Laman

Minggu, 18 Agustus 2013

Real backpacker to Sawarna beach: Punya berapa babeh kita? Part 1

Dengan membersamai perjalanannya, tidur seatap dengannya, maka kalian akan tau setiap inchi karakter yang tersembunyi sekalipun dari teman kalian. dan Tiba-tiba di akhir perjalanan kalian sudah merasa begitu dekat satu sama lain.

Cerita ini terjadi di 21 hingga 24 Januari 2012. Saat gw benar-benar penat dengan kuliah, tugas-tugas dan ujian. Maka petualangan selalu menjadi oase yang ampuh membasuh otak agar kembali segar. Gw memilih pantai-sensasi baru, dekat dengan kampus di Bogor-biar gak ngabisin waktu dan duit banyak, tapi tak kalah keren dan pasti harus sepi. Kenapa sepi?, namanya juga refreshing, nenangin pikiran, kembali menata mimpi-mimpi yang terbengkalai, tsaahhh. Lalu kemana kita?, Sawarna!, sipp, berbekal info dari mbah google, gw merencanakan perjalanan ala backpacker. Berjalan kaki menyusuri pantai dari Pelabuhan ratu di Sukabumi hingga pantai Sawarna di Banten,, gila banget ya, berapa kilo meter yang harus kami tempuh?, puluhan kilo broo,, hahaha, bodo ah, namanya juga petualangan. Justru nilai perjalanannya yang ingin gw cari, tak semata naek mobil nyampe tempat, foto2, tidur, pulang lagi- hambar seperti kata temen gw Nisa di banner blognya, ‘Perjalanan tanpa pelajaran ibarat kerupuk kulit sapi. Renyah sih-tapi kosong’.

Berenam kami-pejantan semua, menenteng keriil layaknya akan mendaki gunung. Sebenarnya ini salah kostum, tapi namanya juga backpacker. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan perjalanan kita nanti, ya da?. Dari terminal Baranang siang hingga Pelabuhan ratu memerlukan waktu sekitar 4 jam dengan menumpang bus MGI. Selepas solat ashar, kami berkeliling Tempat pelelangan ikan di Pelabuhan ratu ini. Di pantai tanpa bakar ikan laksana garam tanpa sayur, asinnn. Karena kami tidak terlalu mengerti tentang ikan, maka kami asal beli, asal nawar dan asal milih. Ikan tongkol sama ikan layur aja mang!, Okeh bungkus.
kita sebelum berangkat nih. bang rokhman, imam khoiri, ravi, gw, gilang dan sule.

pelabuhan ratu

Jam 5 sore mulai menyusuri pantai ke arah barat menuju pantai Citepus. Perlahan sang raja siang mulai mempertegas keemasannya di batas horizon. Debur ombak, angin laut, bau asin, memaksa Gilang menjadi orang pertama yang menyingsingkan ujung celana untuk merasakan hempasan ombak, gw?, terkekeh memerhatikan dua anak kecil menari, berlenggok bak model di bibir pantai. Yang lain asik berfoto ria sambil meneriaki Gilang dan Sule yang asik bermain dengan air laut seperti anak kecil. Disini warung-warung berjajar di pinggir pantai membuat sampah ikut juga berjajar dimana-mana.

dua anak kecil yang menari

we are di pantai citepus

Bukan di pantai Citepus ini kami akan bermalam, tapi belum ada nama pantai yang akan kami tuju. Menyusuri pantai malam hari jelas tidak baik untuk dilakukan. Maka saatnya menerapkan salahsatu teori backpacker-nebeng mobil lewat dengan jari jempol tangan. Naas tidak ada mobil yang berhenti, mungkin wajah kita terlalu ganteng kali, hahaha. Untuk menghilangkan kebosanan, kami coba berjalan kaki sambil sesekali tetap merentangan tangan kanan lalu mengerakkan jempol yang teracung. Ada truk berhenti namun agak jauh-nanggung pula pas tanjakan. Eh kita uda mau lari ngejar, pergi lagi dia. Tapi alhamdulillah, ada juga mobil berhenti, meskipun itu angkot. Alamat rogoh kocek ini mah.

Pantai Karang hawu, menurut supir angkot yang kami tumpangi, adalah pantai terakhir yang dekat jalan raya. Dan angkutan sudah tidak ada lagi malam ini. Baiklah, turun di pantai ini dan mari bakar ikan yang kita beli tadi. Harusnya gw sadar, beli ikan sore-sore beresiko tertipu lebih tinggi. Dari luar ikan tongkolnya terlihat segar, eh dalemnya udah lembek, waaahh. Tapi untung ikan layurnya lumayan masih segar. Debur ombak, semilir angin laut, beratap langit beralas pasir, wangi ikan bakar, wahhh,, ngebayanginnya aja udah buat gw ngiler, mantabbhh lah pokoknya. Karena tak bawa tenda, kita pun tidur di masjid-di terasnya sih tepatnya. Sok atuh keluarkan matras dan SB nya.

Pagi-pagi, setelah sarapan roti bakar berpasir, hahha, ini pasirnya nempel2, dari pada cape2 misahin-langsung hap aja dah. Kita pun renang sepuasnya, bekerjaran ombak sepuasnya, main pasir sepuasnya, juga berfoto sepuasnya. Dah lama bahkan lupa kapan terakhir kali bermain air laut seperti ini-atau mungkin tidak pernah sepuas ini.

ngegembel nunggu mobil

bakar ikan di pantai karang hawu

bikin roti bakar

renang sepuasnya

main pasir-serem juga si

puas renang, foto-foto kita

Jam 9 pagi di hari kedua, rencananya kita akan menyusuri pantai terus dan terus hingga bertemu pantai yang dekat jalan raya. Awalnya berjalan mulus, lalu bertemulah dengan muara sungai yang lumayan deras airnya. Dari riak airnya, muara ini tidak terlalu dalam-kalo pintar memilih pijakan palingan dalamnya bisa selutut. Kami berlima , gw, Ravi, Gilang, bang Rokhman, Sule berhasil nyebrang dengan selamat. Tinggal Imam khoiri yang rada-rada penakut nyebrang. Takut jatuhlah, sayang kamera lah, dan bla bla bla lainnya. Tapi tenang kawan, akan ada kawan lain yang dengan senang hati membantu lu mengentaskan ketakutan. Setelah puas ngetawain tapi, hahahaha, Ravi pun kembali menyebrangi muara untuk membantu Imam khoiri.


Di perjalanan, kami bertemu dengan penambang batu koral, tapi di dominasi kaum yang sudah ditelan waktu. Setelah kami lewat, Gilang dan Sule berhenti sejenak lalu mengobrol asik sambil membantu memasukan batu koral kedalam karung milik nenek tua. Gw tersenyum bangga sekaligus malu. Lihatlah, dua kawan dekat gw ini memang memiliki kepekaan sosial tinggi. Hingga sampailah kami di sebuah kampung nelayan yang mempunyai dramaga kecil dengan beberapa kapal merapat membawa sedikit hasil tangkapan ikan. Kerjasama, gw lihat mereka saling membantu, bekerjasama menarik perahu ke darat atau membuat jaring ikat sambil sesekali tertawa bercengkrama. Apakah kehidupan nelayan memang sekuat itu kebersamaannya?, gw gak tahu-karena gw orang gunung, dan gak sempat nanya juga-traveler payah.



imam khoiri dibantu ravi menyebrangi muara

gilang dan sule membantu nenek pengumpul koral

ini tugu pancoran bukan si

kebersamaan nelayan

kami di atas kapal nelayan

dilihat dari atas mobil elf


Tebing yang menjulang rupanya menjadi penghianat petualangan ini (bah! Macam sinetron aja ada penghianat). Kami tak bisa lagi menyusuri pantai. Hampir satu jam kami berjalan menyusuri jalan raya, elf yang melintas akhirnya melumerkan keteguhan kami. Jadi naek elf dah, Hehehe, elf nya agak maksa sih-alesan. Sampai pantai Bayah Banten sekitar jam 12 an, lalu solat dzuhur di sebuah masjid. Lagi-lagi kami bertemu dengan bapak2 berpeci putih juga penjaga mesjid-karakter nya berbeda dengan penjaga mesjid di Pelabuhan Ratu. Oya gw belum cerita tentang lelaki berbaju batik penjaga masjid di Pelabuhan ratu yang awalnya tak kira bapak yang kejam, garis di wajahnya terlihat tegas soalnya. Tapi setelah mengobrol, ia menularkan semangat berpetualangnya dulu pada kami bocah-bocah yang masih mengandalkan dengkul untuk berpikir. Jangan berhenti belajar dari kehidupan katanya tenang dengan suara kebapakan, kami mengangguk mengiyakan. Tetep, gilang yang paling banyak mengobrol dengan bapak itu.

Berbeda dengan penjaga masjid di Pelabuhan ratu, penjaga masjid di pantai Bayah lebih berapi-api dalam berbicara juga kadang diselingi humor. Dari pakaian dan cara dia berbicara-sepertinya dia jemaah tablig. itu lho, yang sering pake celana tiga perempat, menetap di suatu daerah beberapa tahun dengan tinggal di mesjid dan membaktikan hidupnya untuk berdakwah. Katanya, dulu ia seorang pebisnis yang dibutakan uang, sering bertengkar dengan istrinya hingga cerai, anaknya tak terurus. Tapi sekarang, di hari tuanya, ia mendapat hidayah, mendedikasikan sisa hidupnya untuk berdakwah. Tidak ada lagi keinginan duniawi yang menghalangi keningnya dari sujud pada sang Pencipta. Meski cara bicaranya keras, tapi dari sorot matanya ada keteduhan disana. Mungkinkah ketenangan batin bisa membuat mata jadi teduh?. Kebetulan kita kehabisan air juga kehabisan batere hape. Maka dari dalam ruangan marbot, dia mengeluarkan galon berisi air, juga kabel terminal listrik. Ia mengerti apa yang kita butuhkan. Hatur nuhun. Eh, entah siapa yang memulai-Gilang kali, kami menghormati dan mengenang penjaga mesjid Pelabuhan ratu sebagai babeh 1, dan penjaga mesjid pantai Bayah sebagai babeh 2.

Perjalanan pun kami lanjutkan dengan berjalan kaki ke arah timur, menyusuri pantai, jembatan, jalan raya menuju Karang taraje. Tak lupa kami membeli ikan layur lagi-karena itu ikan yang paling murah, untuk makan malam. Lelah kami berjalan 3 jam diterpa terik mentari, debu jalanan, serta angin pantai berpasir, terlupakan dengan bertebarannya karang-karang besar berbagai bentuk yang menurut gw unik. Bang rokhman yang memang rada demen mengumpulkan manik-manik, pasir, batu, hingga kerang2 langsung bergerilya lalu tepekur diatas salah satu batu karang sambil memandang lautan lepas. Ia memang senang seperti itu, tidak banyak bicara juga sering merenung-mungkin berpikir kapan akan wisuda, hahaha, peace ^^v.

Niat awal mau tidur beratap langit, beralas batu karang. Rupanya langit bermuram durja malam ini. Dari pada nanti harus bangun malam2 gara-gara hujan, dan kebetulan ada bangunan kosong tidak berdinding, bekas sebuah rumah makan. Ngecamp lah kami disana dengan terlebih dahulu mengusir sepasang kekasih yang sedang enak bergelap ria. Membuat ikan bakar lagi, lalu istirahat untuk melanjutkan petualangan keren esok hari. 

pantai bayah, gak terlalu bagus

melewati jembatan dari pantai bayah

karang di karang taraje

ini karang mirip anjing duduk ya

bang rokhmani sedang merenung

ikan layur bakar siapp!!
bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar