baru sadar kenapa ia lebih senang setiap hari berjualan gorengan dengan nyiru (nampan bambu) disanggulnya, berkeliling setiap pagi dan sore. Padahal kalaupun ia membuka warung dirumahnya, kami semua pasti menyerbu gorengan buatannya itu. Renyah, gurih, dan khas sekali. Memang dengan berkeliling menjajakan gorengan, ia selalu dekat dengan setiap orang di kampung kami.
                Lalu kemana bi Saesih?. Rumahnya kosong tapi bekas perapiannya masih belum padam sepenuhnya-tanda ia belum lama ada di rumah. Apakah ia terjatuh disuatu tempat?, sungai, pemandian umum, pasar, kebun singkong miliknya, tebing disamping jalan, masjid, juga tempat-tempat lainnya tidak satu orang pun berhasil menemukannya. Akhirnya semua orang memutuskan pulang, barangkali nanti sore bi Saesih akan kembali-pikir kami.
                “ada nasi tiwul? Bukan kah rumah kita dikunci?”Tanya saya heran,
                “ iya bi, ada nasi tiwul di meja makan kita” ucap istri saya sambil membawa sepiring nasi tiwul dari dapur. Kami langsung mencicipinya
                “Benar mi, ini nasi tiwul lebarannya bi Saesih, umi gak bohong kan? Ko bisa tiba-tiba ada di meja makan kita?” Tanya saya mengerutkan dahi,
                “ih abi mah, iya tadi pas pulang, umi langsung ke dapur, eh lihat nasi  tiwul, padahal sebelum kita keluar tadi kan gak ada”jawab istri saya meyakinkan.
                Rupanya tidak hanya keluarga kami yang kebingungan dengan keanehan ini, semua keluarga juga mendapatkan sepiring nasi tiwul lebaran bi Saesih. Dan lebih terkejut lagi tidak seorang pun yang melihat bi Saesih. Padahal jarak kami keluar dan pulang ke rumah hanya 1 jam. Jadi tidak mungkin tidak ada seorang pun yang berpapasan dengan bi Saesih. Sebelum kekalutan makin menjadi akibat desas desus yang tidak jelas, saya, pak RT dan beberapa orang langsung pergi lagi ke rumah bi Saesih-berharap ia ada di rumah.
                Sesampainya di rumahnya, pintu yang tadinya kami tutup rapat, kini terbuka. Ayam-ayam yang tadi berpencar tak tau arah, berkumpul melongok didepan pintu. Dan betapa kagetnya saat kami masuk ke dalam rumah-di ruang tamu yang berlantai papan kayu, terbujur kaku seorang nenek tua bermukena dengan wajah pucat pasi namun berseri, lipatan kain putih seperti kain kaffan digunakannya sebagai bantal. Saat kami raba pergelangan tangannya, tidak ada denyutan kehidupan disana. Saya tidak kuasa menahan rembesan air mata, pak RT langsung sigap memerintahkan beberapa orang untuk mencari pertolongan ke mantri terdekat.
Jadi ini adalah nasi tiwul lebaran terakhir, semua tidak mengerti kapan dan bagaimana nasi tiwul lebaran bi Saesih bisa ada di rumah kami. Desas desus pun berkicau, memang sudah sifat manusia mengomentari suatu kejadian meski itu sebenarnya di luar nalar. Yang jelas, adalah kebaikannya yang kami bincangkan. Semua orang di kampung merasa kehilangan, karena bi Saesih dekat dengan semua orang. Ya ya, rajin bersilaturahmi. Itu yang saya dan warga lainnya ingat dari seorang bi Saesih, bukankah Rasulullah juga senang dengan orang yang memperpanjang silaturahmi?, semoga Rasulullah juga senang terhadapmu bi Saesih. Aminn,

                                                                                             Kaki gunung Cikurai Garut- 7 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar