Laman

Kamis, 22 Agustus 2013

Janji di hari lebaran



Cerita ini gw buat tahun 2008, saat gw baru masuk IPB dan tinggal di asrama, awalnya tulisan ini tercecer di kertas map kuliah gw, sayang banget kan kalo bukti pertumbuhan tulisan kita ilang, jadi gw ketik-tanpa di edit, biar masih dapet rasa gw di umur segitu. Kalo menurut gw, focus cerita nya masih kabur, maklum si ya baru belajar nulis,
Janji di hari lebaran
                “Allohu akbar, Allooooohu akbar” suara panggilan solat membahana di seluruh penjuru langit, mengumandangkan kalimat-kalimat Tuhan yang dari zaman Rasululloh hingga zaman sekarang ini tidak pernah berubah. Sayup-sayup sang raja siang meninggalkan kekuasaannya untuk digantikan sang dewi malam.
“sungguh lukisan alam yang luar biasa, Alloh pasti menyenangi keindahan, buktinya ciptaannya begitu indah dan luar biasa”, gumam Lindra sambil memegang pundakku. Kami bergegas turun dari pohon mangga tempat biasa melihat sunset kesukaan kami.

Lindra adalah teman yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Wajah lugunya tidak mencerminkan pengetahuannya yang seluas galaksi bimasakti. Orang tidak akan menyangka bahwa Lindra adalah juara umum di sekolah kami dulu. Tapi karena masalah ekonomi, membuat kami tidak bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Selama setahun, kami harus bekerja keras mencari uang untuk mewujudkan cita-cita kami, harus menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri terbaik tahun depan. Itulah janji kami sebagai pelajar Indonesia dibawah rindangnya pohon mangga.

Kami pun berlarian sambil memegang nampan bekas wadah kolak yang selalu kami jual keliling kampung selepas salat ashar, hanya itulah yang dapat kami lakukan setelah seharian membantu ibu di pasar. Sepanjang perjalanan kurasakan ada hal yang mengganjal, kulihat Lindra tersenyum-senyum memikirkan keuntungan penjualan kolak kami yang selalu sukses tiap hari, seluruh kampung tau kelezatan kolak ibuku. Bahkan pa Bupati terkesan dengan kolak ibu hingga minta dibungkus untuk dibawa ke rumah saat ada acara di kecamatan.

Aku pun berbuka puasa di rumah Lindra yang sederhana. Walaupun kami makan hanya dengan nasi ditemani ikan asin dan sambel, kami tidak pernah merasa kekurangan. Karena nasehat orangtua nyalah yang mengajarkan kami bahwa kenikmatan terletak bukan pada banyaknya makanan, tetapi pada bagaimana kita mensyukuri apa yang ada pada diri kita, dan nasihat itulah yang sukses menghipnotis kami hingga bisa menikmati makanan seadanya ini.

Selepas solat tarawih, aku langsung pulang ke rumah. Rasa khawatir yang dari tadi menggangguku perlahan menghilang ketika aku sampai di rumah dan melihat ibuku sedang membereskan meja makan. Sejenak beliau menatapku dalam-dalam. Sorot matanya tajam penuh arti. Naluri seorang anak mengatakan bahwa ibu ingin menyampaikan sesuatu yang penting, namun rasa lelah membuatku ingin cepat-cepat masuk kamar dan merebahkan tubuhku.

Suasana hening perlahan menyelinap ke lubuk hatiku, daun-daun yang berjatuhan mewarnai kejadian alam yang terlukis dalam kanvas kehidupan. Matahari yang malu-malu beranjak ke peraduannya menyisakan sinar merah yang menyorot di ufuk barat, dipadukan mozaik langit malam yang perlahan mendominasi jagat raya. Burung-burung beterbangan riuh rendah ikut memberi ekspektasi menarik pada lukisan alam ini.

“Assalamualaikum,” terdengar suara indah menyapaku dari belakang. Aku langsung membalikkan badan sembari mengucap salam untuk melihat siapa yang tadi menyapa. Muncul lah sesosok wanita muda berbalutkan jilbab hijau yang membuat lelaki manapun tidak rela memejamkan matanya walau hanya untuk berkedip. Ketika melihatnya, sinar matanya jernih menandakan ia selalu menjaga kesucian pandangannya. Senyumannya tulus menghiasi wajah lesungnya.
“suamiku, engkau telah pulang, ciumlah keningku, aku sudah lama menunggu kedatanganmu” katanya lembut mengagetkanku.

Siapa dia?, mengapa dia ada di hadapanku?, mengapa sorot matanya membuat jiwa ingin terbang memegang tangan lembutnya melintasi angkasa raya, apakah dia bidadari yang Alloh ciptakan untukku?. Tunggu, aku masih kecil, umurku baru 19 tahun, belum saatnya bagiku memikirkan seorang pendamping hidup.
Deg, deg,,suara detak jantungku jelas terdengar saat ia perlahan mendekatiku. Langkah kakinya ringan seperti sedang berjalan di atas awan. Jantungku berdegup semakin kencang bak seorang anak kecil baru belajar memukul beduk. Tubuhnya yang setinggi pundakku terlihat begitu jelas, senyumannya, pandangan matanya, wajah ayunya, membuat hatiku meleleh seperti lilin terbakar.
Dibalik lengan jilbabnya yang panjang, ia mengeluarkan sebuah cincin, kemudian menyerahkannya padaku. Rona merah terlihat di kedua pipinya, tersipu malu saat melihatku. Ku ambil cincin itu. Hatiku protes saat bibirku tak bisa bergerak untuk menanyakan kenapa cincin itu diberikan padaku. Saat ku coba memakainya,
“KAKAAAAKKKK!” teriak adikku membangunkan tidurku,
“kak, bangun kak, ibu kenapa tidak bisa dibangunin, kita kan mau sahur, ade pengen makan telur ceplok kak”
“ayo kita ke dapur, kita masak telurnya, mungkin ibu lagi sakit, jadi biar kakak saja yang masak”

Setelah selesai masak, aku beranjak membangunkan ibu di kamarnya. Ku lihat ibu berkeringat dingin dengan senyuman khas di wajahnya yang memancarkan cahaya walaupun sinar lampu belum dinyalakan. Aura dingin yang menyelimuti kamar sontak membuat hatiku berdebar. Tangannya yang kasar karena selalu bekerja menghidupi keluarga setelah kematian ayah kami 3 tahun lalu masih memegang tasbi. Balutan mukena yang masih beliau kenakan membuatku bertanya-tanya, “tidak biasanya ibu tidur sebelum mengganti mukenannya”

“bu bangun bu, kita sahur sama2 ya, walau ibu sakit, ibu harus makan sahur supaya kuat puasanya” bisikku sambil menggoyang-goyang lembut tubuhnya. Bingung karena tidak ada respon, ku raba pergelangan tangannya tidak ada denyutan. Rasa cemas menggelayuti tubuhku, ku coba tuk menguatkan pikiranku dan secepat kilat pergi ke luar rumah untuk memanggil mantri yang tinggal tak jauh dari rumahku. Sambil terengah-engah ku ketuk pintu rumahnya sembari mengucap salam
“waalaikum salam, ada apa ya?” terdengar dari balik pintu sembari membuka pintu,
“pak, tolongin ibu saya pa, denyut nadinya berhenti, apa yang terjadi dengan beliau pak?”

Pak mantri langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil peralatan medis, tanpa berkata apapun ia langsung memboncengku naik vespa tahun 70 an yang masih terawat. Secepat kilat kami sampai di rumah.
Sesampai dirumah, adikku ketiduran di meja makan. Telur ceplok yang aku buatkan belum ia makan, mungkin kelamaan menunggu hingga ketiduran. Pak mantri langsung aku ajak memeriksa ibu, mimik mukanya yang dari tadi dingin tidak berubah, dengan parau ia menjelaskan kalau ibuku telah meninggal. Hatiku pilu mendengarnya, bintang-bintang yang selalu aku dan Lindra lihat seakan berjatuhan menimpa kepala ku, beribu pedang seolah ditusukan ke ulu hatiku. Dunia seakan sepi sendiri. Matahari dan bulan yang selama ini menjaga dan mendidikku kini telah lenyap. Ingin ku menjerit sejadi-jadinya. Ingin ku menangis sekeras-kerasnya. Ku rasakan dekapan hangat dari pak mantri seperti seorang ayah mendekap anaknya. Air mata yang sedari tadi bercucuran ia hapuskan, pandanganku kabur, ku lihat remang-remang wajah pak mantri yang seperti wajah ayahku perlahan menghilang, brukkk, aku sudah tak ingat lagi.

Saat ku coba membuka kedua mata, ku teringat wajah ibu. Tanpa memerdulikan pusing di kepala, ku berlari ke ruang tamu dan melihat banyak orang sudah berkumpul. Mereka menatap penuh iba. Adikku termenung melihat foto ibu di dinding, terlihat jelas di kedua matanya bekas menangis semalaman. Tatapan tertuju pada foto ibu, tak terasa air mata kembali mengalir deras, lalu terdengar suara Lindra memanggil dari belakang. Aku gak peduli, toh tuhan pun gak peduli akan kesedihanku. Aku ingin  melampiaskan semua kesedihanku dengan berlari dan berlari. Beban berat seakan menghantam kepalaku, pusing yang tak tertahankan dan mual membuat ku terjatuh tak sadarkan diri.

Semilir angin membelai rambutku, daun-daun berjatuhan dari pohonnya, matahari perlahan tenggelam membuatku teringat akan mimpiku dulu. Jangan-jangan perempuan yang dulu juga ,,tanpa sempat melanjutkan kata-kata, ku lihat ibuku yang perlahan mendekatiku, laki-laki yang disampingnya pasti ayahku. Senyuman khasnya tak pernah ku lupakan, suara takbir menggema di seluruh tanah ini, mereka memelukku dengan penuh kasih sayang sambil mengajak ku bertakbir bersama. Ku cium kedua tangannya yang halus, jantungku bergetar saat melihat perempuan berjilbab hijau itu datang lagi dan mencium kedua tangan orang tua ku.

“dia adalah tanggung jawabmu kelak, dan cincin itu sebagai buktinya” ayahku yang tau isi hatiku berkata lirih menatap kami berdua, gugup bercampur bingung menyelimuti hatiku. Cincin yang dulu perempuan berjilbab hijau itu berikan, kini terpasang di jemariku, kulihat cincin yang sama juga terpasang di jemarinya.
“sekarang kami harus pergi, jagalah adikmu dan jangan pernah tergoda oleh setan yang terkutuk”.
Takbir yang membahana, di seantero langit membuatku terbangun, ku lihat diriku terbaring di atas kasur berbau obat, adikku, Lindra tertidur pulas di sofa rumah sakit. Setelah subuh, aku langsung bisa pulang setelah dokter memeriksa ku kembali, biaya perawatanku di tanggung keluarga jauh, sesampai dirumah, saat aku membuka pintu, takbir dari sahabatku, warga desa dan keluargaku menyambut kepulanganku, ku lihat Lindra tersenyum kecil padaku,

Di hari lebaran ini semua berbahagia merayakan kemenangan orang islam, setelah berjamaah solat idul fitri, di mesjid kebanggaan kampung kami, aku Lindra dan adikku pergi ke makam orangtuaku,  ayah ibu, aku akan menjaga anakmu dengan seluruh tenagaku, inilah janjiku di hari lebaran,
Asrama putra, 2 september 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar